Sukses

Kekhawatiran Penyebaran Gambar Tanpa Izin Hantui Perempuan di Korea Selatan

Liputan6.com, Jakarta - Perempuan di Korea Selatan tengah menghadapi kekhawatiran. Menurut penelitian baru, berbagi gambar seksual perempuan dan anak perempuan tanpa persetujuan mereka menjadi masalah umum di Korea Selatan.

Peneliti hal tersebut, Human Rights Watch mengatakan bahwa masalah ini berdampak menghancurkan bagi para korban perempuan. Pasalnya, mereka memperingatkan bahwa gambar-gambar itu dapat menyebar tak terkendali.

Melansir Independent, Kamis (17/6/21), Korea Selatan saat ini tengah bergulat dengan epidemi "spy cam porn" atau kamera mata-mata porno. Spy cam porn biasanya melibatkan pria secara diam-diam merekam perempuan tanpa persetujuan mereka di tempat-tempat seperti toilet, ruang ganti, dan hotel.

Rekaman yang diperoleh dari kejahatan cybersex kemudian dijual secara tunai. Tetapi organisasi hak asasi manusia terkemuka itu, dalam laporannya yang berjudul 'My Life is Not Your Porn: Digital Sex Crimes in South Korea", juga berfokus pada porno balas dendam serta gambar yang dipalsukan.

"Kejahatan seks digital telah menjadi sangat umum, dan sangat ditakuti, di Korea Selatan sehingga mempengaruhi kualitas hidup semua perempuan dan anak perempuan," kata Heather Barr, penulis studi tersebut.

"Perempuan dan anak perempuan memberitahu kami bahwa mereka menghindari menggunakan toilet umum dan merasa cemas dengan kamera tersembunyi di depan umum dan bahkan di rumah mereka. Sejumlah besar penyintas kejahatan seks digital mengatakan bahwa mereka telah mempertimbangkan untuk bunuh diri," tambahnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Banyak Keluhan

"Siapapun yang pernah melihat salah satu gambar nonkonsensual ini dapat mengambil tangkapan layar dan dapat membagikan tangkapan layar itu kapan saja, di situs web mana pun, dari mana ia dapat menyebar secara tidak terkendali," kata Barr.

“Orang yang selamat dipaksa untuk menangani kejahatan ini selama sisa hidup mereka, dengan sedikit bantuan dari sistem hukum," jelasnya.

Juru kampanye itu memperingatkan para pejabat dalam sistem peradilan pidana Korea Selatan secara rutin tampak "tidak mengerti, atau tidak menerima, bahwa ini adalah kejahatan yang sangat serius". Ia menambahkan mayoritas pejabat di sana adalah laki-laki.

Perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban kejahatan ini dipaksa untuk berjuang melawan hambatan besar untuk keadilan, laporan itu memperingatkan masalah ini. "Polisi sering menolak untuk menerima keluhan mereka dan berperilaku kasar, meminimalkan bahaya, menyalahkan mereka, memperlakukan gambar secara tidak sensitif, dan terlibat dalam interogasi yang tidak pantas," kata peneliti.

Ia menambahkan, ketika kasus berlanjut, para penyintas berjuang untuk mendapatkan informasi tentang kasus mereka dan agar suara mereka didengar oleh pengadilan. Para peneliti, yang mewawancara dengan para ahli dan korban kejahatan seks dunia maya, menemukan kurang dari empat persen penuntutan kejahatan seks di Korea Selatan melibatkan pembuatan film ilegal pada 2008.

 
3 dari 4 halaman

Pengakuan

Namun, jumlah kasus tersebut telah melonjak sebelas kali lipat pada tahun 2017, naik dari 585 kasus menjadi 6.615 kasus, dan sekarang merupakan 20 persen dari penuntutan kejahatan seks. "Akar penyebab kejahatan seks digital di Korea Selatan adalah pandangan dan perilaku berbahaya yang diterima secara luas terhadap perempuan dan anak perempuan yang harus segera ditangani oleh pemerintah," jelas Barr.

"Pemerintah telah bermain-main dengan hukum tetapi belum mengirimkan pesan yang jelas dan tegas bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara, dan kebencian terhadap wanita tidak dapat diterima," tambahnya.

Para perempuan telah turun ke jalan dalam beberapa tahun terakhir di Korea Selatan saat nilai-nilai patriarki sangat mendarah daging. Mereka turun untuk menyerukan kesetaraan yang lebih besar dan untuk melawan isu-isu seperti pembuatan film non-konsensual dan kekerasan seksual. (Jihan Karina Lasena)

 
4 dari 4 halaman

Perempuan Arab Saudi Bebas dari Belenggu

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.