Sukses

Mayoritas Orang Indonesia Dinilai Irasional dalam Berdonasi, Apa Penyebabnya?

Paradigma tentang donasi yang dimiliki kebanyakan orang Indonesia sebaiknya diubah agar manfaatnya lebih bisa dinikmati dalam jangka panjang.

Liputan6.com, Jakarta - Dalam sebuah survei yang dilakukan Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2018, orang Indonesia menempati urutan pertama sebagai yang paling dermawan di dunia. Faktanya, banyak orang Indonesia tergerak membantu, bahkan cenderung spontan, kala menemukan yang kesusahan, khususnya saat bencana. Tapi, sikap orang Indonesia saat berderma atau berdonasi tidak diiringi kelogisan.

Pendapat itu dilontarkan Ketua Program Tebar Hewan Kurban Dompet Dhuafa 2020, Zainal Abidin Sidik. "Masyarakat Indonesia suka menolong, tapi sering kali menolongnya irasional. (Demi memberi orang) berani kosongkan rekening, bahkan sampai jual rumah," katanya dalam Webinar Doing Good Index 2020, Senin (7/9/2020).

Tindakan irasional saat berdonasi juga terlihat dari ketidakpekaan terhadap laporan keuangan lembaga amal. Menurut Zainal, kunjungan publik pada laporan keuangan yang dipublikasikan secara digital terbilang rendah. Padahal, tindakan itu penting untuk mengontrol kerja lembaga yang menggunakan dana publik.

"Mungkin karena level menyumbang orang Indonesia itu level spiritual, jadi kalau sudah memberi, ya ikhlaskan saja," sambung Zainal.

Meski begitu, kebiasaan itu perlu diubah. Ia berharap ke depan, masyarakat diedukasi agar tidak hanya bersedia berdonasi, tetapi juga tak malu untuk meminta laporan. Di samping, paradigma menyumbang juga semestinya diarahkan bukan sekadar amal, melainkan pemberdayaan berefek jangka panjang.

"Ini contohnya terlihat saat Garut dilanda bencana banjir bandang. Penyebabnya itu kan penggundulan hutan di bagian hulu. Kondisinya ramai sumbangan ketika bencana. Tapi, ketika diajak menyumbang untuk tanami hutan di bagian hulu, responsnya sangat berbeda," tutur Zainal.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Penegakan Aturan

Zainal menyinggung pentingnya penguatan institusi lembaga amal. Program yang dikelola semestinya bukan lagi bersifat responsif, tetapi lebih antisipatif dan pencegahan. 

Maka itu, potret yang dipakai untuk menggalang dana sebaiknya tak lagi berunsur mengkapitalisasi bencana atau kesusahan, maupun mengeksploitasi para korban. Ia menilai itu berisiko disalahgunakan lembaga amal yang tidak bertanggung jawab.

"(Dananya) nanti justru hanya gemukkan kocek lembaga," ucapnya.

Lembaga amal juga wajib berbenah dalam pelaporan keuangan mereka. Di sisi lain, pemerintah diharapkan lebih berperan memperkuat dan menegakkan aturan. 

"Harus ada pembedaan, apresiasi bagi lembaga yang taat aturan dari lembaga yang semaunya," imbuhnya.

Zainal berharap tak ada lagi kasus penggalangan dana secara pribadi yang tidak bertanggung jawab, apalagi sampai tidak dihukum. "Sekitar 2016--2017, ada kasus perorangan menghimpun dana miliaran. Niatnya bantu orang, tapi jadi Fortuner. Mungkin law enforcement kurang, perhatian pemerintah sangat kurang. Orang tersebut malah diajak diskusi sama menteri, enak banget ya?" celoteh Zainal.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.