Sukses

Tatkala Rais Akbar NU KH Hasyim Asy'ari Berfatwa Tidak Wajib Haji

Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy'ari pernah berfatwa tidak wajib haji

Liputan6.com, Jakarta - Menunaikan ibadah haji adalah rukun Islam kelima, atau disebut pula dengan penyempurna. Hukum berhaji wajib untuk yang mampu.

Pemaknaan mampu melaksanakan ibadah haji bisa bermacam-macam arti. Paling mudah, di masa kini, adalah mampu secara finansial.

Seseorang mesti mendaftar haji dengan biaya tertentu. Kemudian, menjelang pemberangkatan, dia akan melunasi kekurangan biaya haji tersebut.

Mampu berhaji lainnya yakni kesempatan. Terlebih kini antrean daftar tunggu haji begitu lama. Beberapa daerah bahkan telah mencapai 35 tahun.

Mampu lainnya, yakni secara fisik maupun mental. Sudah memiliki uang untuk mendaftar, namun secara fisik tak mampu. Maka dia tak terbebani kewajiban haji.

Nah, pada masa lalu, ternyata berangkat haji dari Indonesia ke Tanah Suci tak semudah masa kini. Dahulu, para calon jemaah haji harus meniti kapal laut.

Tak aneh mereka baru bisa kembali ke tanah air setelah berbulan-bulan berhaji. Sangat heroik dan penuh perjuangan.

Zaman dulu pula, perjalanan tak seaman zaman sekarang. Terlebih, pada masa penjajahan dan perjuangan kemerdekaan.

Ini pula yang menjadi latar belakang fatwa tidak wajib haji yang dikeluarkan oleh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari. Pada masa itu, laut dan jalur transportasi dikuasai oleh Belanda dan sekutunya.

Sementara, di dalam negeri, berkecamuk konfrontasi dan pertempuran-pertempuran antara pejuang, termasuk santri dan ulama, melawan penjajah.

 

Simak Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Latar Sejarah Fatwa Tidak Wajib Haji

Dalam tulisannya di laman keislaman NU Online, Syakir NF menjelaskan, tak ada data resmi mengenai jumlah jamaah haji dari Indonesia di tahun 1941 M sampai 1949 atau 1359 H sampai 1368 H. Tidak diketahui dengan pasti, ada tidaknya orang Indonesia yang berhaji di masa itu.

Kemungkinan ada yang berangkat ke tanah suci barangkali masih terbuka. Namun, sangat kecil kemungkinannya mengingat lautan juga dijaga oleh pasukan Angkatan Laut penjajah.

Pasalnya, di masa-masa tersebut pecah perang dunia kedua. Selain perang yang sedemikian berkecamuk, Henry Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2019: 72), mencatat bahwa kelangkaan jamaah haji di tahun tersebut karena faktor dorongan kuat agama.

Sebab, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin tertinggi Masyumi mengeluarkan fatwa tidak wajib berhaji di tahun 1947.

“Haram bagi umat Islam Indonesia meninggalkan tanah air dalam keadaan musuh menyerang untuk menjajah dan merusak agama. Karena itu, tidak wajib pergi haji di mana berlaku fardhu ain bagi umat Islam dalam keadaan melakukan perang melawan penjajahan bangsa dan agama.” (Mursyidi dan Harahap, 1928: 28 dalam Naik Haji di Masa Silam, 2019: 72).

Sebagaimana diketahui, haji merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap umat Islam yang mampu. Kemampuan ini diukur dari kondisi fisik, finansial, pengetahuan, dan keluangan waktu untuk mengerjakannya.

Namun sebagaimana ibadah lainnya, hukum berhaji juga dapat berubah sesuai illat atau sebab yang melatarinya. Keluarnya fatwa dari ulama besar sekaliber Kiai Hasyim tentu saja bukan tanpa alasan kuat dan dasar pijakan yang kokoh.

Rais Akbar NU itu melihat hal yang jauh lebih penting ketimbang sekadar melaksanakan ibadah haji yang kemaslahatannya hanya untuk pribadi. Sementara, ada hal yang lebih besar manfaatnya karena bisa dirasakan oleh orang banyak, yaitu kemerdekaan negara Indonesia yang sepenuhnya.

 

3 dari 3 halaman

Resolusi Jihad

Fatwa tidak wajib berhaji itu ditengarai kondisi sosial politik yang mewajibkan umat Islam untuk mengangkat senjata dalam rangka melawan penjajah demi kemerdekaan sepenuhnya untuk negara Indonesia. Sebagaimana diketahui, pada 22 Oktober 1945, Kiai Hasyim mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad yang mewajibkan seluruh umat Islam maju ke medan tempur dalam peperangan di radius diperbolehkannya shalat untuk diqashar.

Untuk menghentikan perlawanan perang yang sedemikian kuat, perwakilan Belanda di Indonesia Van der Plas menyediakan fasilitas pemberangkatan haji dan menjamin keamanannya. Tawaran demikian memang menggoda umat Islam Indonesia pada masanya.

Karenanya, ada banyak orang juga yang tertarik untuk mendaftarkan dirinya untuk berangkat ke tanah suci. Namun, adanya fatwa Kiai Hasyim mengenai tidak wajib berhaji dan fardhu ain berperang membuat tawaran tersebut tidak berarti.

Abdul Mun’im DZ dalam Kiai Hasyim Mengharamkan Haji Politis dalam Fragmen Sejarah NU (2016: 271) mencatat ada dua hal yang menyebabkan pengeluaran fatwa itu. Pertama, Indonesia belum memiliki kapal untuk memberangkatkan rakyatnya berhaji. Jika berhaji dengan menggunakan fasilitas dari Belanda yang notabene adalah penjajah akan memberikan keuntungan bagi mereka dari sisi ekonomi. Kedua, hal yang lebih para adalah keuntungan dari sisi politisnya, yakni keterpengaruhan masyarakat Indonesia lebih berpihak kepada pihak Belanda.

Hal ini tentu akan menghambat laju kemerdekaan Indonesia sepenuhnya. Selain itu, Hadratussyekh dalam hal ini tampak menerapkan konsep dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih, yakni mendahulukan untuk menghindarkan kerusakan ketimbang meraih kemaslahatan. Konteks perang tersebut, menghindarkan Indonesia dari pecah dan kembali terjajah tentu harus lebih didahulukan daripada melaksanakan haji itu sendiri.

Tak ayal, dengan adanya fatwa tersebut, umat Islam siaga dan bergerak melakukan perlawanan terhadap Agresi Militer Beladan pertama pada tahun 1947 dan Agresi Militer Belanda kedua pada tahun 1948 sehingga saat ini, bangsa Indonesia bisa merdeka sepenuhnya.

Tim Rembulan

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.