Sukses

KH Hasyim Asy'ari Menyebut Golongan Orang yang Boleh 'Mokel', Siapa Saja?

Arti mokel adalah berbuka puasa sebelum waktunya. Pendiri NU KH Hasyim Asy'ari secara khusus menjelaskan soal orang yang boleh mokel dalam kitabnya

Liputan6.com, Jakarta - Pada bulan Ramadhan ini kata 'mokel' ramai digunakan warganet. Sebagian warganet mengerti artinya, tapi sebagian lainnya bertanya-tanya.

Menurut penjelasan dalam video TikTok yang diunggah akun Aminkiwi, arti mokel adalah berbuka puasa sebelum waktunya.

Istilah ini kerap digunakan oleh masyarakat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara di Jawa Barat membatalkan puasa di siang hari dengan sengaja dikenal dengan istilah godin.

“Apa sih mokel ini? Kata mokel merupakan kata kerja yang memiliki makna yakni membatalkan puasa ketika puasa. Kata ini sering kita jumpai di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dan sering kita jumpai di kalangan anak muda ketika membatalkan puasa,” mengutip TikTok Aminkiwi.

Ternyata, pendiri NU KH Hasyim Asy'ari secara khusus menjelaskan soal orang yang boleh mokel dalam ulasannya di Soeara Muslim, merujuk Kitab Fathul Mu'in.

 

Simak Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Orang yang Boleh Mokel

Mengutip tebuireng.co, Kiai Hasyim Asy’ari pernah menulis di Soeara Muslimin nomor 17 terkait kelonggaran berbuka puasa bagi pekerja berat, saat itu zamannya romusa (pekerja paksa pada jajahan Belanda). Kiai Hasyim memberikan tiga macam hal terkait bolehnya berbuka puasa sebelum waktunya bagi orang tertentu atau dalam istilah gaul mokel. Pendapat tersebut merujuk pada kitab Fathul Mu’in (halaman 44-53).

Dalam tulisannya, Kiai Hasyim menjelaskan bolehnya berbuka puasa fardlu lebih dulu jika dalam keadaan sakit yang membahayakan, kategori membahayakan di sini yaitu sampai memperbolehkan seseorang tersebut mengganti wudlu dengan tayamum dan ada indikasi bila terus puasa maka sakitnya tambah parah.

Hal yang membolehkan selanjutnya yaitu melakukan perjalanan jauh dengan ukuran perjalanan tersebut boleh meringkas shalat (qashar) dan tidak dalam tujuan maksiat. Dalam kategori kedua ini, Kiai Hasyim menegaskan jika orang yang puasa tersebut masih kuat maka dianjurkan tetap puasa.

Selanjutnya, Kiai Hasyim merekomendasikan untuk buka puasa ketika ada bahaya besar yang datang ketika seorang muslim tetap berpuasa. Misalnya sangat haus atau terlalu lapar, dalam kondisi ini diperbolehkan berbuka. Bahaya besar tersebut bisa menyebabkan hilangnya nyawa, jatuh sakit, kerusakan di bagian tubuh, kepayahan bagi ibu hamil, kerusakan akal dan paksaan dengan ancaman.

Dalam tulisannya, Kiai Hasyim mengingatkan meskipun ada kelonggaran dari hukum Islam, tetapi hendaknya hukum itu jangan dipermainkan. Termasuk jangan menjalani kelonggaran ketika masih kuat menahan untuk menjalani puasa.

3 dari 3 halaman

Puasa menurut Kiai Hasyim

Seorang muslim dianjurkan untuk tetap berniat puasa pada malam harinya hingga batas terakhir ia tak kuat lagi untuk berpuasa. Selanjutnya, setelah ramadhan usai maka segera membayar utang puasa yang ditinggalkan tadi.

Hal ini dikarenakan Kiai Hasyim memandang puasa wajib tidak dilakukan setiap hari. Selain itu, puasa wajib seperti Ramadhan mengandung keutamaan dan hikmah yang bermacam-macam. Apalagi dalam puasa ada unsur pendidikan yang sangat berharga. Diantaranya;

Pertama, memberikan istirahat pada perut untuk tidak kerja secara terus menerus. Kedua, membiasakan perut lapar, agar memiliki sifat peduli dan tenggang rasa kepada saudara-saudara yang setiap hari masih sering tidak makan.

Pendidikan ketiga, puasa memberi perasaan kepada orang kaya agar dapat merasakan kehidupan yang sama dengan saudara-saudaranya yang miskin. Bahwa sekaya apapun seseorang, ia membutuhkan hal yang sama dengan orang miskin yaitu makan, air dan oksigen.

Kebutuhan dasar ini tidak boleh dimonopoli. Umumnya manusia akan timbul simpatik setelah mengalami sendiri. Dari sini, semua orang yang berpuasa diharapkan bisa bersyukur atas nikmat Allah berupa kesehatan, harta dan bisa makan. Oleh karenanya sebagai wujud nyata dari kesadaran itu, setelah puasa diperintah zakat dan saling meminta maaf antar muslim.

Sejalan dengan Kiai Hasyim, dalam pandangan intelektual muslim Indonesia Yudi Latif, puasa melatih cara beragama secara dewasa. Beribadah bukan karena apa kata orang, melainkan apa kata nurani sendiri.

Seseorang bisa saja berpura-pura puasa di depan orang banyak, tapi faktanya saat sendirian ia tidak bisa menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan suami isteri.

Bisa dikatakan puasa yang masih terintimidasi makanan di warung atau melancarkan “balas dendam” dengan menyantap makanan secara berlebih saat berbuka pertanda jiwa kekanak-kanakan yang masih melekat pada materi sebagai budak nafsu.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda Cingebul

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.