Sukses

Pedagang Ngabuburit Dilarang Berjualan di UGM Selama Ramadan

Kepala Bagian Humas dan Protokoler UGM Iva Ariani membenarkan ada penataan di sepanjang Jalan Olahraga-Notonegoro.

Liputan6.com, Yogyakarta - Paguyuban Pedagang Ngabuburit Universitas Gadjah Mada (UGM) meminta perlindungan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta karena dilarang berjualan di Jalan Olahraga-Notonegoro UGM selama bulan puasa. Ada 375 pedagang yang ingin memanfaatkan momen Ramadan untuk berjualan makanan.

Para pedagang telah menerima surat pelarangan dari Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Aset UGM pada 25 Mei 2016.

Kepala Bagian Humas dan Protokoler UGM Iva Ariani membenarkan ada penataan di sepanjang Jalan Olahraga-Notonegoro yang membuat pedagang tidak bisa berjualan.

"Untuk keterangan selanjutnya saya masih berkomunikasi dengan bagian SDM dan aset UGM," tutur Iva di Yogyakarta, Minggu 5 Juni.

"Sudah 2 tahun ini kami dilarang berjualan dan pada tahun kemarin kami tetap nekat berjualan walaupun sempat terjadi bentrok dengan satuan keamanan kampus (SKK)," ujar Wakil Ketua Paguyuban Pedagang Ngabuburit Lina Situmorang saat di kantor LBH Yogyakarta Selasa 31 Mei 2016.

Dia menjelaskan, alasan larangan berjualan karena UGM bermaksud mengatur masalah keselamatan berkendara, kenyamanan, dan kelancaran arus lalu lintas di ruas jalan tersebut, mengingat kawasan itu juga akan direnovasi oleh Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Bina Marga.

Perempuan yang berdagang takoyaki dan sup buah pada bulan Ramadan ini mengaku, biasanya berjualan jelang berbuka sejak 15 tahun lalu. Bahkan mendapat dukungan dari rektor kala itu, almarhum Kusnadi.

"Dulu kami berjualan di Bunderan UGM, kemudian ditata dan dipindah ke areal ini," kata Lina.

Ketua Paguyuban Pedagang Ngabuburit UGM Yoga Adi Pratama menilai, larangan tersebut terkesan dibuat-buat. Ia berasumsi UGM kesal karena sejak 2014, pedagang ngabuburit tidak memberikan kontribusi berupa pembayaran retribusi kepada Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset (DPPA) UGM.

"Kami tidak membayar karena sejak 2014, kami juga tidak pernah diurusi, dilepas begitu saja," tutur dia. Biasanya tiap pedagang dikenakan retribusi sebesar Rp 3.000-Rp 5.000 per hari.

Pelarangan juga membuat pengelola parkir yang berasal dari lokasi sekitar UGM yakni Kampung Kuningan menjadi gerah. "Saya tidak tahu apa maunya UGM, pedagang dipusatkan di Jalan Olahraga juga dulu keinginan UGM," ucap dia.

Divisi Sosial Budaya LBH Jogja Muhammad Yuki Zulfadli menambahkan, UGM sebagai kampus kerakyatan justru tidak memberikan hak untuk bekerja.

"Ketika melakukan pelarangan maka kami melihat ada dugaan pelanggaran hak atas ekonomi dan pekerjaan bagi pedagang," ujar Yuki.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.