Sukses

Kekerasan Seksual oleh Guru Ngaji di Purwakarta, KemenPPPA: Tak Dapat Ditoleransi

KemenPPPA mendorong penegakan hukum yang tegas atas kasus kekerasan seksual yang diduga telah terjadi sejak 2017.

Liputan6.com, Jakarta Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan kembali terjadi. Kali ini guru ngaji di sebuah majelis taklim di Purwakarta, Jawa Barat diduga melakukan pencabulan kepada anak didiknya.

Kasus ini mendapat respons dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Kementerian ini mendorong penegakan hukum yang tegas atas kasus kekerasan seksual yang diduga telah terjadi sejak 2017.

Terkait hal ini, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar menegaskan, perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan.

“Jajaran KemenPPPA turut prihatin atas kasus kekerasan seksual yang terjadi di salah satu majelis taklim di Purwakarta, Jawa Barat. Ini bukanlah kasus kekerasan seksual pertama yang terjadi di lingkungan pendidikan keagamaan dan dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjadi pelindung anak,” kata Nahar dalam keterangan resmi dikutip Kamis (21/12/2023).

“Kekerasan seksual, terlebih terhadap anak tidak bisa kita toleransi,” lanjutnya.

KemenPPPA mendorong penegakan hukum yang tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan agar menciptakan keadilan bagi para korban dan efek jera terhadap pelaku.

Nahar menilai, atas perbuatannya, terlapor dapat dikenai pasal berlapis. Terlapor diduga telah melakukan tindak pidana persetubuhan dan pencabulan terhadap anak yang melanggar pasal 76D dan 76E Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Menurut Nahar, hukuman atas tindakan pencabulan tersebut dapat ditambah 1/3 karena terlapor merupakan seorang pendidik.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Korban Kekerasan Seksual Lebih dari Satu

Hukuman dapat bertambah lantaran kasus ini melibatkan lebih dari satu korban.

“Kejadian ini menimbulkan lebih dari satu korban, berdasarkan pasal 81 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pelaku dapat dipidana mati.”

Pelaku juga bisa dipenjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

“Tidak hanya itu, terlapor juga dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas serta tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik,” lanjut Nahar.

3 dari 4 halaman

Para Korban Sudah Diberi Pendampingan

Berdasarkan hasil koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPD) Provinsi Jawa Barat, para korban sudah diberikan pendampingan.

Pendampingan diberikan sesuai dengan kebutuhannya, termasuk pendampingan pada saat visum.

“Salah satu pendampingan yang penting diberikan kepada para korban adalah pendampingan psikologis untuk melihat tanda-tanda munculnya permasalahan psikologi serta memberikan penanganan yang tepat bagi para anak korban.”

“Pendamping perlu membangun hubungan baik dan menjadi wadah anak untuk bisa bercerita dengan terbuka dan nyaman. Perlu digali kekhawatiran dan alasan anak tidak mau bercerita terkait peristiwa yang dialami,” tutur Nahar.

4 dari 4 halaman

Modus Minta Dipijat

Kekerasan seksual ini bermula dari guru ngaji meminta anak-anak yang mengaji di rumah untuk memijat dengan alasan kelelahan sehabis pulang dari sawah.

Usai memenuhi permintaan terlapor, para korban merasakan perih di bagian kemaluannya.

Terkait hal tersebut, Nahar menggarisbawahi adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara terlapor dan korban.

“Adanya relasi kuasa antara terlapor dan korban menjadikan korban anak bungkam atas kekerasan seksual yang dialaminya. Dalam hal ini, pelaku merupakan orang dewasa dan dihormati sebagai guru mengaji, menggunakan ancaman dan tekanan untuk menguasai anak korban yang dianggap lemah,” imbuh Nahar.

Nahar mendorong orangtua dan keluarga sebagai orang terdekat anak untuk terus memberikan dukungan dan aktif membangun komunikasi secara terbuka kepada anak.

Selain itu, orangtua seyogianya tidak menghakimi atau menyalahkan anak yang belum berani menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya.

“Masyarakat juga perlu lebih waspada dan lebih peduli akan lingkungan sekitar sehingga bisa menyediakan lingkungan yang baik dan aman bagi anak. Selain itu, juga tidak memberikan stigma negatif bagi para anak korban dan keluarga,” tutup Nahar.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.