Sukses

Menkes Budi Cerita soal Sulitnya Indonesia Turunkan Kasus DBD Selama 50 Tahun Terakhir

Di tengah ramai soal nyamuk Wolbachia, Menkes Budi cerita soal sulitnya menurunkan kasus DBD di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI) Budi Gunadi Sadikin mengatakan Indonesia selama 50 tahun terakhir berupaya menekan kasus demam berdarah dengue (DBD).

Beragam cara telah dilakukan untuk menekan kasus DBD dengan dana miliaran rupiah tiap tahunnya tapi angka kasus masih di atas 10 per 100 ribu populasi yang merupakan batas standar World Health Organization (WHO).

"Selama 50 tahun terakhir, pemerintah sudah lakukan segala macam intervensi dan program. Mulai dari larvasida, pembagian kelambu, pemberantasan sarang nyamuk, jumantik tapi kenyataannya (kasus DBD) enggak turun-turun," kata Budi dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR pada Rabu (29/11/2023).

Saat ini, incident rate kasus DBD di Indonesia masih 28 per 100 ribu penduduk. Melihat data tahun 2022, dilaporkan ada 143.300 dengan 1.236 kematian. Kelompok umur dengan kematian tertinggi pada rentang usia 5-14 tahun.

"Dengue itu setiap tahun kasus yang meninggal mencapai ribuan, rata-rata 900 kasus yang meninggal tiap tahunnya dalam tiga tahun terakhir dan kebanyakan anak-anak," kata Budi. 

Maka ketika hasil penelitian Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan World Mosqito Program menunjukkan penurunan kasus DBD usai penyebaran nyamuk Aedes aegypti mengandung bakteri Wolbachia, Kemenkes tertarik mengikuti hal tersebut. 

"Kenapa kami senang? Karena pendekatan ilmiah, terstruktur dan angka insidence rate di bawah 10 persen," kata Budi.

Kasus DBD Turun 77 Persen

Peneliti Nyamuk Wolbachia dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Profesor Adi Utarini mengatakan bahwa penyebaran dengue di Kota Yogyakarta telah berjalan efektif sejak tahun 2016.

Hasil penelitian berskala luas di Yogyakarta menunjukkan nyamuk Aedes aegypti Wolbachia mampu menekan kasus demam berdarah (DBD) di lokasi pelepasan hingga 77 persen. Lalu, angka rawat inap di rumah sakit kasus DBD juga turun 86 persen.

Lalu, merujuk pada data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta tahun 2023, kasus demam berdarah dengue tercatat hanya di angka 67 kasus. Jumlah ini merupakan yang terendah selama 30 tahun terakhir.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Fase Penelitian Aedes Aegypti Ber-Wolbachia

Penelitian nyamuk mengandung Wolbachia di Yogyakarta sudah dilakukan selama 12 tahun yang dimulai sejak 2011. Berikut rincian fase-fase yang dilalui. 

Fase 1 Keamanan dan Kelayakan (2011 - 2012)

  • Pengembangan fasilitas riset
  • Pemetaan regulasi
  • Peningkatkan kapasitas

 Fase 2 Pelepasan Skala Kecil (2013-2015)

  • Pelepasan di 4 dusun di Sleman dan Bantul yang melibatkan lebih dari 10 ribu penduduk
  • Surveilans aktif dengue
  • Kemenkes mereview kesiapan pelepasan dan memberi masukan hasil pertemuan lintas pakar

Fase3 Pelepasan Skala Besar atau Uji Klinis (2016-2020)

  • Analisis risiko independen termasuk studi dampak teknologi
  • Kemenkes berperan sebagai Ketua Trial Steering Committee Studi Aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue

Fase 4 Model Implementasi (2021 -2023)

  • Mendapat Rekomendasi AIPI
  • Rekomendasi WHO
  • Lalu melakukan pelepasan di seluruh Kota Yogyakarta
  • Implementasi di Sleman dan Bantul
  • Kemenkes menyusun strategi nasional penanggunggulangan dengue, menerbitkan Kepmenkes dan petunjuk tekni implementasi Wolbachia
3 dari 4 halaman

Bagaimana Efek Jangka Panjang Penyebaran Nyamuk Wolbachia?

Saat ini penyebaran nyamuk Aedes aegypti mengandung Wolbachia menuai kontra pada sebagian kalangan. Ada yang mengkhawatirkan efek jangka panjang dari penyebaran nyamuk Wolbachia.

Terkait ini, Budi mengatakan bahwa analisis risiko jangka panjang dari penyebaran nyamuk Wolbachia sudah dilakukan yang melibatkan 24 pakar independen dari Februari - September 2016.

"Orang-orang ini kredibilitasnya baik, bukan orang sembarangan yang menguji efek jangka panjang. Peneliti tersebut bukan orang UGM saja tapi juga ada dari Universitas Airlangga, Eijkman dan Universitas Indonesia dan lainnya," kata Budi.

Dari hasil analisis risiko tersebut ternyata penyebaran nyamuk Aedes aegypti Wolbachia adalah dapat diabaikan.

"Kesimpulan dalam 30 tahun ke depan risiko dampak berbahaya dari penyebaran Aedes aegypty ber-Wolbachia adalah negligibel atau dapat diabaikan," kata Budi.

 

4 dari 4 halaman

Program di 5 Kota Gelontorkan Dana Rp16 Miliar

Saat ini, Kementerian Kesehatan tengah menjalankan program penyebaran nyamuk Aedes aegypti di lima kota. Kemenkes RI menggelontorkan dana senilai Rp16 miliar untuk implementasi uji coba inovasi nyamuk ber-Wolbachia tersebut. 

"Kita spend sekitar Rp16 miliar di lima kota," kata Budi.

Dana tersebut di luar tambahan dari kocek pemerintah kota yang menjadi sasaran uji coba, masing-masing berkisar Rp500 juta," tambah Budi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.