Sukses

Polusi Udara Tak Hanya Terjadi di Jakarta, Berbagai Wilayah Lain Kena Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan

Selain dari asap kendaraan, buruknya kualitas udara di wilayah lain Indonesia juga dipengaruhi kebakaran hutan di banyak titik.

Liputan6.com, Jakarta Polusi udara di Jakarta dan sekitarnya membawa kekhawatiran bagi berbagai lapisan masyarakat.

Selain dari asap kendaraan, buruknya kualitas udara di wilayah lain Indonesia juga dipengaruhi kebakaran hutan di banyak titik.

Fenomena El Nino turut memperparah kondisi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Diprediksi banyak pihak bahwa karhutla tahun ini akan lebih parah dibandingkan dua tahun sebelumnya (2021-2022).

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah menyerukan dampak dari iklim ekstrem El Nino di Indonesia dapat mengurangi curah hujan dan memicu terjadinya kekeringan. Bahkan, tahun 2024 diprediksi akan menjadi tahun terpanas di dunia.

Mirisnya, fakta di lapangan yang berhasil dikumpulkan oleh Auriga Nusantara selama dua dekade terakhir (2001-2019) mengungkapkan kelalaian manusia berkontribusi besar dalam karhutla. Sebagian besar titik panas berada di lahan gambut, terutama di Kalimantan Tengah, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Papua.

Ini yang kemudian menyebabkan kebakaran semakin sulit dipadamkan. Api menjalar di perut gambut dan memicu bencana asap.

“Kesimpulan analisis Auriga Nusantara terhadap titik panas atau hotspot sepanjang 20 tahun terakhir, cenderung berulang dan di lokasi yang sama secara administratif,” kata Ketua Auriga Nusantara, Timer Manurung dalam keterangan pers yang diterima Health Liputan6.com, Kamis 31 Agustus 2023.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Titik Panas di 7 Provinsi

Titik panas tersebut cenderung meninggi pada bulan yang sama di kabupaten yang sama di 7 provinsi yakni:

  • Riau (proporsi hotspot 19 persen)
  • Kalimantan Tengah (19 persen)
  • Kalimantan Barat (13 persen)
  • Sumatera Selatan (12 persen)
  • Jambi (5 persen)
  • Papua (5 persen)
  • Kalimantan Selatan (4 persen).

Ditelisik lebih dalam, titik api berulang tersebut ternyata tidak hanya di dalam konsesi monokultur, tapi juga di kawasan konservasi. Konsesi monokultur adalah konsesi yang ditanami oleh satu jenis tanaman saja.

Data hotspot juga menunjukkan bahwa muncul fenomena episentrum api baru di provinsi yang masih kaya akan hutan, seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Utara.

Lebih jauh, Timer menambahkan bahwa ketujuh provinsi tersebut adalah provinsi kaya gambut.

Misal tahun 2019, salah satu tahun puncak kebakaran di Indonesia, hotspot di area gambut tertinggi terjadi di Sumatera, yakni di Jambi, Sumatera Selatan, dan Riau.

Tiga provinsi ini juga mencetak rekor titik panas tertinggi di lahan gambut dalam 20 tahun terakhir.

3 dari 5 halaman

Sederet Pemicu Karhutla

Sementara Pantau Gambut memaparkan beberapa hal yang berkontribusi pada maraknya karhutla dan bencana ekologi lain seperti banjir.

“Dalam beberapa tahun terakhir, pergerakan investasi pada industri ekstraktif dan monokultur skala besar terus bergeser dari Indonesia bagian barat ke arah Indonesia bagian timur, termasuk Papua. Hal ini menimbulkan konsekuensi pada peningkatan risiko bencana ekologi seperti karhutla maupun banjir,” ujar Koordinator Nasional Pantau Gambut, Iola Abas dalam keterangan yang sama.

Iola berpendapat bahwa proyek strategis nasional lumbung pangan atau food estate juga menyumbang potensi kerentanan tinggi yang menyebabkan adanya hotspot penyebab karhutla.

Pembukaan lahan atau alih fungsi lahan gambut dari hutan menjadi lahan untuk penggunaan lainnya memungkinkan terjadinya karhutla.

“Upaya restorasi lahan gambut seharusnya sudah dilakukan sejak 20 tahun yang lalu. Sayangnya, hingga kini ini pemerintah masih abai dengan restorasi lahan gambut yang serius dan hanya pernyataan secara seremonial saja. Untuk itulah, karhutla masih terus terjadi,” tuturnya.

4 dari 5 halaman

Mitigasi Karhutla dalam Kebijakan Pemerintah

Pemerintah sebetulnya telah berkomitmen untuk melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan.

Namun, dalam upaya pencegahan kebakaran hutan, kesenjangan kerap terjadi terutama dalam ranah kebijakan, anggaran, kelembagaan, dan implementasi kegiatan.

Yayasan Madani Berkelanjutan, memperkenalkan perhitungan Area Indikatif Terbakar (AIT) sebagai alat bantu penanggulangan karhutla di indonesia.

AIT memberikan gambaran pergerakan kebakaran dari bulan ke bulan yang relatif lebih dini (near real-time) sehingga bisa digunakan untuk mencegah perluasan karhutla.

“Analisis AIT menunjukkan bahwa karhutla 2023 sudah pasti akan lebih buruk daripada tahun 2022.  Sampai Agustus 2023 saja, 262.000 hektare diindikasikan sudah atau sedang terbakar. Dan 85 persen area tersebut terindikasi terbakar dalam dua bulan terakhir,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad.

5 dari 5 halaman

Pemangku Kepentingan Perlu Segera Bertindak

Padahal, El-Nino belum mencapai puncaknya sampai dengan September. Analisis ini adalah alarm bagi para pemangku kepentingan untuk segera bertindak mengendalikan kebakaran sebelum semakin meluas, lanjut Nadia.

Dalam upaya penanggulangan karhutla, kementerian, lembaga dan pemda wajib bersinergi sesuai dengan koridornya masing-masing.

“Kami mencatat luas Area Indikatif Terbakar meningkat berkali-kali lipat di wilayah izin hutan tanaman, perkebunan sawit, dan konsesi minerba serta konsesi migas dalam dua bulan terakhir. Hal ini perlu menjadi perhatian KLHK, Kementan, Kementerian ESDM, Kemendagri dan para kepala daerah.”

Sayangnya, Kementerian ESDM tidak termasuk lembaga yang dimandatkan dalam Inpres No. 3 Tahun 2020.

Nadia juga mengingatkan bahwa 2 dari 10 provinsi dengan AIT terluas, yaitu Aceh dan Papua, belum menetapkan status Siaga Darurat Karhutla.

Langkah mitigasi lainnya adalah melakukan mitigasi bencana yang lebih holistik berbasis konservasi ekosistem dan tata ruang. Perlu adanya kolaborasi multipihak dalam upaya melakukan mitigasi tersebut, sehingga kolaborasi tersebut dapat melahirkan penanganan kebencanaan yang berkelanjutan untuk memastikan kesejahteraan masyarakat.

Penanganan yang efektif juga perlu menyesuaikan dengan kearifan lokal dan fungsi ekologis daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu melakukan proteksi lingkungan dan pengurangan risiko karhutla. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.