Sukses

Status Kedaruratan COVID-19 Segera Dicabut, Pakar Beri Catatan Soal Kasus Aktif dan Laju Vaksinasi

Status kedaruratan COVID-19 di Indonesia segera dicabut bulan ini. Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra beri tanggapan.

Liputan6.com, Jakarta Status kedaruratan COVID-19 di Indonesia segera dicabut bulan ini. Hal ini disampaikan Menteri Koordinator (Menko) bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy.

Ia menjelaskan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera mencabut status kedaruratan kesehatan di Indonesia dan peralihan status pandemi menjadi endemi.

"COVID ini kan masih terus ada, tetapi sudah akan diputuskan Bapak Presiden nanti akan segera dicabut, waktunya tunggu pengumuman beliau," katanya di Jakarta, Selasa, 13 Juni 2023 mengutip Antara.

Rencana ini pun mendapat tanggapan dari Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra. Menurutnya, dalam mengambil keputusan ini, pemerintah melihat situasi global dan situasi nasional.

“Kalau dari situasi global, kelihatannya karena WHO sudah mencabut Public Health Emergency of International Concern (PHEIC), pemerintah kita juga rasanya punya alasan untuk mengevaluasi,” kata Hermawan kepada Health Liputan6.com, Rabu (14/6/2023).

Namun, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan pemerintah, lanjut Hermawan. Yakni soal kasus aktif dan laju capaian vaksinasi.

“Tapi memang catatannya, kita ini kasus aktif masih lebih dari 10 ribu loh. Kemudian, kita juga masih punya problem di laju vaksinasi, terutama booster, kita itu rendah.”

“Kabar baiknya, sebenarnya berdasarkan sero survei Kementerian Kesehatan (Kemenkes) hampir semua orang Indonesia itu sudah memiliki antibodi terhadap COVID. Artinya, COVID-19 memang penularannya jalan terus, tetapi risiko rendah terutama fatality walaupun kematian itu masih ada setiap hari,” ujar Hermawan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Masyarakat Indonesia Sudah Hidup Bebas

Hermawan menambahkan, ada atau tidaknya kebijakan khusus, masyarakat Indonesia sudah hidup dengan sangat terbuka. Artinya, protokol kesehatan sudah tidak diterapkan secara ketat dan hidup nyaris seperti sebelum adanya pandemi.

“Kalau kita lihat yang terjadi sebenarnya di negara kita orang udah bebas banget, jadi ada atau tidaknya kebijakan yang khusus, masyarakat sudah sangat terbuka.”

Hal-Hal Penting yang Harus Dipertahankan

Hal terpenting, jika pemerintah ingin mencabut status kedaruratan COVID-19 secara total, maka pemerintah harus mempunyai kompensasi berupa penguatan beberapa hal.

“Pertama, terus mengampanyekan atau mengimbau orang-orang yang tidak sedang sehat, tidak sedang fit, yang punya gangguan kesehatan, yang punya komorbid, atau yang tidak divaksinasi karena berbagai alasan itu tetap pakai masker.

“Masker itu wajib, yang dibolehkan buka masker adalah yang sehat. Berikutnya adalah perilaku bersih dan sehat, jadi orang kalau sudah terbiasa cuci tangan selama pandemi, nah itu tetap harus dikampanyekan,” tambahnya.

3 dari 4 halaman

Jaga dan Tingkatkan Laju Vaksinasi

Selanjutnya, hal yang tidak bisa ditawar ketika status kedaruratan dicabut adalah laju vaksinasi.

“Vaksinasi dalam negeri dengan sumber vaksin indovac atau inavac diharapkan bisa mengantisipasi kedaruratan, akan tetapi lajunya rendah. Ini harus dijaga dan ditingkatkan,” jelas Hermawan.

Hal lain yang tak kalah penting adalah kemampuan dalam mengantisipasi pandemi di masa depan. Terutama terkait ancaman wabah sejenis.

 “Berarti teknologi kita untuk deteksi, skrining, dan penyiapan kapasitas layanan kesehatan yang responsif terhadap wabah, nah itu yang harus dipantau dan dikuatkan. Nah, hal-hal ini yang harus betul-betul dilihat sebagai kompensasi dari pencabutan tadi.”

4 dari 4 halaman

Konsekuensi Jika Kedaruratan COVID-19 Dicabut

Lantas, apa konsekuensi yang bisa timbul jika status kedaruratan COVID-19 dicabut?

Menurut Hermawan, salah satu konsekuensi yang bisa timbul adalah terkait kebijakan penganggaran dan pembiayaan COVID-19.

“Sebenarnya lebih kepada pembiayaan dan kebijakan penganggaran pemerintah. Selama ini, biaya untuk COVID tuh besar, jadi dana-dana kementerian/lembaga yang dilakukan refocusing itu kan besar sekali untuk penanganan COVID, termasuk untuk bantuan sosial atau stimulan.”

“Jika bantuan sosial dan stimulan ini dicabut, maka tidak lagi menggunakan dana-dana taktis untuk keperluan COVID. Nah jadi pertama, dampaknya, konsekuensinya di pendanaan dan penganggaran.”

Namun, jika dilihat dari risiko perilaku, Hermawan tidak melihat ada risiko yang berarti.

“Kalau kita lihat secara risiko perilaku, rasanya tidak terlalu lagi ada risiko berat, kecuali ada ditemukan varian atau subvarian baru yang berbahaya dari penyebab COVID. Kalau ditemukan, maka kita juga harus siap dan siap siaga untuk kembali memperkuat kebijakan terutama prokes,” pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.