Sukses

CISDI Singgung Larangan Iklan dan Sponsor Rokok Belum Masuk RUU Kesehatan

Pasal pelarangan iklan dan sponsor rokok belum masuk ke dalam RUU Kesehatan.

Liputan6.com, Jakarta - Pasal pelarangan iklan dan sponsor rokok rupanya belum masuk ke dalam RUU Kesehatan. Hal ini disoroti oleh Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI).

Founder dan Chief Executive Officer CISDI Diah Satyani Saminarsih menyampaikan, RUU Kesehatan Omnibus Law seyogianya harus dilengkapi dengan aturan pelarangan iklan dan sponsor rokok. Terlebih lagi, rokok termasuk salah satu produk tembakau yang perlu diperhatikan peredarannya.

"Yang harus disempurnakan dan menjadi catatan CISDI tentunya adalah yang soal rokok, di mana belum memasukkan peraturan pelarangan Iklan Promosi dan Sponsor," ujar Diah saat Diskusi Publik, Kepentingan Publik yang Belum Ada di RUU Kesehatan pada Kamis, 8 Juni 2023.

"Atau biasa kita kenal dengan IPS kalau disingkat. Untuk produk tembakau ini konsekuensinya sangat besar bagi publik terutama anak-anak."

Jumlah Perokok Laki-laki Indonesia Sangat Besar

Diah membeberkan, jumlah perokok laki-laki di Indonesia terbilang besar di dunia sekitar 74 persen. Selain itu jumlah perokok anak-anak yang bertambah.

"Kita, jumlah perokok laki-lakinya sangat besar, tertinggi di dunia. Kalau saya tidak salah 74 persen dan juga perokok anak-anak yang akan terus terpapar dari usia yang makin muda oleh iklan iklan atau promosi dari produk rokok. Ini yang seolah-olah dicitrakan baik, padahal sudah jelas-jelas berbahaya untuk kesehatan," ungkapnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tambahan Pasal Larangan Iklan dan Sponsor Rokok

Demi melengkapi aturan produk tembakau dalam RUU Kesehatan Omnibus Law, CISDI mendorong adanya penambahan pasal pelarangan iklan dan sponsor rokok.

"CISDI mendukung penambahan pasal larangan iklan promosi dan sponsor rokok. Kita melihat bagaimana kemudian media memberikan iklan-iklan tersebut beberapa kali di billboard dan lain sebagainya," Diah Satyani Saminarsih melanjutkan.

Setarakan Rokok dengan Narkotika

Jagad media sosial sedang gaduh dengan RUU Kesehatan yang menyetarakan produk hasil tembakau, yakni rokok dimasukkan ke dalam kelompok yang sama dengan narkotika, salah satu zat adiktif. Kontroversi datang dari sejumlah pihak yang menilai hal itu akan merugikan industri tembakau dan konsumen rokok.

Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) melihat bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang menyetarakan rokok dengan narkotika tersebut rentan mengancam keberlangsungan ekosistem pertembakauan.

Ancaman yang dimaksud, menurut Sekjen AMTI Hananto Wibisono, khususnya terkait Pengaturan Zat Adiktif yang tercantum di Bagian Kedua Puluh Lima RUU Kesehatan.

“Sejak awal elemen ekosistem pertembakauan sebagai bagian dari masyarakat tidak diakomodirnya suaranya untuk memberikan masukan terkait RUU Kesehatan tersebut," ujar Hananto dalam 'Diskusi Media: Mengawal Rancangan Regulasi yang Eksesif dan Diskriminatif Terhadap Ekosistem Pertembakauan' beberapa waktu lalu.

"RUU Kesehatan ini dibuat dengan sangat eksesif dan diskriminatif terhadap elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan."

3 dari 4 halaman

Kendalikan Suplai Rokok

Terkait rokok, sebagaimana data Global Adult Tobacco Survey (GATS) menunjukkan, ada sekitar 70,2 juta orang yang merokok di dunia, dan Indonesia berada di urutan ketiga dengan jumlah perokok tertinggi.

Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono mengungkapkan, bahwa angka dalam survei itu mungkin muncul salah satunya karena Indonesia masih menjadi negara penghasil tembakau.

Dalam merespons hal tersebut, imbauan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk percepatan pengendalian tembakau pun sudah dibuat. Salah satunya, mensubstitusi lahan pertanian dengan pertanian bersumber pada pangan dan gizi.

"Imbauan tersebut menjadikan tema We Need Food, Not Tobacco. Kita perlu makan pangan, bukan rokok. Imbauan ini sekaligus muncul sebagai latar belakang bagaimana kita mengendalikan suplai rokok yang makin lama makin meningkat," ujar Dante dalam acara Puncak Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia bersama Kemenkes RI, Kamis (8/6/2023).

Aturan Baru Khusus Rokok Elektrik

Selain berfokus pada lahan pertanian tembakau yang akan disubtitusi, Dante menyebut hal lain yang tak kalah pentingnya berkaitan dengan aturan untuk rokok elektrik.

"Hal yang penting lagi adalah pengaturan regulasi yang baru untuk beberapa produk tembakau yang sebelumnya tidak ada. Seperti rokok elektrik," kata Dante.

"Rokok elektrik yang sebelumnya tidak ada aturannya, kita nanti akan berlakukan sebagai salah satu bentuk implementasi aturan yang baru."

4 dari 4 halaman

Tingginya Penggunaan Tembakau

Dalam kesempatan yang sama, Dante Saksono Harbuwono mengungkapkan, alasan di balik mengapa rokok harus dikendalikan di Indonesia. Hal itu tak lain dikarenakan rokok membuat kejadian penyakit tidak menular dan pembiayaannya menjadi tinggi.

"Tingginya angka penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian penyakit tidak menular yang menyebabkan angka kematian dan pembiayaan yang tinggi. Misalnya penyakit jantung, stroke, dan kanker," ujar Dante.

"Bukan soal merokoknya saja dan tidak ada keluhan pada saat itu. Tetapi jangka panjang dan internal metabolisme yang terjadi di dalamnya berpengaruh pada kesehatan manusia."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini