Sukses

Menkes Budi: Jangan Sampai Informasi Biomedis Kita Diambil Negara Lain

Indonesia perlu mempersiapkan penguatan teknologi biomedis termasuk informasi biomedis agar tak kalah dari negara lain.

Liputan6.com, Jakarta - Kemajuan teknologi kesehatan, dalam hal ini bioteknologi atau biomedis akan berdampak besar terhadap perkembangan pelayanan kesehatan ke depannya. Perawatan pasien secara lebih spesifik yang dikenal dengan kedokteran presisi kian berkembang.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin mengatakan, perkembangan teknologi biomedis akan mengubah peta perawatan kesehatan di seluruh dunia. Di Indonesia, pengembangan biomedis tengah diupayakan.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan pilar transformasi teknologi kesehatan berupaya mempersiapkan agar teknologi biomedis di Indonesia dapat mulai berjalan. Salah satu pemanfaatannya dengan metode genomik yang bisa mengidentifikasi sumber penyakit.

“Teknologi biomedis ke depannya akan kita lihat sangat mengubah peta diagnostik dan perawatan kesehatan di seluruh dunia dan jangan sampai informasi biomedis dari masyarakat kita diambil negara lain dan dimanfaatkan oleh negara lain,” papar Budi Gunadi saat Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, ditulis Minggu (9/4/2023).

Persiapkan Pengembangan Teknologi Kesehatan

Disampaikan kembali oleh Budi Gunadi Sadikin, perkembangan teknologi kesehatan yang diiringi teknologi informasi akan berdampak besar di bidang kesehatan. 

“Mengenai transformasi teknologi kesehatan, perkembangan teknologi informasi luar biasa. Itu bukan hanya di sektor transportasi, di sektor informasi, di sektor ticketing atau belanja,” lanjut Menkes Budi.

“Ini juga akan berdampak besar di kesehatan. Oleh karena platform (teknologi kesehatan) itu, harus kita persiapkan dengan baik."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Mendorong Pemanfaatan Biomedis

Menkes Budi Gunadi Sadikin menyebut pemanfaatan biomedis di Indonesia akan didorong. Hal ini sesuai substansi dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Pasal 359.

Bunyi Pasal 359, antara lain:

  1. Dalam rangka mendukung Pelayanan Kesehatan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong pemanfaatan teknologi biomedis.
  2. Pemanfaatan teknologi biomedis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup teknologi genomik, transkriptomik, proteomik, dan metabolomik terkait organisme, jaringan, sel, dan biomolekul.
  3. Pemanfaatan teknologi biomedis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan mulai dari kegiatan pengambilan spesimen, penyimpanan spesimen jangka panjang, serta pengelolaan dan pemanfaatan spesimen dan data terkait, yang ditujukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan Teknologi Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan, termasuk pelayanan kedokteran presisi (precision medicine).
  4. Pengambilan spesimen, penyimpanan spesimen jangka panjang, serta pengelolaan dan pemanfaatan spesimen dan data terkait wajib mendapatkan persetujuan dari Pasien dan/atau pendonor.
  5. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pengelolaan dan pemanfaatan spesimen dan data terkait tidak wajib mendapatkan persetujuan dari Pasien dan/atau pendonor apabila:
  1. data yang tidak dapat ditelusuri identitasnya atau berupa data agregat;
  2. data untuk kepentingan penelitian ilmiah tertentu;
  3. data untuk kepentingan hukum; dan/atau
  4. data untuk kepentingan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

3 dari 3 halaman

Uji Klinis di Indonesia Paling Rendah

Terkait dengan biomedis, Inge Kusuma dari International Pharmaceutical Manufacturers Group of Indonesia memberikan masukan soal perjanjian alih material uji klinik di Indonesia.

Pada Pasal 361 dalam draft RUU Kesehatan, khususnya pada ayat 2 huruf a, disebutkan apabila pemeriksaan spesimen termasuk genomik belum dapat dilakukan di dalam negeri. 

“Menurut proyeksi dari institusi yang melakukan audit di beberapa negara, uji klinis di Indonesia saat ini sekitar 4 persen dari negara di ASEAN, jadi paling rendah. Sedangkan, yang paling tinggi saat ini Singapore, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam,” jelas Inge saat sesi 'Public Hearing RUU Kesehatan' di Jakarta, Jumat (17/3/2023).

Inge melanjutkan, tahun lalu (2022) hanya ada 1 uji klinis yang dilakukan. Kemungkinan 5-10 tahun yang lalu ada berpuluh-puluh. Hal ini disebabkan antara lain kendala pada perjanjian alih material. 

Pemeriksaan spesimen, termasuk genomik belum dapat dilakukan di dalam negeri, sehingga spesimen tersebut boleh dikirimkan. 

“Terutama pada obat-obat inovatif, di luar negeri hanya ada 1-2 center, jadi memang harus dikirim ke luar negeri,” lanjutnya.

Perkuat Regulasi Uji Klinis Skala Global di Indonesia

Inge menambahkan, mungkin ada tes di Indonesia, tapi untuk memenuhi uji standar klinis internasional, sampelnya harus divalidasi di laboratorium sentral.

“Jadi yang kami minta adalah penguatan regulasi, permohonan persetujuan pelaksanaan uji klinis global yang jelas dan transparan,” tambahnya, dikutip dari laman Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kemenkes RI.

Sebenarnya, regulasi pelaksanaan uji klinis di Indonesia sudah diatur di Permenkes Nomor 85 tahun 2020. Namun, menurut Inge, hal ini menyebabkan birokrasi menjadi sangat panjang.

“Itu yang menyebabkan perusahaan global yang berbasis riset memutuskan tidak melakukan uji klinis skala global di Indonesia, sangat disayangkan, karena keluaran yang diharapkan jumlah uji klinis global di Indonesia semakin banyak,” papar Inge.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini