Sukses

Sanksi Sosial, Dampak Tak Terhindarkan untuk 2 Remaja yang Bunuh Bocah Demi Jual Organ

Kini, AD (17) dan MF (14) harus menanggung dampak dari perbuatannya usai membunuh MFS.

Liputan6.com, Jakarta Kini, AD (17) dan MF (14) harus menanggung dampak dari perbuatannya. Dua remaja ini terbukti membunuh MFS, anak berusia 11 tahun di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Selain harus berurusan dengan hukum, keduanya turut mendapatkan sanksi sosial. Diketahui, rumah AD dan MF dihancurkan oleh warga usai pemakaman MFS selesai dilakukan.

Amukan serta teriakan ikut mengiringi proses penghancuran rumah tersebut. Terlihat dinding yang terbuat dari seng dipreteli oleh warga hingga tak lagi utuh.

Berkaitan dengan hal ini, psikolog anak, remaja, dan keluarga Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indriani mengungkapkan bahwa sanksi sosial memang hal yang tidak bisa dihindari. Pasalnya, sanksi sosial menjadi salah satu konsekuensinya.

"Sanksi sosial memang tidak bisa dihindari, karena itu adalah konsekuensi atas tindakan buruk yang telah dilakukan," ujar Efnie pada Health Liputan6.com, Kamis (13/1/2023).

Namun, masih ada yang bisa dilakukan salah satunya dari pihak sekolah. Bila memang pelaku masih ada di bangku sekolah, memberikan pembekalan dalam bentuk pelatihan, grup terapi, atau program lain pada siswa dianggap bisa membantu.

Dari pembekalan itulah, para siswa bisa dibantu pembentukan karakternya. Sehingga tidak lagi mudah melakukan penghakiman (judgement) termasuk pada pelaku kejahatan.

"Dengan demikian siswa akan tidak mudah melakukan judgement pada orang lain dan mencegah siswa melakukan berperilaku buruk. Seandainya perilaku buruk terjadi pun, perilaku buruk tersebut masih merupakan hal-hal yang bisa ditolerir," kata Efnie.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Hukuman yang Dianggap Cocok untuk Pelaku

Dari sisi psikologis, Efnie mengungkapkan bahwa hukuman yang cocok tidak bisa hanya sebatas reward dan punishment. Hal tersebut lantaran pada kategori usia tersebut, anak remaja sebenarnya masih dalam proses pembentukan.

"Dalam proses pembentukan ini tidak bisa hanya sebatas pada reward dan punishment semata. Hukuman untuk efek jera merupakan salah satu bentuk punishment. Hal yang perlu disertakan selain hukuman adalah program-program yang berkaitan dengan character building atau terapi," kata Efnie.

Efnie menjelaskan, character building atau terapi menjadi hal yang sangat penting. Bila tidak dilakukan, dikhawatirkan agresi pelaku yang bersangkutan justru bisa meningkat usai menyelesaikan hukuman penjara.

"Dikhawatirkan apabila yang bersangkutan sudah menyelesaikan masa hukumannya maka bukan efek jera yang terjadi, namun agresinya menjadi semakin meningkat," ujar Efnie.

3 dari 4 halaman

Bentuk Agresi Pelaku Bisa Meningkat

Menurut Efnie, agresi pada pelaku bisa mengalami peningkatan jika tidak benar-benar mengikuti terapi secara tuntas. Bahkan, pelaku bisa berpikir bahwa agresi yang dilakukan olehnya adalah bentuk balas dendam.

"Agresi tersebut bisa dilampiaskan seperti bentuk balas dendam atas hukuman yang telah ia dapatkan. Bisa dilampiaskan kepada pihak lain. Jadi hukuman yang dijalani bukan dijadikan pembelajaran namun sebagai alasan untuk balas dendam dan agresi," pungkasnya.

Sedangkan bila menelusuri kemungkinan penyebabnya, Efnie mengungkapkan bahwa kemungkinan ada dua penyebab di balik tindakan AD dan MF untuk membunuh korbannya yang berusia 11 tahun.

Dua hal itu adalah hasil pengamatan yang berubah jadi obsesi dan desakan hidup.

"Remaja bisa melakukan sesuatu yang sifatnya ekstrem biasanya merupakan hasil kombinasi antara hal-hal yang dia amati kemudian menjadi inspirasi, dan faktor situasi desakan hidup," ujar Efnie.

4 dari 4 halaman

Inspirasi yang Beralih Jadi Obsesi

Terlebih di era digital saat ini, sumber pengamatan bisa dilakukan dari mana saja dan diakses kapan saja. Cara tersebutlah yang bisa menjadi sumber inspirasi yang sangat kuat untuk pelaku.

"Jika sudah menjadikan sesuatu sebagai inspirasi, maka remaja akan melakukan hal tersebut secara langsung tanpa disertai pertimbangan yang matang," ujar Efnie.

Efnie mengungkapkan bahwa hal-hal yang sudah menjadi inspirasi tersebutlah yang kemudian bisa berkembang menjadi obsesi dalam pikiran.

"Ditambah lagi ada desakan kebutuhan hidup, maka akan semakin memperkuat obsesi pikiran untuk diwujudkan dalam perilaku nyata," kata Efnie.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.