Sukses

Rencana BPOM Labelisasi BPA pada Galon AMDK, Pakar Nilai Tidak Efektif

Pelabelan galon kemasan bebas BPA dinilai menjadi tidak efektif karena unsur tersebut masuk ke dalam kendali perilaku bukan pada substansi yang seharusnya sudah dikendalikan pada saat produksi.

Liputan6.com, Jakarta - Penggunaan air minum dalam kemasan (AMDK) menjadi hal yang lazim bagi masyarakat di Indonesia. Namun, di balik kemasan air minum berbahan plastik polikarbonat seperti galon guna ulang disinyalir ada ancaman Bisfenol A (BPA) yang berisiko bagi kesehatan.

BPA merupakan salah satu bahan penyusun plastik polikarbonat (PC) kemasan air minum dalam galon yang pada kondisi tertentu dapat bermigrasi dari kemasan plastik PC ke dalam air yang dikemasnya.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pun berencana merevisi peraturan dengan mewajibkan produsen air kemasan dengan galon guna ulang memberi label "berpotensi mengandung BPA" pada produknya. Revisi dan rancangan peraturan yang mewajibkan mencantumkan potensi BPA khusus produk air minum dalam kemasan dan galon guna ulang PC itu akan diumumkan secara resmi oleh BPOM dalam waktu dekat.

 

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menyampaikan, belum melihat bukti yang cukup dan berdampak luas di masyarakat terkait isu bahaya BPA. Menurutnya, jika ditemukan adanya zat berbahaya maka kendali ada pada produksi dan distribusi, bukan pada label.  

“Untuk BPA ini, dari kasus konsumsi kami belum melihat evidence based atau fenomena dan fakta yang cukup dan berdampak luas di masyarakat. Apabila ada isu zat ini berbahaya khususnya di pangan, makanan dan minuman, maka kendalinya ada di produksi dan di distribusi bukan di labelnya. Ini tidak bisa coba – coba sesuatu produk yang digulirkan hanya sekadar melabeli," tuturnya di acara Polemik Spesial MNC Trijaya FM, 'Urgensi Pelabelan BPA Galon Guna Ulang' di Hotel Mercure Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (10/11/2022).

 

Pelabelan galon kemasan bebas BPA dinilai menjadi tidak efektif karena unsur tersebut masuk ke dalam kendali perilaku bukan pada substansi yang seharusnya sudah dikendalikan pada saat produksi. 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Ada Aturan BPOM Soal Senyawa Kimia dalam Kemasan Pangan

 

 

Dalam diskusi tersebut, Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA dan Peneliti Senior SEAFAST IPB Prof Purwiyatno Hariyadi mengatakan sebenarnya sudah ada aturan BPOM mengenai pengendalian risiko senyawa kimia yang digunakan pada kemasan pangan. Aturan tersebut dimuat dalam Peraturan BPOM Nomor 20 tahun 2019.

"Sebetulnya sudah ada aturan di BPOM sendiri tentang hal itu. Yaitu peraturan tentang kemasan pangan yang didalamnya itu mengatur hal-hal yang berhubungan dengan senyawa-senyawa yang kalau tidak dikendalikan itu bisa menyebabkan risiko terhadap kesehatan," ujarnya.  

Lebih lanjut Purwiyatno mengatakan, bukan hanya BPA yang ada dalam peraturan tersebut melainkan juga zat kimia lain seperti merkuri dan timbal yang mungkin ada dalam kemasan yang berpotensi bermigrasi kepada pangan atau minuman yang kemudian dikonsumsi. Dalam aturan tersebut juga disebutkan batas migrasi maksimum atau batas luruhnya zat kimia dalam kemasan pada pangan. 

Menurutnya yang perlu dilakukan dan ditunjukkan oleh regulator adalah kajian risiko dari produk kemasan tersebut. Terkait pelabelan galon kemasan, Purwiyatno mengaku kurang mengetahui apa tujuannya. 

“Kalau memang sudah melewati ambang batas ya, ditarik tidak perlu dilabel. Saya tidak tahu untuk apa itu. PP Pangan kita menyatakan bahwa semua regulasi yang dikeluarkan oleh otoritas pengawasan pangan harus melakukan kajian risiko. Nah ini yang harus dikomunikasikan," ujar Purwiyatno.

 

3 dari 4 halaman

Tak Perlu Label

Hal yang sama juga disampaikan oleh Pakar Polimer Institut Teknologi Bandung (ITB) Akhmad Zainal Abidin, ia merasa labelisasi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) Galon Guna Ulang (GGU) tidak perlu lagi karena sebenarnya Peraturan BPOM 20/2019 itu sudah cukup.

“Di aturan PBOM 20/2019 itu semua sudah dituliskan. Itu lebih accepted dan produk yang diedarkan juga sudah disertifikasi oleh BPOM,” ucapnya. 

Lebih jauh Zainal menjelaskan, migrasi BPA dari galon guna ulang masih di bawah kadar maksimum yang diizinkan. “Migrasi BPA dari galon guna ulang ke produk air di dalamnya itu masih seperseratus dari kadar maksimum yang diizinkan. Termasuk sampel galon yang terjemur sinar matahari, meski memang ditemukan adanya kandungan migrasi yang lebih tinggi dari yang ditempatkan di tempat yang tidak terkena matahari, namun kadarnya juga masih jauh di bawah batas maksimum yang diizinkan,” ujarnya.

Dari sisi ilmiah, kata Zainal, semua zat kimia itu pasti berbahaya. Tidak hanya BPA, zat-zat prekursor yang digunakan untuk membuat botol atau galon plastik PET (polyethylene terephthalate) atau sekali pakai juga sama-sama ada bahayanya.

“Etilen glikol yang menjadi salah satu prekursor yang digunakan untuk membuat botol atau galon plastik PET atau sekali pakai itu sangat beracun dan bisa menyerang sistem saraf pusat, jantung dan ginjal serta dapat bersifat fatal jika tidak segera ditangani,” Zainal memaparkan.

4 dari 4 halaman

Jernih Melihat Saat Akan Susun Kebijakan

 

Sementara itu, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal Edy Halim, meminta BPOM agar tidak hanya melabeli satu jenis kemasan plastik saja, tapi harus dilakukan terhadap semua kemasan. Hal itu menurut dia, karena semua kemasan plastik itu mengandung zat-zat kimia berbahaya.

"Jadi, jika BPOM ingin mewacanakan pelabelan, ya semua harus dilabeli, baik kemasan berbahan Polikarbonat maupun PET. Karena semua plastik itu sama-sama berbahaya bagi kesehatan," ujarnya.

"Kalau BPOM mau buat pelabelan BPA, pertanyaannya kan ada isu lingkungan juga kalau kita hanya memakai yang sekali pakai itu. Aktivis lingkungan akan bereaksi karena akan terjadi penimbunan sampah yang lebih banyak," tuturnya.

Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo menyampaikan bahwa tugas pokok dari BPOM adalah mengawasi namun ketika harus menyusun kebijakan, BPOM juga harus jernih melihat apakah ini akan menimbulkan kegaduhan atau tidak.

“Hal ini bisa dilakukan dengan sosialiasi, duduk dengan stakeholder dan edukasi," tambahnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini