Sukses

HEADLINE: Muncul Wacana Pencabutan PPKM, Masih Perlukah Pemberlakuannya?

Siituasi COVID-19 Tanah Air dinilai sudah jauh terkendali dan kekebalan masyarakat terhadap virus SARS-CoV-2 dianggap tinggi. Sejumlah pakar mengusulkan PPKM dicabut

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah pakar di Tanah Air mengusulkan pencabutan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) seiring situasi pandemi COVID-19 yang dinilai telah terkendali dan kekebalan masyarakat terhadap virus SARS-CoV-2 pun tinggi.

Diketahui, saat ini seluruh provinsi di Indonesia masuk pada kategori Level 1 PPKM, sesuai Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) tentang PPKM pada kondisi COVID-19.

"Terhadap usulan kami adalah upaya pembatasan kegiatan masyarakat sebagai intervensi untuk pengendalian pandemi tidak lagi diperlukan. Karena tingkat imunitas penduduk tinggi," terang Epidemiolog UI Pandu RIono saat sesi Media Briefing: Kapan Pandemi Berakhir, pekan lalu.

"Kita bisa menuntaskan dan memperkuat imunitas pada penduduk yang sangat berisiko (dengan tetap mengejar vaksinasi COVID-19)."

Hasil survei serologi antibodi penduduk Indonesia terhadap virus SARS-CoV-2 yang dilakukan Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian Kesehatan dan Tim Pandemi FKM UI periode Juli - Agustus 2022 menunjukkan kadar antibodi penduduk Indonesia meningkat, dari yang sebelumnya 444 unit per mililiter menjadi 2.097 unit per mililiter.

"Kita optimis bahwa kita menuju status kedaruratan kesehatan (pandemi) akan dihentikan, tapi tahapannya ada, usulan pembatasan kegiatan tak lagi diperlukan dan tetap vaksinasi," lanjut Pandu.

Senada dengan Pandu, Epidemiolog Iwan Ariawan pun optimistis bahwa pembatasan kegiatan masyarakat di Indonesia sudah bisa dihapus dengan melihat sejumlah indikator pandemi di Indonesia saat ini. 

"Kami, para ahli dan epidemiolog menyarankan kepada Pemerintah. Mungkin pembatasannya kita sudah bisa hapuskan, tapi bukan indikatornya. Indikator itu tetap ada, protokol kesehatan dan vaksinasi tetap dilakukan. Saya rasa sebentar lagi Pemerintah akan mengeluarkan penghapusan pembatasan kegiatan masyarakat," ucapnya.

Iwan mengatakan, PPKM digunakan oleh Pemerintah untuk mengendalikan pandemi. Melalui PPKM, masyarakat 'dipaksa' untuk tidak melakukan sejumlah kegiatan demi mencegah penyebaran COVID-19. Meski demikian, Iwan mengatakan, PPKM memiliki indikator dan level.

"Kalau kita lihat sekarang di Indonesia, seluruhnya Level 1, berarti pembatasan tetap ada, cuma sangat sedikit. Kita lihat bahwa dengan PPKM Level 1, yang kita tahu juga bagi masyarakat tak semuanya menaati dengan baik, kasus COVID-19 tetap terkendali," ujar Iwan.

Kondisi COVID-19 di Indonesia yang semakin melandai menurut Iwan harus tetap dijaga. Penguatan protokol kesehatan (prokes) dan vaksinasi digencarkan demi menjaga agar kasus COVID-19 tak naik.

Di sisi lain, Pandu menyoroti, kondisi COVID-19 Tanah Air memang sudah jauh terkendali, tapi masih belum bagus atau ideal. Sebab, ada lansia yang belum vaksinasi booster.

"Itu masih harus dipercepat. Jadi, antara masyarakat dan Pemerintah harus sama-sama nih, karena kita ingin menjaga tenaga kesehatan (nakes) yang juga harus dilindungi. Pada awal pandemi, hampir tiap hari banyak nakes yang berguguran," paparnya.

Sementara itu, pembahasan penghapusan pembatasan kegiatan masyarakat, kata Pandu juga akan didiskusikan bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Kemenkes Menunggu Arahan Jokowi

Menanggapi usulan pencabutan PPKM, Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia Mohammad Syahril mengatakan keputusan tersebut menunggu arahan dari Presiden Joko Widodo.

Syahril menjelaskan, apabila pemerintah pusat -- Jokowi -- sudah mencabut Status Kegawatdaruratan Kesehatan Masyarakat di Indonesia, maka PPKM baru dapat dicabut. 

"Kalau masalah PPKM ini kan merupakan kebijakan yang dibuat bersama-sama, maka tentu saja untuk pencabutan ini ya apabila Status Kegawatdaruratan Kesehatan dicabut di pusat, ini akan menjadi suatu dasar untuk mencabut PPKM," ungkap Syahril saat sesi Media Briefing: Kapan Pandemi Berakhir? pada Jumat, 23 September 2022.

Dalam kesempatan berbeda, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa keputusan pencabutan PPKM menunggu pengumuman dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Itu (pencabutan PPKM) nanti tunggu pengumuman Pak Presiden Jokowi," tegas Budi Gunadi usai acara 'Millennial and Gen-Z Summit (IMGS) 2022' di Tribrata, Jakarta pada Kamis, 29 September 2022.

Syahril juga menjelaskan, pencabutan PPKM pun membutuhkan keputusan bersama dari seluruh kementerian/lembaga dan stakeholder.

"Jadi, PPKM ini dibuat bersama-sama dengan memperhitungkan dan mempertimbangkan dari berbagai stakeholder atau berbagai pihak, begitupun untuk pencabutannya. Sekarang, upaya-upaya kita ya bagaimana menyiapkan Indonesia untuk mencapai transisi menuju endemi."

Sebelumnya, Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito juga menyampaikan bahwa saat ini Pemerintah belum ada rencana untuk menghentikan PPKM meski seluruh daerah di Indonesia telah berada pada Level 1.

"PPKM merupakan kebijakan yang menjaga kita sebagai masyarakat, apabila ke depannya terjadi kembali lonjakan kasus COVID-19," tegas Wiku.

Data terkini perkembangan COVID-19 per 30 September 2022 menunjukkan, 26 dari 34 provinsi di Indonesia mengalami penurunan kasus. Dengan demikian, ada 8 provinsi lainnya yang masih terjadi kenaikan kasus COVID-19. Kedelapan provinsi tersebut yakni Daerah Istimewa Yogyakarta, Bangka Belitung, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara. 

Selain itu, angka positivity rate di Tanah Air masih berada di kisaran 6.08 persen per 29 September 2022. 

Meski demikian, Syahril mengatakan, kemungkinan lonjakan kasus masih mungkin terjadi mengingat COVID-19 terus bermutasi dan memunculkan varian-varian baru. Untuk itu, Indonesia melalui Kemenkes RI mempersiapkan langkah menuju endemi yakni: 

1. Transisi dari case-based nation whole surveilance ke sentinel surveilance

2. Melakukan integrasi surveilan COVID-19 dengan surveilan LUSARI

3. Menguatkan community based surveilance yang akan terintegrasi dengan Sistem Kewaspadaan Diri dan Respons (SKDR) yang ada di Puskesmas

4. Hospital based surveilance, selain akan terintegrasi dengan SKDR, tetapi juga trennya akan dipantau melalui surveilans SARI untuk kasus-kasus berat.

5. Environmental Surveilance (ES) juga akan menjadi salah satu sistem surveilan yang akan dikembangkan.

3 dari 5 halaman

PPKM Bisa Lebih Dulu Dicabut

Berbeda dari Kemenkes, Pandu Riono menyampaikan, PPKM justru dapat dicabut lebih dulu dibanding Status Kegawatdaruratan Kesehatan Masyarakat.

"PPKM bisa lebih dulu dicabut. Kalau pencabutan Status Kegawatdaruratan Kesehatan Masyarakat bisa nanti, setelah kita betul-betul percaya bahwa Indonesia tidak darurat lagi," jelasnya.

Dijelaskan Pandu, Indonesia memiliki dua status kegawatdaruratan, yaitu Status Kegawatdaruratan Kesehatan Masyarakat dan Kegawatdaruratan Bencana Non-Alam.

Pada April 2020, Jokowi secara resmi menetapkan COVID-19 sebagai bencana nasional. Penetapan itu dinyatakan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.

"Dengan dua status kegawatdaruratan ini, Pemerintah mempunyai kebijakan yang fleksibel dalam mengatur anggaran dan banyak kegiatan lain untuk mengatasi kegawatdaruratan tadi," terang Pandu.

"Kalau misalnya, betul-betul sudah dicabut, maka Pemerintah tentu tidak bisa menerapkan kebijakan seperti pada waktu masa darurat. Itu juga adalah keputusan politik ya bukan keputusan ahli epidemiologi. Epidemiolog hanya merekomendasikan, kalau pembatasan masyarakat sudah bisa dicabut."

Berbeda dengan Pandu dan Iwan, epidemiolog Dicky Budiman tidak merekomendasikan PPKM dicabut. Menurutnya, PPKM terbukti sangat efektif dalam turut mengendalikan COVID-19.

PPKM, kata Dicky tak ubahnya payung dalam intervensi test, tracing, treatment (3T) serta 5M yakni mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas.

“Status PPKM ini sangat erat kaitannya dengan status emergensi dan kedaruratan ini sendiri. Situasi saat ini membaik? Iya. Indonesia on the track? Iya, progres sudah baik,” ujar Dicky melalui video singkat kepada Health Liputan6.com, Kamis malam (22/9/2022).

“Pesan penting dari Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah jelas, bahwa jangan sampai ini membuat euforia. Jangan sampai kita menghentikan upaya-upaya yang baik ini padahal belum mencapai finish,” tambahnya.  

Jokowi, kata Dicky, sebelumnya sudah mengingatkan bahwa situasi masih rawan.

“Jadi saya tidak dalam posisi merekomendasikan PPKM dicabut. PPKM berlaku bukan berarti menghalangi upaya pemulihan kita, tetap bisa kita lakukan PPKM ini dalam level terendah.”

PPKM juga berguna untuk mengingatkan masyarakat bahkan pemerintah sendiri bahwa situasi masih rawan dan bisa menjadi lebih parah jika abai.

“Jadi, PPKM saya rekomendasikan tetap ada dengan level terendah, sembari kita manfaatkan ini momentum transisi mengarah pada upaya perilaku hidup bersih sehat. Serta upaya-upaya yang lebih adaptif untuk mencegah adanya wabah.”

 

 

 

4 dari 5 halaman

PPKM Dicabut atau Tidak, Penting Tetap Pakai Masker

Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo berpendapat, dicabut atau tidaknya PPKM cenderung tidak ada bedanya.

“Apa bedanya sih sekarang ada PPKM level 1 dengan tanpa PPKM, enggak ada (bedanya) kan. Kenyataannya aktivitas di area publik mana pun bebas, mobilitas bebas. Enggak ada bedanya. Kalau saya sih mau dicabut monggo, enggak dicabut monggo,” kata Windhu kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon Jumat (30/9/2022).

Menurutnya, persyaratan harus tetap berjalan jika nanti akhirnya PPKM dicabut. Persyaratan yang dimaksud adalah vaksinasi lengkap dan menggunakan perilaku yang baru yakni tetap menerapkan protokol kesehatan (prokes), terutama pakai masker hingga virus hilang.

“Jadi menurut saya, PPKM dicabut atau enggak, sama saja. Cuma secara psikologis, kalau PPKM masih disebut, orang akan ingat bahwa masih ada virus, tapi kan tidak menghambat aktivitas.”

Dicabut atau tidaknya PPKM bukanlah perkara yang penting menurut Windhu. Hal terpenting adalah penerapan perilaku baru. Yakni mengenakan masker di tempat-tempat kerumunan terutama yang tertutup.

Indonesia pun tak perlu ikut-ikutan negara lain yang telah mencabut berbagai protokol kesehatan, termasuk penggunaan masker, imbau Windhu. 

“Menurut saya kita harus tetap (pakai masker)." 

Mengenai penggunaan masker, menurutnya negara-negara yang mengambil kebijakan lepas masker telah memiliki fasilitas yang benar-benar siap. Sehingga jika ada individu yang terpapar dan punya komorbid atau gejala berat, siap ditangani rumah sakit dan bisa sembuh. Kondisi ini berbeda dengan Indonesia yang fasilitas kesehatan memadai dan mampu menangani kasus berat hanya ada di kota-kota besar seperti Jakarta. 

“Jadi enggak usah tiru-tiru negara lain yang sudah buka masker.” 

Bila nanti PPKM dicabut hal yang juga perlu tetap diperhatikan adalah menggenjot vaksinasi COVID-19. Ia berharap definisi vaksinasi COVID-19 lengkap bukan cuma dua dosis tapi sudah mendapatkan booster alias dosis ketiga.

“Justru menurut saya harus ada redefinisi tentang vaksin. Yaitu, baru bisa disebut lengkap kalau sudah booster pertama. Sekarang ini mengatakan vaksin lengkap itu kan dua dosis (primer) nah jadi menurut saya pemerintah perlu meredefinisi bahwa vaksin lengkap itu sampai booster.”

Bila disiplin menggunakan masker dan vaksinasi tetap dilakukan, maka aktivitas dan mobilitas bisa dilakukan dengan bebas.

“Makanya, PPKM dicabut atau tidak ya monggo, itu tidak penting. Pada kenyataannya kita sudah hidup seperti tanpa PPKM. Yang penting perilaku yang baik seperti pakai masker itu dilanjutkan. Karena virus masih ada ya pakai masker.”

5 dari 5 halaman

Pencabutan PPKM Harus Berdasarkan Data

Anggota Komisi IX Fraksi PAN Saleh Daulay menilai bahwa wacana terkait pencabutan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) harus didasari dengan data evaluasi terkait PPKM dan juga termasuk grafik penurunan atau kenaikan kasus COVID-19 di Tanah Air.

"Jadi hasil evaluasi itu, harus dijadikan sebagai sarana menentukan apakah kita layak cabut PPKM atau tidak. Pemerintah harus objektif berdasar data itu," Kata Saleh kepada Liputan6.com Jumat (30/9/2022)

Lebih lanjut, Kata Saleh, Pemerintah juga harus mendengarkan saran para ahli yang paham betul terkait isu pandemi khususnya yang terkait varian baru yang muncul, seperti varian Omicron dan yang lainnya.

"Pendapat ahli harus jadi referensi, kalau ahli mengatakan bahwa sekarang landai dan menuju endemi. Kalau begitu maka sudah saatnya meninggalkan PPKM, Namun sebaliknya kalau mereka bilang bahaya, maka kita jangan tinggalkan PPKM dulu," ujar Saleh.

Selain itu, Saleh menegaskan bahwa pemerintah juga harus mendengar aspirasi masyarakat luas, terlebih masyarakat lah yang merasakan betul dampak langsung dari PPKM tersebut.

"Masyarakat lah yang terdampak langsung dari PPKM. khususnya terkait soal konektivitas mereka dan ekonomi mereka. Sejauh ini masyarakat kita memang sudah mulai jenuh, karena itu mereka mungkin sepakat PPKM dicabut."

Senada, Anggota Komisi IX Fraksi PKS Netty Prasetiyani Aher, mengungkapkan keputusan untuk mencabut atau tidaknya PPKM harus ditetapkan berdasarkan evaluasi yang menyeluruh termasuk status pandemi global yang belum dicabut oleh WHO.

"Keputusan dalam pencabutan PPKM atau tidak tetap di tangan pemerintah. Meski beberapa bulan terakhir kondisi kasus COVID-19 di Tanah Air relatif menurun, angka kematian terus menurun trennya, keterisian tempat tidur di RS juga semakin rendah. Namun, beberapa aspek perlu menjadi perhatian," Kata Netty kepada Liputan6.com Jumat (30/9/2022).

Netty menyebut terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan soal wacana pencabutan PPKM tersebut.

"Pertama, kesiapsiagaan fasilitas kesehatan untuk memberikan layanan bukan hanya untuk COVID-19 namun penyakit dan gangguan kesehatan lain yang menjadi ancaman ketahanan kesehatan nasional,"

Selain itu, Dia menyinggung soal kesiapsiagaan dan kemandirian pemerintah dalam hal perlindungan terhadap masyarakat khususnya yang terkait dengan masalah-masalah ketersediaan obat hingga alat kesehatan.

"Kedua, upaya memperkuat ketahanan dan kemandirian obat, vaksin, dan alkes sebagai pelindungan yang diberikan oleh Pemerintah bagi masyarakat. Menutut Tim Fakultas Kesehatan Masyarakat FKM UI menemukan 98,5 persen masyarakat Indonesia sudah memiliki antibodi."

Terakhir, Netty menegaskan bahwa selain kesiapan pemerintah, peningkatan kesadaran masyarakat juga perlu ditingkatkan. terlebih dalam penerapan protokol kesehatan di lingkup masyarakat baik di perkotaan maupun di desa sekalipun.

"Ketiga, kesadaran masyarakat yang perlu terus diingatkan dan ditingkatkan untuk tetap waspada dan menerapkan protokol kesehatan mengingat pandeminya melandai namun COVID-19 masih ada."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.