Sukses

HEADLINE: WHO Akui Kemungkinan COVID-19 Menular via Udara, Ubah Protokol Kesehatan?

Liputan6.com, Jakarta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengubah pandangan mereka mengenai penularan COVID-19. 

Sejak kasus COVID-19 muncul di Wuhan, Cina hingga pertengahan April 2020, WHO masih konsisten mengatakan bahwa penularan virus SARS-CoV-2 adalah lewat droplet (air liur). Lembaga ini mengatakan bahwa COVID-19 adalah non-airborne disease atau penyakit yang tidak menular melalui udara, kecuali pada prosedur medis dengan risiko tertentu seperti ketika pasien langsung ditangani dengan alat bantu napas. Namun kini organisasi itu mempertimbangkan kemungkinan virus menyebar di udara.

Mengutip laman AP, penyebaran virus melalui udara (airborne), ujar WHO, "terutama dalam lokasi indoor yang spesifik, seperti ruangan-ruangan yang padat dan tanpa ventilasi memadai selama waktu yang panjang berisi orang-orang yang terinfeksi tidak bisa diabaikan."

Perubahan pandangan WHO tersebut, dilatarbelakangi oleh surat terbuka dari 239 ilmuwan dari 32 negara mengenai transimisi Virus Corona baru melalui udara (airborne) sebagai penyebab potensial pandemi, mengutip CBC. 

Para ilmuwan mempelajari penularan virus tersebut di acara-acara atau lokasi seperti tempat berlatih paduan suara di Washington, sebuah call-centre di Korea Selatan, restoran di China, serta pusat kebugaran. Hasil dari berbagai studi tersebut berujung pada kesimpulan bahwa potensi virus tersebut menyebar melalui udara tak bisa diabaikan.

"Risiko mengabaikan transmisi melalui udara (airborne) adalah penyakit tersebut akan terus menyebar secara cepat seperti yang kita lihat," ujar ahli dalam bidang penyebaran virus melalui aerosol (partikel kecil di udara) dari Virginia Tech Linsey Marr yang juga menandatangani surat terbuka tersebut pada CBC, 8 Juli 2020.

Marr mengatakan, sejauh apa peran udara dalam penyebaran virus penyebab COVID-19 masih belum jelas. Ia berpendapat, adalah hal bijak bila melakukan upaya apa pun untuk menghambat atau menghentikan semua kemungkinan penyebaran virus tersebut.

Menanggapi seruan dari para ilmuwan, WHO pun kemudian mempertimbangkan kemungkinan Virus Corona baru menyebar melalui udara.

"Kami mengakui bahwa ada bukti yang muncul dalam bidang ini, juga pada bidang-bidang lain terkait virus dan pandemi COVID-19 karenanya kami percaya bahwa kami harus terbuka terhadap bukti ini serta memahami implikasi terkait mode transmisi serta pencegahan yang perlu dilakukan," ujar Dr Benedetta Alleganzi, Ketua Tim Teknis Pencegahan dan Kontrol WHO, Selasa (7/7).

Sebagai tindak lanjut, WHO merilis pembaruan mengenai transmisi SARS-CoV-2 pada 9 Juli 2020.

Dokumen berjudul Tranmission of SARS-CoV-2: implication for infection prevention precautions adalah pembaruan dari ringkisan ilmiah berjudul Modes of transmission of virus causing COVID-19: implications for infection prevention and control (IPC) precaution recommendations yang dipublikasikan pada 29 Maret 2020.

Pada bagian mode transmisi, disebutkan sejumlah kemungkinan mode penularan Corona COVID-19, di antaranya kontak langsung, droplet (air liur), udara (airborne), fomite, fecal-oral, darah, penularan dari ibu ke anak, dan penularan dari hewan ke manusia.

 

 

 

Sementara itu, Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Nasional Wiku Adisasmito mengatakan, penelitian tentang penularan virus SARS-CoV-2 lewat udara masih dilakukan.

Menurut Wiku, WHO Indonesia sejak April 2020 sudah berkoordinasi aktif dengan para peneliti. Salah satunya mengenai penelitian transmisi atau penularan lewat udara. Hasil dari penelitian yang ada menunjukkan bahwa transmisi udara belum terbukti secara pasti.

“WHO mendorong penelitian lebih lanjut di bidang penularan Virus Corona lewat udara. WHO juga akan meringkas apa yang mereka ketahui dalam ringkasan ilmiah tentang transmisi, yang akan segera dirilis," kata Wiku dalam keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com.

Wiku menambahkan, transmisi COVID-19 melalui udara mungkin dapat terjadi pada kondisi dan keadaan tertentu, ketika suatu tindakan yang menimbulkan partikel aerosol dilakukan.

"Misalnya, memasang dan melepas selang intubasi endotrakea (memasukan tabung endotrakeal melalui mulut atau hidung), bronkoskopi (tindakan memeriksa paru-paru dan saluran napas)," tambahnya. "Lalu tindakan penyedotan cairan dari saluran pernapasan, pemakaian nebulisasi (memasukan obat dalam bentuk obat), tindakan invasif dan non invasif pada saluran pernapasan dan resusitasi jantung paru."

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto angkat bicara ihwal topik virus SARS-CoV-2 menular lewat udara. Menurutnya, lewat komunikasi dengan WHO beberapa kali, hingga saat ini penularan masih lewat droplet, dalam hal ini droplet berukuran sangat kecil atau mikrodroplet yang memang bisa melayang-layang di udara.

"Mikrodroplet ini bisa bertahan lebih lama di suatu ruangan mana kala sirkulasi udaranya tidak baik," kata Yuri dalam konferensi pers Jumat, 10 Juli 2020.

Kondisi itu membuat siapa pun yang berada di dalam ruangan itu yang tidak terlindungi atau tidak menggunakan masker atau memakai masker dengan cara tidak tepat sangat mungkin tertular COVID-19.

Saksikan Juga Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Jadi Perdebatan Sejak Pertama Kali Kasus Muncul

Sejak kasus COVID-19 merebak di China, telah terjadi diskusi maupun perdebatan mengenai kemungkinan Virus Corona menular lewat udara. 

"Diskusi maupun perdebatan apakah virus ini menyebar melalui udara sudah dari awal kasus ini muncul di Wuhan. Jadi, ini bukan hal baru," kata Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Hermawan Saputra kepada Health Liputan6.com pada Jumat (10/7/2020).

Selama ini WHO mengatakan bahwa COVID-19 menular lewat droplet---cairan yang dilontarkan ketika orang yang terinfeksi berbicara, batuk, dan pilek. Droplet akan terlontar di udara tetapi karena ukurannya besar, terkena gravitasi yang membuatnya mendarat dan menempel pada meja, lantai, dan permukaan lainnya.

"Maka dari itu (COVID-19) dikategorikan non-airborne karena terlontar lalu berlaku hukum gravitasi, maka droplet itu akan jatuh," Hermawan melanjutkan.

Namun, dalam skala tertentu ada droplet yang ukurannya amat kecil---kurang dari 10 mikron--- memiliki kemungkinan mengambang di udara. Di sinilah perdebatan mengenai kemungkinan penularan COVID-19 lewat udara muncul, tapi bukan airborne melainkan memiliki potensi secara aerosol.

"Kalau kurang dari 10 mikron masih ada potensi mengambang di udara terutama di ruang-ruang sangat tertutup, di mana di situ tidak ada paparan udara, tidak ada cahaya (matahari) yang cukup terang, dan tidak ada ventilasi. Jika seperti ini kemungkinan virus bertahan agak lama di udara biasa. Ini wacana yang jadi diskusi bahwa ada potensial aerosol," katanya.

Maka dari itu, lanjut Hermawan, para pakar kesehatan di Indonesia mengatakan COVID-19 bukan penyakit airborne, tapi memiliki kemungkinan menular secara aerosol. 

Apa itu Airborne dan Aerosol Disease?

Ada perbedaan antara airborne dan aerosol disease. Airborne disease, kata Herwaman, adalah penyakit yang menular melalui udara yang bergerak bebas seperti angin dan ada virus di dalamnya. Risiko kesakitan dan kematian akibat airborne disease luar biasa.

"Kalau saja ini airborne disease, dan ini bulan kelima virus ini ada di Indonesia, pastilah sudah bertumbangan orang kita. Jangankan di keramaian, orang di rumah tanpa aktivitas bisa tertular kalau ini airborne disease," katanya.

Sementara dalam kasus COVID-19, ada kemungkinan potensi menular secara aerosol. Cairan ini ringan sehingga berpotensi lama mengambang di udara dan bisa terpapar pada orang-orang di sekitarnya.

Namun, penularan secara aerosol kemungkinan terjadi di ruang tertutup tanpa ventilasi udara yang baik, seperti ruangan ber-AC.

"Namanya juga cairan, semakin dingin semakin lama mengering di ruangan dingin, jadi bisa bertahan lama di udara." 

3 dari 6 halaman

Tak Perlu Panik

I Gusti Ngurah Kadek Mahardika, Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang juga pakar kesehatan dari Tim Gugus Tugas, mengatakan bahwa masyarakat sesungguhnya tidak perlu panik dalam menyikapi informasi potensi penularan COVID-19 melalui udara. 

"Sebetulnya sebagai virus pernapasan, dari dulu kita tidak bisa mengabaikan peluang terjadinya penularan secara aerosol," kata Mahardika dalam siaran bincang-bincang dari Graha BNPB pada Jumat (10/7/2020).

"Jadi, bukan hal baru sebenarnya dan mestinya tidak membuat kita semakin panik," kata Mahardika. 

Mahardika mengatakan bahwa flu yang bersifat aerosol secara umum akan menular bersama aliran udara dengan situasi ruangan tertutup yang menggunakan pendingin udara atau ventilasi buatan.

"Karena ini virus pernapasan, melalui aerosol sangat memungkinkan, tidak bisa diabaikan (potensinya). Tidak ada yang baru," ujarnya.

Selain itu, Mahardika menegaskan bahwa berdasarkan data World Health Organization (WHO) melaporkan, kasus fatalitas juga mengalami penurunan di tengah meningkatnya kasus positif.

"Barangkali iya dia lebih menular secara aerosol, tapi mudah-mudahan ada peluang fatalitasnya lebih menurun dari sebelumnya. Datanya sangat valid, sehingga no panic, tidak ada panik," ujarnya.

Mahardika meminta masyarakat untuk tetap disiplin dan secara ketat dalam melakukan protokol pencegahan COVID-19 saat berkegiatan.

 

4 dari 6 halaman

Tetap Gunakan Masker Baik di Luar Maupun di Dalam Ruangan

Terkait penularan virus SARS-CoV-2 melalui udara di ruangan tertutup, dr Arifin SpP mengingatkan agar kita tak melepas masker kecuali untuk hal-hal seperti makan, minum, atau wudhu.

Menurut Arifin, Virus Corona yang ada di droplet maupun mikrodroplet dari orang-orang terkonfirmasi positif memiliki daya tahan di udara selama delapan jam.

"Makanya, dianjurkan pakai masker terus, mau di luar maupun di dalam," kata Dokter Arifin saat dihubungi Health Liputan6.com pada Jumat, 10 Juli 2020.

Selama delapan jam, virus akan berputar-putar di dalam ruangan dan baru akan keluar jika menemukan ventilasi atau terjadi sirkulasi udara yang baru.

Oleh sebab itu, dia menyarankan agar kita tidak berlama-lama di dalam ruangan tertutup dan banyak orang.

"Tertular melalui airborne (udara) memang sangat jarang sekali sebenarnya, tapi WHO mengingatkan untuk kita melakukan prevention, jangan sampai kita tertular," katanya.

Arifin mengatakan, mengenakan masker ketika berada di luar rumah dalam waktu yang lama tentu terasa tidak nyaman. Akan tetapi lebih baik merasa tidak nyaman ketimbang berisiko terkena dampak dari kemalasan mengenakan masker.

"Kalau kita enggak pakai masker dan pasien COVID-19 enggak pakai masker, penularan 100 persen. Pasien pakai masker tapi kita tidak, penularan 75 persen. Pasien dan kita pakai masker, penularan cuma 25 persen," kata Arifin.

Menurut dia kesempatan tertular tetap ada, tapi kita bisa memerkecil peluang tersebut dengan waspada dan jaga diri.

"Masker apa pun baik. Meskipun sebenarnya dianjurkan pakai masker N95, tapi itu kan mahal sekali," ujarnya.

Terpenting, lanjut Arifin, di mana pun kita berada selalu ingat untuk memakai masker, cuci tangan dengan sabun di air mengalir, dan jaga jarak. Dia, mengatakan, sebenarnya hanya itu yang bisa dilakukan untuk mencegah penularan Virus Corona, tapi kenapa banyak orang yang malas melakukannya.

"Yang saya lihat, pengguna sepeda motor saja ada juga yang enggak pakai masker. Dulu katanya ada denda bagi yang tak pakai masker, kok nggak jalan? Ini seharusnya dijalankan lagi," kata Arifin.

"Distancing itu juga penting. Jangan kalau mengobrol rapat-rapat, tidak boleh. Harus minimal satu meter," ujarnya.

5 dari 6 halaman

Lakukan Pembenahan Manajemen Kesehatan Lingkungan

Dengan adanya kemungkinan mikrodroplet berisi virus SARS-CoV-2 melayang lebih lama di udara, hal yang penting dilakukan bukan hanya soal perilaku disiplin menjalankan protokol kesehatan. IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia) menilai perlu juga melakukan pembenahan infrastruktur dan manajemen kesehatan lingkungan.

Jadi, selain melakukan protokol kesehatan yang ketat orang-orang yang bekerja di perkantoran atau berada di ruangan tertutup wajib memakai masker dengan benar, menjaga jarak minimal satu meter, dan sering mencuci tangan menggunakan sabun. Serta pengelola ruangan tersebut perlu memperhatikan sirkulasi udara di dalamnya.

"Sirkulasi udara, pencahayaan diperhatikan, kelembapan diperhatikan. Itu bagian dari manajemen kesehatan lingkungan," kata Hermawan.

Jangan lupa, bagi para karyawan yang bekerja di ruangan perkantoran ber-AC, agar tiga jam sekali keluar dari ruangan. Tidak selama delapan jam berada di dalam ruangan tersebut seperti disampaikan Hermawan.

Senada dengan Hermawan, Yuri meminta agar perkantoran maupun ruangan yang menggunakan AC mengusahakan agar sirkulasi udara di dalam ruangan baik.

"Paksakan agar udara bergerak. Apakah menggunakan kipas angin atau kipas untuk menghisap agar udara ini keluar, agar udara bergerak," kata Yuri.

Bila dimungkinkan buka jendela di pagi hari dibuka sehingga udara segar bisa masuk. Ini semua merupakan upaya agar membuat udara tidak terjebak di dalam ruangan dan sirkulasi udara lancar. 

Hal senada juga dikatakan oleh spesialis paru dr Arifin. Ia menganjurkan untuk sering-sering membuka jendela ketika di rumah maupun di kantor. Ia mengingatkan agar tidak terlalu senang dan nyaman berada di ruangan berpendingin.

"Kalau terus-terusan di ruangan AC, tidak dapat sirkulasi udara yang baru, tidak ada pergantian udara," kata Arifin.

Membuka jendela, kata Arifin, berguna membiarkan matahari masuk ke dalam. Namun, mayoritas perkantoran sekarang tidak memungkinkan hal itu terjadi.

"Kira-kira begitu sekarang modelnya, karena kita perlu matahari. Jika tidak memungkinkan, kitanya yang harus sering-sering kena matahari (keluar ruangan menghirup udara)," katanya.

Menurut Spesialis Mikrobiologi Klinik Budiman Bela dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia apabila pengaturan ruangan tidak bisa diatur agar sirkulasi udara mengalir dengan baik, maka penggunaan masker dan pencegahan COVID-19 lainnya harus dipatuhi.

"Seandainya di tempat tertutup namun kita menjaga jarak dan menggunakan masker maka kemungkinan penularan menjadi jauh lebih kecil. Karena pada saat itu, semua aktivitas yang berpotensi mengeluarkan virus, itu akan tertampung oleh masker."

Bela mengatakan penyebaran COVID-19 memang tidak bisa dihambat sama sekali mengingat banyaknya orang yang tidak patuh melaksanakan protokol pencegahan, namun penularannya masih bisa diperlambat.

"Dengan membuat sebagian besar patuh, maka penyebaran akan lambat yang sakit berat tidak langsung banyak," ujarnya. "Daripada nanti tiba-tiba mendadak menjadi banyak lebih susah untuk dirawat," katanya dalam bincang-bincang di Graha BNPB.

 

 

6 dari 6 halaman

Jangan Buka Bioskop

Masih terkait dengan pembenahan kesehatan lingkungan, IAKMI juga meminta Pemerintah kembali mengevaluasi beberapa kebijakan, salah satu di antaranya mengenai rencana kembali beroperasinya tempat hiburan seperti bioskop di DKI Jakarta.

"Tanpa ada wacana dari WHO pun kami tetap menyarankan tidak dibuka apalagi ada wacana potensi aerosol dari virus Corona," kata Hermawan.

IAKMI mengungkapkan tiga alasan agar tempat hiburan yang tertutup seperti bioskop tidak dulu dibuka untuk publik. Pertama, ruangan bioskop amat tertutup, kedua penggunaan AC yang amat dingin, ketiga ramai oleh penonton.

"Jadi, kemungkinan transmisi (penularan) tinggi," katanya.

Belum lagi COVID-19 menular secara aerosol. Kemungkinan virus yang menular secara aerosol bila ada orang terinfeksi kemudian batuk atau bersin lalu ada cairan (droplet) kurang dari 10 mikron yang memiliki potensi mengambang di udara.

"Potensi mengambang di udara ini terutama di ruang sangat tertutup, ber-AC, di mana di situ tidak ada paparan udara dan cahaya yang cukup terang atau panas (matahari). Kemungkinan virus bertahan lama di ruangan seperti itu bisa," katanya lagi.

Faktor lain agar bioskop serta fasilitas hiburan di dalam ruangan adalah kasus COVID-19 di Indonesia belum terkontrol dan angka prevalensi yang tinggi. Alangkah baiknya jika pemerintah, kata Hermawan, membuka fasilitas publik yang memang kebutuhan primer.

"Kalau sifatnya pariwisata seperti bioskop ini kan bukan kebutuhan primer tapi tersier. Apalagi masih PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) masih berlaku. Nah, seharusnya yang dioptimalkan adalah menjaga jarak dan membatasi aktivitas," katanya.

Jika memang terpaksa aturan 'dilenturkan' agar roda perekonomian kembali berjalan, lebih baik membuka aspek kebutuhan dasar.

"Jangan sampai pemerintah terlalu gegabah membuka semua aspek tanpa ada prioritas," sarannya. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.