Sukses

21 Orang Tewas dalam Bentrokan, Ibukota Ukraina Makin Mencekam

Presiden Viktor Yanukovych memerintahkan aparat untuk membubarkan markas demonstran antipemerintah.

Rabu pagi yang mencekam di Kiev, ibukota Ukraina. Presiden Viktor Yanukovych memerintahkan aparat untuk membubarkan markas demonstran antipemerintah, menyusul bentrokan berdarah yang terjadi Senin dan Selasa kemarin.

Sudah 21 orang tewas, 9 dari anggota kepolisian dan 11 lainnya dari warga sipil.  "Dua dari 9 anggota kepolisian tewas akibat luka tembak. Begitu pula 3 warga sipil lainnya," ungkap juru bicara Kepolisian Kota Kiev, Olha Bilyk, seperti dimuat News.com.au, Rabu (19/2/2014).

Sementara, korban luka terus bertambah. "Kami tidak menyangka korban luka-luka akan mencapai 1.000 orang. Jumlahnya dua kali lipat melebihi perkiraan kami. Sejumlah rumah sakit sempat kewalahan menangani korban-korban tersebut," beber ahli medis, Olga Bogomolez.

Salah satu pemimpin demonstran, Oleksandr Turchynov dilaporkan tertembak oleh seorang penembak jitu. Namun, berita tertembaknya Oleksandr belum diketahui kebenarannya.

Selain memakan korban tewas dan luka-luka, saat rusuh, api juga berkobar di Gedung Trade Union House yang menjadi markas para demonstran oposisi di pusat kota Kiev.

Melihat banyaknya korban yang jatuh dalam bentrokan berdarah pada Selasa malam itu, pemimpin demonstran oposisi Vitali Klitschko menyambangi kediaman Presiden Viktor Yanukovych di Bankova.

"Vitali Klitschko telah sampai di Bankova -- rumah Presiden Viktor. Dia pergi untuk menemui Presiden," tulis juru bicara Vitali Klitschko Oksana Zinovieva di akun twitternya.

Namun perundingan itu tidak berbuah manis. Vitalu mengatakan Presiden Viktor enggan menarik mundur pasukan yang dikirimnya untuk menghancurkan markas oposisi.

"Presiden Viktor bilang tak ada pilihan lain selain 'membersihkan' markas oposisi di pusat kota Kiev. Dia juga bilang semua demonstran harus pulang ke rumah mereka masing-masing," kata Vitali Klitschko yang juga mantan juara dunia tinju itu.

Menolak Pergi

Pasukan kepolisian Ukraina seperti yang diperintahkan Presiden Viktor akan membubarkan masa yang sejak tiga bulan lalu menduduki Independence Square di pusat kota Kiev, Ukraina. Mereka sebelumnya memberi tenggat waktu kepada para demonstran oposisi sampai pukul 18.00 waktu setempat untuk membubarkan diri.

Dengan adanya ultimatum tersebut, pemimpin oposisi Vitali Klitschko kemudian meminta para wanita dan anak-anak yang berada di markas oposisi di Independence Square untuk kembali ke rumah masing-masing pada selasa, 18 Februari pagi.

Sedangkan, 25 ribu orang demonstran oposisi lainnya memilih untuk tetap tinggal. "Kami tidak akan pergi dari sini. Negara ini adalah negara bebas, dan kami akan mempertahankannya," teriak Vitali kepada para polisi.

Penolakan untuk mundur juga diteriakkan oleh pemimpin oposisi lainnya, Arseniy Yatsenyuk."Kita tidak akan mundur satu langkah pun dari tempat ini. Kami tidak punya tempat untuk mundur. Ukraina berada di belakang kita. Masa depan Ukraina ada di belakang kita," seru Arseniy.

Tenggat waktu yang diberikan pun habis. Namun, tak satu pun dari 25 ribu demonstran tersebut berkenan pergi meninggalkan markas mereka.

Kepolisian Ukraina pun memulai serangannya. Mereka melempari para demonstran dengan gas air mata dan granat suar. Mereka juga menyemprotkan air dari water cannon -- mobil penyemprot air -- untuk menghalau para demonstran. Serangan tersebut dibalas oleh para demonstran dengan melemparkan bebatuan dan petasan sambil berteriak 'Memalukan!'.

Ketegangan yang tak kunjung reda membuat Amerika Serikat memerintahkan para warganya yang berada di Kiev untuk tetap tinggal di dalam rumah.

"Warga negara AS disarankan untuk tidak mendekati area di mana terjadi demonstrasi dan kerusuhan. Bagi mereka yang tempat tinggal atau hotel tempat menginapnya berada di area kerusuhan agar tetap berada di dalam sampai situasi reda," tulis Departemen Urusan Luar Negeri AS dalam peringatan yang mereka keluarkan seperti dikutip Liputan6.com dari Reuters.

Desakan Internasional

Tindakan pemerintah Ukraina yang memutuskan untuk membubarkan demonstran dengan cara kekerasan menuai protes dari berbagai negara, seperti Amerika Serikat dan Jerman. PBB pun tak ketinggalan. Mereka meminta pemerintah Ukraina untuk menarik mundur pasukan kepolisian dan mengadakan perundingan ulang guna mencari jalan keluar dari krisis yang tengah mereka hadapi.

Wakil presiden Amerika Serikat Joe Biden menelepon Presiden Viktor Yanukovych dan meminta agar Presiden Viktor menarik mundur pasukannya.

"Wakil Presiden AS Joe Biden menelepon Presiden Viktor Yanukovych hari ini untuk mengungkapkan rasa prihatinnya berkaitan dengan kerusuhan yang terjadi di Kiev. Dia menelepon untuk meminta Presiden Viktor untuk menarik mundur pasukan pemerintah dan mencoba untuk semaksimal mungkin mengendalikan keadaan," kata sumber di dalam Gedung Putih.

Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon juga meminta pemerintah Ukraina untuk segera menghentikan kerusuhan berdarah itu dan segera melakukan perundingan dengan pihak oposisi.

"Sekjen Ban meminta kepada pemerintah Ukraina untuk segera mengambil tidakan agar kekerasan tak terus terjadi. Dia juga mendesak agar perundingan antara pemerintah dan oposisi kembali dilakukan," jelas juru bicara Ban Ki-moon, Martin Nesirky.

Desakan juga datang dari Uni Eropa. Kepala Pembuat Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Catherine Ashton mengatakan dirinya sangat khawatir dengan eskalasi kekerasan di Kiev. "Saya mendesak pemerintah Ukraina untuk mencari tahu akar permasalahan yang menyebabkan krisis di sana," kata dia.

Melihat dampak yang ditimbulkan, Duta Besar Amerika Serikat untuk Ukraina Geoffrey R. Payatt bahkan mengancam akan memberi sanksi kepada pemerintah Ukraina dan pihak oposisi jika perundingan tidak segera dilaksanakan.

"Kami percaya krisis yang dihadapi Ukraina masih bisa diselesaikan dengan perundingan. Kalau tidak kami akan memberi sanksi kepada dua belah pihak yang mengakibatkan terjadinya kekerasan ini," tulis Geoffrey dalam akun twitternya.

Jerman sempat menolak untuk mendukung keputusan AS dalam memberi sanksi kepada pihak antipemerintah Ukraina. Alasannya, karena mereka mendukung aksi protes pihak oposisi yang menginginkan reformasi konstitusi negara mereka.

Tetapi setelah kerusuhan pecah pada Selasa malam, Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier mengatakan, pasukan kemananan Ukraina memiliki tanggung jawab besar untuk meredam ketegangan di negaranya. Frank-Walter menuturkan pihak Uni Eropa mungkin juga akan memberi sanksi kepada siapapun yang dianggap bertanggung jawab dalam tindak kekerasan yang terjadi di negara pecahan Uni Soviet itu.

"Siapapun yang bertanggung jawab terhadap pengambilan keputusan yang berakibat pada pertumpahan darah di pusat kota Kiev atau dimana pun di Ukraina perlu mempertimbangkan lagi tindakannya karena Uni Eropa akan memberi sanksi kepada mereka yang dianggap bertanggung jawab," kata Frank-Walter.

Sementara, Rusia -- yang mendukung pemerintah Ukraina -- mengecam balik AS dan Jerman. Rusia menyebut kedua negara tersebut 'buta' karena tak dapat atau lebih tepat tak mau melihat tindakan-tindakan radikal yang dilakukan oleh para demonstran oposisi.

"Yang terjadi saat ini adalah negara-negara tersebut membiarkan kekerasan ini terjadi. Mereka berpura-pura tak melihat aksi-aksi agresif para demonstran oposisi sejak dimulainya krisis di Ukraina," ujar Menteri Luar Negeri Rusia.

Kerusuhan di Ibukota Kiev pertama kali pecah pada bulan November 2013 lalu. Dipicu sikap Presiden Ukraina uang menolak menandatangani perjanjian dengan Uni Eropa.

Tuntutan terakhir para demonstran oposisi adalah agar konstitusi Ukraina dikembalikan seperti pada tahun 2004, di mana presiden tidak memiliki kekuasaan penuh dalam pengambilan keputusan. Pihak oposisi juga menuntut agar Presiden Viktor Yanukovych turun dari jabatannya. (Ega/Ein)

Baca juga:

Oposisi Bikin Ukraina Makin Panas, Rusia Berang
Cinta `Heroik`, Aktivis Lamar Pacar di Tengah Demo Rusuh Ukraina



Video Terkini