Sukses

Siklus Matahari 25 Diprediksi Terjadi Lebih Cepat, Ini Dampaknya

Prediksi terbaru ini memperkirakan Siklus Matahari 25 akan mencapai puncaknya antara bulan Januari dan Oktober 2024, dengan jumlah bintik matahari maksimum antara 137 dan 173.

Liputan6.com, Jakarta - Para pakar Pusat Prediksi Cuaca Luar Angkasa (SWPC) di lembaga kemaritiman dan atmosfer AS (NOAA) mengungkap Matahari akan mencapai puncak aktivitas Siklus Matahari 25 (Solar Cycle 25) pada 2024. Sebelumnya, siklus ini dipekirakan akan datang pada 2025.

Dikutip dari laman Live Science pada Senin (01/03/2024), prediksi puncak aktivitas Solar Cycle 25, yang dikenal sebagai 'solar maksimum', itu direvisi dan diprakirakan terjadi antara Januari dan Oktober 2024. Hal ini berdasarkan penelitian yang dikeluarkan SWPC pada Oktober 2023 lalu.

Hasil penelitian tersebut menyimpulkan aktivitas matahari akan meningkat lebih cepat dan mencapai puncaknya pada tingkat yang lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Prediksi terbaru ini memperkirakan Siklus Matahari 25 akan mencapai puncaknya antara bulan Januari dan Oktober 2024, dengan jumlah bintik matahari maksimum antara 137 dan 173.

Sebelumnya, panel yang terdiri dari NOAA, lembaga antariksa AS (NASA), dan International Space Environment Services (ISES), pada 2019 memperkirakan Siklus Matahari 25 mencapai puncaknya pada bulan Juli 2025. Jumlah bintik Matahari yang biasa disebut sebagai Badai Matahari, maksimum diprediksi mencapai 115, jauh di bawah rata-rata, yaitu 179.

Panel juga sempat memprediksi Siklus Matahari 25 sama lemahnya dengan Siklus Matahari 24. Hal tersebut merupakan siklus terlemah dalam 100 tahun terakhir dengan jumlah bintik Matahari pada puncaknya mencapai 116.

Meski begitu, prediksi baru NOAA ini masih di bawah rata-rata, meskipun lebih besar dari prediksi Panel pada 2019 dan lebih besar dari Siklus Matahari 24.

Dikutip dari laman Space pada Senin (01/04/2024), Siklus Matahari menggambarkan periode aktivitas Matahari selama kurang lebih 11 tahun. Fenomena ini disebabkan oleh medan magnet Matahari.

Hal ii ditunjukkan oleh frekuensi dan intensitas bintik Matahari yang terlihat di permukaan. Prediksi kapan maksimum Matahari akan terjadi didasarkan pada catatan sejarah jangka panjang mengenai jumlah bintik Matahari, statistik canggih, dan model dinamo Matahari.

Model dinamo Matahari adalah aliran gas panas terionisasi di dalam bintang yang menghasilkan medan magnet yang menggerakkan Siklus Matahari. Prediksi terbaru dari SWPC menjadi kabar baik bagi para penikmat fenomena langit.

Sebab Gerhana Matahari Total pada 8 April akan terjadi mendekati titik maksimum Siklus Matahari. Ketika Bulan menutupi seluruh piringan Matahari saat fase gerhana total terjadi, atmosfer luar Matahari atau korona terlihat oleh pengamat.

Selama aktivitas matahari meningkat, korona menjadi sangat aktif dan pengamat berpotensi dapat melihat tonjolan Matahari berupa lingkaran plasma raksasa yang memanjang keluar dari Matahari. Bentuknya akan seperti bintik merah muda terang di tepi bintang.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Risiko Penerbangan

Prediksi aktivitas matahari yang akurat sangat penting karena badai geomagnetik yang dipicu oleh ledakan plasma atau lontaran massa koronal (coronal mass aejection/CME) dapat memperngaruhi aktifitas manusia. Meskipun Bumi sudah memiliki pelindung alami dari badai Matahari yakni medan magnet, lontaran CME dapat memperngaruhi bahkan merusak jaringan listrik, sinyal GPS, menyeret satelit keluar dari orbit.

Selain itu, ada risiko radiasi bagi pekerja penerbangan dan astronaut di antariksa. Peringatan dini mengenai peristiwa cuaca luar angkasa dapat membantu industri menerapkan prosedur pengamanan untuk mengurangi risiko terhadap peralatan dan pekerja mereka.

Medan magnet Bumi memang jadi perlindungan alami. Ketika partikel energik dan medan magnet dilepaskan dari Matahari selama peristiwa seperti jilatan api Matahari dan CME, Bumi terkadang berada dalam 'garis api'.

Ketika hal ini terjadi, 'gelembung' magnet pelindung Bumi, yang dikenal sebagai magnetosfer, akan mengusir energi berbahaya dari Bumi dan menjebaknya di zona yang disebut sabuk radiasi Van Allen. Sabuk radiasi berbentuk donat ini bisa membengkak saat aktivitas Matahari meningkat.

Masalahnya, perisai pelindung Bumi tak berarti tidak bisa terkalahkan. Selama peristiwa cuaca antariksa yang sangat kuat seperti yang sering terjadi pada saat Siklus Matahari maksimum, medan magnet Bumi terganggu dan badai geomagnetik dapat menembus magnetosfer.

Hal ini menyebabkan pemadaman radio dan listrik secara luas serta membahayakan astronaut dan satelit yang mengorbit Bumi. Melansir laman NASA pada Senin (01/04/2024), hal ini pernah terjadi pada 1989.

Kala itu, CME disertai jilatan api Matahari dan menyebabkan seluruh Quebec, Kanada, mengalami mati total listrik selama 12 jam. Namun, tidak semua gangguan magnetosfer bersifat merusak.

Gangguan ini juga menimbulkan pertunjukan langit yang luar biasa berupa aurora. Fenomena tersebut dikenal sebagai cahaya utara (aurora borealis) di belahan Bumi utara dan cahaya selatan (aurora australis) di belahan Bumi selatan.

(Tifani)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini