Sukses

Dinasti Keluarga Hun: Hun Manet Siap Gantikan Hun Sen Sebagai Perdana Menteri Kamboja

Dinasti politik Kamboja benar-benar terjadi. Hun Manet gantikan ayahnya sebagai perdana menteri.

Liputan6.com, Phnom Penh - Dinasti politik Hun mulai terbentuk di Kerajaan Kamboja. Perdana Menteri Hun Sen yang berkuasa selama nyaris 40 tahun sedang mentransfer kekuatan ke putranya: Hun Manet. 

Politisi yang masih berusia 45 tahun itu akan menggantikan Hun Senpada Agustus besok. Hun Manet terdengar percaya diri bisa meneruskan kekuasaan ayahnya yang notabene telah membungkam kelompok oposisi.

"Ucapan ayah saya yang saya akan selalu ingat dan menjadi tekad untuk menerapkan di segala keadaan: 'ketika kamu menjadi perdana menteri Kamboja, kamu harus menjaga perdamaian dan memastikan pertumbuhan dan ketentraman rakyat," demikian pernyataan Hun Manet, dilansir Radio Free Asia, Senin (31/7/2023),

Pernyataan itu dirilis Hun Manet melalui Facebook-nya. Foto dalam postingan itu turut menampilkan Hun Sen yang memakai baju militer di tahun 2019 lalu.

Kelompok HAM di Kamboja setuju untuk mendukung perdamaian, tetapi mereka berharap Hun Manet tidak hanya lip-service.

"Tekad tidak cukup. Itu butuh praktik nyata agar orang-orang percaya kepadanya," ujar Ny Soha, presiden dari Cambodian Human Rights and Development Association (ADHOC). "Kami menantikan isu-isu prioritas yang ia akan tanggapi setelah ia resmi menjadi perdana menteri Kamboja."

Beda Pesona 

Menurut AP News, Hun Manet memiliki pesona yang berbeda dari ayahnya yang gayanya lebih militeristik. Hun Manet disebut memiliki "senyum yang hangat dan nada yang halus".

Saat ikut kampanye pemilu Kamboja 2023, Hun Manet meminta masyarakat mendukung Partai Rakyat Kamboja agar negara mereka kembali jaya seperti "era Angkor" dari ratusan tahun lalu.

"Memilih Partai Rakyat Kamboja adalah memilih untuk dirimu sendiri," ujar Hun Manet.

Amnesty International termasuk salah satu kelompok HAM yang mengecam keadaan demokrasi di Kamboja.

"Otoritas di Kamboja telah menghabiskan lima tahun terakhir untuk mencabik-cabik apa yang masih tertinggal di kebebasan berekspresi, serta perkumpulan dan asosiasi damai," ujar Montse Ferrer dari Amnesty International. "Banyak orang merasa dipaksa berpartisipasi di pemilu ini meski partai pilihan mereka tidak ada di pemilihan."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

HRW Sebut Kamboja Rezim Otoriter

Sebelumnya dilaporkan, aksi nepotisme Kamboja membuat negara itu meraih label rezim otoriter dari kelompok HAM internasional, Human Rights Watch (HRW).

HRW adalah organisasi non-pemerintah internasional berkantor pusat di New York City AS, yang melakukan penelitian dan advokasi tentang hak asasi manusia.

Hun Sen juga dikritik karena kerap membungkam dan mengintimidasi lawan-lawan politiknya, sehingga kekuasaannya sendiri aman. Menurut Radio Free Asia, anak Hun Sen akan mendapat kekuasaan pada Agustus mendatang.

"Pekan ini kita melihat favorit klasik otoriter: mentransfer kekuasaan dari bapak ke anak," tulis Human Rights Watch dalam rilis resminya, dikutip Jumat (28/7).

"Pengumuman itu muncul beberapa hari sejak Partai Rakyat Kamboja yang berkuasa mendapatkan seluruh kursi parlemen di sebuah pertunjukkan nasional yang mereka sebut 'pemilu'. Kata itu harus diberi tanda kutip karena tidak ada kontes yang sungguh-sungguh. Tidak ada kompetisi serius yang diizinkan. Hun Sen bertinju sendirian di ring," jelas HRW.

HRW menyorot Hun Sen beraksi represif untuk menyingkirkan semua oposisi politik di Kamboja, mulai dari melecehkan hingga menahan kompetitor dari Candlelight Party.

Tindakan Hun Sen tersebut ternyata hanya pengulangan dari aksi pemilu 2018. HRW berkata transfer kekuasaan dari bapak ke anak adalah hal yang bisa ditertawakan, namun Kamboja sudah menjadi negara yang tragis.

"Rakyat di Kamboja menderita di bawah hukum draconian, dan pihak berwenang menggunakan penahanan sewenang-wenang, pelecehan yudisial yang dikendalikan pemerintah, dan kekerasan untuk membungkam perlawanan," tulis HRW.

Saat ini ada lebih dari 50 tahanan politik di Kamboja.

"Otoritarianismenya brutal sekaligus terang-benderang," jelas HRW.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.