Sukses

Rusia Pantau Kekuatan Nuklir Semua Negara NATO

Kekuatan nuklir Inggris dan Prancis ikut dipantau Rusia.

Liputan6.com, Moskow - Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan bahwa negaranya harus memantau kekuatan nuklir dari semua negara-negara NATO. Putin menuduh negara-negara anggota NATO ingin Rusia menderita.

"Di tengah kondisi hari ini, sebagaimana semua negara-negara anggota yang memimpin NATO telah mengumumkan bahwa kekalahan strategis kita adalah gol kunci untuk membuat rakyat kita menderita," ujar Presiden Putin dalam acara channel Rossiya-1 TV, dikutip TASS, Minggu (26/2/2023).

Oleh sebab itu, Vladimir Putin berkata perlu melihat juga kekuatan nuklir negara-negara NATO lainnya.

"Bagaimana bisa kita tidak mempertimbangkan potensi nuklir mereka di tengah lingkungan ini?" ujar Presiden Putin.

Ia pun menegaskan bahwa kekuatan nuklir Prancis dan Inggris juga patut dipertimbangkan.

Ucapan Presiden Vladimir Putin itu dibuat setelah beberapa hari lalu negaranya menyetop keterlibatan di perjanjian nuklir dengan Amerika Serikat. Namun, pihak Rusia menegaskan tidak keluar dari perjanjian tersebut. 

Perseteruan di New Start

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pada Rabu (23/2/2023), menuturkan adalah kesalahan besar bagi Rusia menangguhkan partisipasinya dalam perjanjian kontrol senjata nuklir New START.

"Itu adalah sebuah kesalahan besar. Sangat tidak bertanggung jawab... Tapi saya tidak melihat bahwa dia berpikir untuk menggunakan senjata nuklir atau semacamnya," ungkap Biden dalam wawancaranya dengan ABC News di Polandia pada Rabu, sebelum dia bertolak ke Washington.

Pemimpin Rusia Vladimir Putin mengumumkan penangguhan atas perjanjian kontrol nuklir tersebut dalam pidato kenegaraannya pada Selasa (22/2).

Putin mengungkapkan, dia menangguhkan sementara partisipasi Rusia karena keterlibatan AS dan NATO dalam perang Ukraina.

"Mereka ingin menimbulkan 'kekalahan strategis' pada kami dan pada saat yang sama mencoba mencapai fasilitas nuklir kami," kata Putin dalam pidato kenegaraannya.

Pada pidatonya, Presiden Putin menggarisbawahi bahwa Rusia tidak menarik diri dari perjanjian kontrol nuklir tersebut, namun hanya suspensi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Joe Biden Sindir Rusia: Ada Diktator Ingin Bangun Kekaisaran

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memberikan semangat untuk melawan invasi Rusia di Ukraina. Pidato itu diberikan di Warsawa, Polandia, beberapa jam setelah Presiden Vladimir Putin berpidato di Moskow. 

Pada pidatonya, Presiden Biden menyindir Rusia sedang berusaha membangun lagi kekaisaran.

"Seorang diktator yang ingin membangun kembali kekaisaran tidak akan bisa menghapus kecintaan pada kemerdekaan. Brutalitas tidak akan mengurangi keinginan kebebasan. Dan Ukraina, tidak akan dimenangkan Rusia. Tidak akan pernah," ujar Presiden AS Joe Biden, dikutip Rabu (22/2/2023).

Presiden Joe Biden menegaskan bahwa dukungan ke Ukraina tidak akan luntur, serta NATO tidak akan terpecahkan.

"Hawa nafsu Presiden Putin untuk tanah dan kekuasaan akan gagal. Dan kecintaan rakyat Ukraina untuk negaranya akan menang. Demokrasi-demokrasi dunia akan menjaga kemerdekaan hari ini, besok, dan selamanya," ucap Presiden Biden.

Presiden Biden turut berkata Rusia menggunakan pemerkosaan sebagai senjata, hingga menculik anak-anak Ukraina agar mencuri masa depan negara tersebut. Infrastruktur sipil Ukraina pun menjadi target.

"Mengebom stasiun-stasiun kereta, rumah sakit bersalin, sekolah, dan panti asuhan. Tidak ada satu pun - tak ada yang bisa mengalihkan mata mereka dari kekejian yang Rusia lakukan terhadap rakyat Ukraina. Itu keji," kata Presiden Biden.

Kabar baiknya, Joe Biden menyebut ada 50 persen wilayah Ukraina yang direbut Rusia, tetapi kini telah dikuasai Ukraina lagi.

"Presiden Zelensky masih memimpin sebuah pemerintahan yang dipilih secara demokratis yang mewakili keinginan rakyat Ukraina. Dan dunia telah memilih berkali-kali, termasuk di United Nations General Assembly, untuk mengecam agresi Rusia dan mendukung perdamaian yang adil," tegas Presiden Biden.

3 dari 4 halaman

Protes Pengiriman Senjata ke Ukraina, Lebih dari 10 Ribu Orang Demo di Jerman

Ribuan orang ambil bagian dalam demonstrasi di Berlin pada Sabtu (25/2/2023), untuk memprotes pemberian lebih banyak senjata ke Ukraina. Mereka mendesak pemerintah Jerman mengurangi krisis dengan membuka jalan negosiasi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Polisi memperkirakan ada 13.000 orang berpartisipasi dalam aksi yang diorganisir oleh Sahra Wagenknecht dari Partai Links dan juru kampanye feminis veteran Alice Schwarzer di Gerbang Brandenburg tersebut. Sementara itu, penyelenggara mengklaim jumlah partisipan jauh lebih besar, yakni 50.000 orang. 

Demonstrasi serupa dilaporkan juga terjadi di sejumlah kota lainnya di Jerman.

Dalam pidatonya, Wagenknecht mengatakan, para demonstran telah dipersatukan oleh fakta bahwa mereka tidak merasa diwakili oleh pemerintah Kanselir Olaf Scholz dan menteri luar negerinya Annalena Baerbock atas keputusan penyediaan senjata kepada Ukraina.

Para pengunjuk rasa membawa spanduk bertuliskan: 'Helm hari ini, tank besok, lusanya anak-anakmu,' - itu mengacu pada cara pemerintah koalisi meningkatkan dukungan militernya untuk Ukraina, yakni pada awalnya menyumbangkan 5.000 helm dan baru-baru ini setuju untuk mengirimkan tank Leopard II.

Spanduk lain berbunyi: "Diplomaten statt Grenaten (Diplomat bukan granat)", "Hentikan Pembunuhan" dan "Bukan Perangku, Bukan Pemerintahku".

"Kita seperti budak perang dan penghasut perang," kata Norbert, seorang mantan tentara, yang menolak memberikan nama belakangnya seperti dikutip dari The Guardian, Minggu (26/2).

Norbert memegang spanduk bertuliskan "Musuh sebenarnya duduk di Kota London dan New York", yang menurutnya adalah referensi kepada kekuatan keuangan yang dia yakini berada di balik perang dan tidak tertarik untuk mengakhirinya.

Jerman, tegas Norbert, tidak berhak ikut serta dalam perang lain pasca Perang Dunia II.

4 dari 4 halaman

Pro dan Kontra Kebijakan Menlu Jerman

Menlu Baerbock diyakini oleh para demonstran sebagai anggota pemerintah yang paling bertanggung jawab karena menyeret Jerman lebih dalam ke konflik Ukraina versus Rusia. Peserta aksi yang marah meneriakkan "Baerbock raus" atau "Baerbock keluar" selama dan pada akhir pidato Wagenknecht.

Kanselir Scholz dan Marie-Agnes Strack-Zimmermann dari Free Democratic Party (FDP), yang menjabat sebagai kepala komite pertahanan Bundestag, juga dikritik. Marie-Agnes Strack-Zimmermann telah menekan pemerintah untuk memberikan lebih banyak dukungan militer bagi Ukraina.

Wagenknecht mengatakan motivasi utamanya adalah untuk mengakhiri penderitaan dan kematian yang mengerikan di Ukraina. Tapi, itu berarti menawarkan negosiasi kepada Rusia, katanya, alih-alih perang tanpa henti dengan senjata yang lebih baru.

Ketakutan masa kecilnya akan perang nuklir, sebut Wagenknecht, telah dihidupkan kembali oleh konflik saat ini.

Dua minggu lalu Wagenknecht dan Schwarzer menerbitkan "Manifest for Peace", di mana mereka mendesak Kanselir Scholz menghentikan eskalasi pengiriman senjata. Sejauh ini, manifesto tersebut telah ditandatangani oleh sekitar 650.000 orang, termasuk intelektual dan tokoh politik terkemuka.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.