Sukses

Gelombang Kematian Selebritas Picu Keraguan Publik Atas Data COVID-19 China

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkritik definisi China yang "sangat sempit" tentang kematian akibat COVID-19, mencuatkan tanda tanya besar tentang kondisi yang sebenarnya.

Liputan6.com, Beijing - Kematian sejumlah selebritas dan tokoh masyarakat di China memicu kekhawatiran bahwa jumlah mereka yang meninggal akibat COVID-19 sebenarnya jauh lebih tinggi dari yang diumumkan otoritas setempat.

Di situs microblogging Weibo, netizen China mengungkapkan duka cita atas kematian aktor Gong Jintang. Aktor usia 83 tahun itu berpulang setelah pergantian tahun.

Sosok Gong Jintang dikenal atas perannya sebagai Pastor Kang dalam sitkom "Kang's Family", yang mengudara pertama kali pada tahun 2000. Kematian Gong Jintang dilaporkan oleh media lokal, namun penyebab kematiannya tidak diungkapkan.

"Saya sangat sedih. (Gong) mewakili ingatan kita selama dua generasi," kata seseorang di Weibo seperti dikutip dari The Guardian, Jumat (6/1/2023).

Bulan lalu, penggemar opera dikejutkan dengan kematian Chu Lanlan. Dia merupakan penyanyi sopran berusia 40 tahun yang tampil pada Olimpiade Beijing 2008.

Obituari yang dirilis Beijing Opera Arts College menyebutkan bahwa Chu Lanlan, yang mengajar di sekolah itu, meninggal karena sakit. Penyebab pasti kematiannya pun belum diungkap.

Bulan lalu, China mengumumkan pelonggaran kebijakan nol COVID-19. Dan tidak butuh waktu lama, kasus infeksi COVID-19 pun dilaporkan melonjak. Rumah sakit dan krematorium bahkan kewalahan.

Pada akhir Desember 2O22, Komisi Kesehatan Nasional China berhenti menerbitkan data harian COVID-19. Kemudian pada awal pekan ini, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mengkritik definisi China yang "sangat sempit" tentang kematian akibat COVID-19, mencuatkan tanda tanya besar tentang kondisi yang sebenarnya.

Sejak Desember, China hanya mencatat 22 kematian akibat COVID-19.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Keraguan Atas Data COVID-19

Kematian sejumlah tokoh masyarakat baru-baru ini seperti Gong Jintang dan Chu Lanlan telah membuat banyak orang di China mempertanyakan data COVID-19 yang dirilis pemerintah.

Di bawah tagar di Weibo yang berbunyi "the first Covid wave did not cause a massive amount of deaths" - mengacu pada kutipan seorang pejabat kesehatan China - netizen China mengungkapkan emosinya.

"Apakah itu akademisi atau selebritas… atau kerabat dan teman dekat saya, saya benar-benar merasa banyak orang telah meninggal, tetapi para ahli terus mengatakan bukan itu (COVID-19) masalahnya," komentar seorang netizen.

Wang Jingguang, sutradara film peraih penghargaan yang terkenal dengan filmnya bertajuk "Never Come Back" pada tahun 2013, juga termasuk di antara selebritas yang meninggal. Dia berpulang bulan lalu dalam usia 54 tahun.

Kabar kematian lainnya datang dari penulis naskah Ni Zhen, yang dikenal dengan karyanya dalam film klasik "Raise the Red Lantern" pada 1991. Oleh kritikus, film tersebut dinobatkan sebagai salah satu film Tiongkok terbaik. Ni Zhen meninggal bulan lalu pada usia 84 tahun.

Mantan bintang sepak bola Wang Ruoji pun turut masuk daftar selebritas yang meninggal baru-baru ini. Media pemerintah China melaporkan bahwa Wang Ruoji meninggal karena COVID-19 pada usia 37 tahun.

Berikutnya ada mantan jurnalis dan pensiunan profesor Universitas Nanjing, Hu Fuming, yang dilaporkan meninggal pada 2 Januari di usia 87 tahun.

Menurut penghitungan media China, terdapat 16 ilmuwan dari akademi sains dan teknik terkemuka Tiongkok meninggal pada 21 - 26 Desember. Meski tidak satu pun menyebut COVID-19 sebagai penyebabnya, namun hal itu tetap tidak mencegah spekulasi online.

"Apakah dia juga meninggal karena 'flu buruk'?," ungkap salah satu netizen merespons kematian Ni Zhen.

Warganet lainnya mengatakan, "Bahkan jika Anda menelusuri seluruh internet, Anda tidak dapat menemukan referensi apa pun tentang penyebab kematiannya."

3 dari 4 halaman

Rumah Sakit Kewalahan

Pasien, yang kebanyakan lansia, berbaring di tandu-tandu di lorong rumah sakit dan sebagian lainnya terpaksa mengenakan oksigen sambil duduk di kursi roda. Demikianlah gambaran kondisi di Rumah Sakit (RS) Chuiyangliu yang terletak di timur Kota Beijing, China, pada Kamis (5/1/2023), menyusul lonjakan kasus COVID-19.

Menjelang tengah hari, tempat tidur pun dikabarkan habis, sementara ambulans belum kunjung berhenti berdatangan. Dokter dan perawat pun mesti bergegas mencari tahu mana yang mendesak untuk ditangani. Demikian seperti dikutip Associated Press.

China dilaporkan telah berusaha untuk memvaksinasi lebih banyak populasi lansia untuk menekan kasus COVID-19, tetapi upaya tersebut terhambat oleh skandal masa lalu yang melibatkan obat palsu dan kabar tentang reaksi merugikan terhadap vaksinasi di kalangan orang tua.

Vaksin yang dikembangkan di dalam negeri juga dianggap kurang efektif dibandingkan suntikan mRNA.

4 dari 4 halaman

18 Negara Terapkan Pembatasan COVID-19 Bagi Penumpang Asal China

Melonjaknya kasus COVID-19 di China membuat berbagai pihak khawatir mengingat negara itu akan segera merayakan libur Tahun Baru Imlek, yang lazim diwarnai dengan aktivitas melancong. Setidaknya ada 18 negara yang saat ini memberlakukan pembatasan bagi mereka yang tiba dari China, yaitu Amerika Serikat, Swedia, Inggris, Prancis, Australia, India, Kanada, Jepang, Italia, Spanyol, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Maroko, Qatar, Belgia, Israel, dan Filipina.

Seluruh negara tersebut mewajibkan tes COVID-19 bagi ketibaan dari China. Langkah yang dengan segera mengundang amarah Beijing.

"Sejumlah kebijakan tidak proporsional dan tidak bisa disetujui. Kami secara tegas menolak tindakan-tindakan... untuk tujuan politik dan merespons berdasarkan prinsip timbal balik," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning.

Mao Ning pun mendesak agar kebijakan terkait COVID-19 tidak berdasarkan politik dan tidak berdampak ke masyarakat umum.

"Hal tersebut (tes COVID-19) seharusnya tak digunakan untuk manipulasi politik, seharusnya tak ada kebijakan-kebijakan diskriminasi terhadap negara-negara tertentu," imbuhnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.