Sukses

Di Bawah Kepemimpinan Taliban, Musim Dingin Warga Afghanistan Kian Buruk

Warga Afghanistan harus berjuang untuk bertahan hidup di tengah musim dingin dan di bawah tekanan Taliban. Terlebih, pembatasan internasional mempersulit warga atas akses bantuan.

Liputan6.com, Kabul - Lebih banyak warga Afghanistan akan berjuang untuk bertahan hidup karena kondisi kehidupan memburuk di tahun mendatang, kata seorang pejabat tinggi ICRC atau International Committee of the Red Cross (Komite Palang Merah Internasional), dikutip dari AP News, Selasa (22/11/2022).

Negara itu bersiap menghadapi musim dingin kedua di bawah pemerintahan Taliban.

Perebutan kekuasaan kelompok agama pada Agustus 2021 membuat ekonomi terpuruk dan secara fundamental mengubah Afghanistan, mendorong jutaan orang ke dalam kemiskinan dan kelaparan karena bantuan asing terhenti.

“Kesulitan ekonomi ada di sana. Ini sangat serius dan orang-orang akan berjuang untuk hidup mereka,” ujar Martin Schuepp, direktur operasi ICRC kepada wartawan pada Minggu malam.

Sanksi terhadap penguasa Taliban, penghentian transfer bank, dan pembekuan miliaran cadangan mata uang Afghanistan telah membatasi akses ke lembaga global dan uang luar yang mendukung ekonomi negara itu.

Negara itu sangat bergantung pada bantuan, termasuk setelah penarikan pasukan AS dan NATO.

Awal musim dingin akan meningkatkan 'kebutuhan kemanusiaan akut' yang sudah dihadapi separuh negara, kata Direktur Schuepp.

"Harga melonjak karena berbagai alasan, kemudian masalah sanksi juga menyebabkan konsekuensi besar,” katanya. "Kami melihat semakin banyak orang Afghanistan yang harus menjual barang-barang mereka untuk memenuhi kebutuhan. Mereka harus membeli bahan untuk pemanas, pada saat yang sama harus menghadapi kenaikan harga makanan dan barang-barang penting lainnya."

Sanksi merupakan tantangan dalam mendapatkan bantuan dan pasokan yang diperlukan ke negara secara tepat waktu, tapi penting bahwa semua sanksi memiliki pengecualian kemanusiaan sehingga organisasi seperti ICRC dapat melanjutkan pekerjaan mereka, katanya.

Red Cross sudah membayar gaji 10.500 staf medis setiap bulan untuk memastikan layanan kesehatan dasar tetap berjalan, tambahnya.

"Kami sangat sadar bahwa bukan peran utama kami untuk membayar gaji staf medis. Sebagai organisasi kemanusiaan, kami bukan tempat terbaik untuk melakukan itu. Kami telah melakukannya secara luar biasa untuk memastikan bahwa layanan terus diberikan."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tidak Ada Negara yang Mengakui Islamic Emirate of Afghanistan

Schuepp, yang melakukan kunjungan pertamanya ke Afghanistan sebagai direktur operasi sejak pengambilalihan Taliban, mengatakan bahwa ICRC memberi makan sebagian besar populasi penjara di negara itu. Dia tidak dapat menyebutkan berapa banyak tahanan yang ada di Afghanistan.

"Kami telah meningkatkan dukungan kami ke penjara dan narapidana, memastikan bahwa makanan disediakan di penjara di seluruh negeri," katanya. "Saat ini, sekitar 80% populasi penjara mendapat manfaat dari dukungan makanan semacam itu."

Dia menggambarkan peran Red Cross sebagai “tindakan sementara” yang diperlukan setelah runtuhnya pemerintah Afghanistan yang didukung AS begitu Washington memulai penarikan pasukan terakhirnya pada Agustus 2021.

Red Cross berusaha "memastikan bahwa layanan dasar terus berlanjut" di penjara di bawah kekuasaan Taliban, katanya.

Tidak ada negara di dunia yang mengakui Islamic Emirate of Afghanistan -- sebagaimana Taliban menyebut administrasi mereka. Hal ini membuat mereka terisolasi secara internasional.

Kelompok agama itu sebelumnya memerintah Afghanistan pada 1990-an dan digulingkan oleh invasi AS pada 2001.

3 dari 4 halaman

Krisis HAM Masih Jadi Masalah Besar di Afghanistan

Apa yang sebenarnya terjadi di Afghanistan?

Pelapor khusus situasi hak asasi manusia di Afghanistan, Richard Bennett, mengatakan kondisi di Afghanistan memburuk dalam setahun ini.

Taliban, kata Bennett, telah menjadi semakin otoriter, menekan kebebasan berpendapat, dan menolak hak-hak sipil dan politik rakyat, dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (15/9/2022).

Walaupun semua orang Afghanistan mengalami masa-masa sulit, Bennett menilai, kemunduran hak-hak yang dulu dinikmati, khususnya untuk perempuan, kini sangat menyedihkan.

“Saya sangat prihatin akan kemunduran yang mengejutkan di mana perempuan dan anak perempuan tidak lagi menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sejak Taliban menguasai negara itu. Tidak ada negara di dunia di mana perempuan dan anak perempuan begitu cepat kehilangan hak asasi hanya karena jenis kelamin mereka,” ujarnya.

Menurut Bennett, apa yang terjadi di Afghanistan adalah keprihatinan internasional. Ia memperingatkan bahwa diperlukan tindakan mendesak untuk membuat penguasa de facto Taliban mengubah kebijakan yang diskriminatif.

Pakar PBB tersebut menggambarkan Afghanistan sebagai negara yang berada di ambang kehancuran ekonomi, dengan hampir 19 juta orang, setengah dari populasi, menghadapi kelaparan akut.

Bahkan keamanan yang awalnya membaik, kembali memburuk setelah Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, kata Bennett.

Dia mengungkapkan ada banyak laporan tentang warga sipil yang menjadi sasaran penggeledahan dari rumah ke rumah yang seolah hukuman kolektif.

“Saya sangat prihatin bahwa mantan Pasukan Pertahanan dan Keamanan Nasional Afghanistan dan pejabat-pejabat lain dari pemerintahan sebelumnya tetap menjadi sasaran penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan di luar proses hokum, dan penghilangan paksa, meskipun Taliban menyatakan akan memberi amnesti,” tambah Bennett.

Bennett menambahkan, mereka yang melakukan kejahatan ini tampaknya bertindak tanpa hukum dan menciptakan suasana teror.

4 dari 4 halaman

PBB: 19 Juta Warga Afghanistan Alami Kelangkaan Pangan Akut

Menurut laporan pada Agustus lalu, jutaan penduduk Afghanistan mengalami kelaparan.

Pejabat tinggi PBB untuk urusan kemanusiaan, pada Senin (29/8/2022), menyampaikan informasi tentang situasi ekonomi dan kemanusiaan di Afghanistan kepada Dewan Keamanan PBB.

Wakil Sekretaris Jenderal PBB Urusan Kemanusiaan, Martin Griffiths, mengatakan “Hampir 19 juta orang di Afghanistan menghadapi kelangkaan pangan yang akut, termasuk enam juta orang yang berisiko mengalami kelaparan parah.”

Ia menegaskan bahwa, “tanpa layanan khusus, anak-anak ini (yang berada dalam situasi tersebut) akan tewas.”

Griffiths menyampaikan laporan tersebut satu hari menjelang peringatan satu tahun penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (31/8/2022).

Ia kemudian mengatakan “krisis demi krisis yang datang tanpa henti” termasuk musim kering selama tiga tahun, gempa berkekuatan M 5,9 dan banjir bandang dahsyat yang melanda Afghanistan semakin mempersulit situasi yang sebelumnya sudah buruk, terutama bagi orang-orang yang tinggal di daerah dengan intensitas tinggi.

Gabungan krisis tersebut, tambahnya, menyulitkan untuk “memahami angka-angka ini.”

 

Penulis: Safinatun Nikmah

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.