Sukses

HEADLINE: Joe Biden dan Kamala Harris Resmi Pimpin AS, Cabut Kebijakan Trump Jadi Prioritas?

Liputan6.com, Jakarta - Belasan dokumen menumpuk di meja Ruang Oval, Gedung Putih. Bukan sembarang dokumen. Isinya merupakan kebijakan Presiden baru Joe Biden yang bakal mengubah wajah Amerika Serikat 4 tahun ke depan.

Hari pertama Joe Biden sebagai orang nomor 1 di Negeri Paman Sam, lebih banyak dihabiskan di Gedung Putih. Ia langsung bergerak menandatangani dokumen perintah eksekutif yang mengubah kebijakan pendahulunya, Donald Trump.

Di antaranya menarik keputusan Trump untuk mundur dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Selain itu juga mengembalikan Amerika bergabung ke Paris Agreement yang berfokus pada perubahan iklim.

Sebelum mengeluarkan sejumlah perintah eksekutif, dalam pidato perdananya usai dilantik sebagai Presiden AS, Joe Biden menyerukan persatuan nasional. Ia menyampaikan sebagian besar pidato pelantikannya bukan mengacu pada kebijakan dan program mendatang, tetapi pada "peperangan tidak beradab" yang harus dihadapi warga AS dalam mengatasi tantangan nasional yang tak terhingga.

Dikutip dari news.harvard.edu, Instruktur Klinis di Harvard Immigration and Refugee Clinical Program, dan Harvard Law School, Sameer Ahmed mengaku sangat optimistis dengan visi Biden yang berkaitan dengan masa depan imigran di AS. "Saya tersentuh karena pidato pelantikannya berfokus pada upaya untuk mencapai 'cita-cita Amerika bahwa kita semua diciptakan sederajat' dan melawan kenyataan buruk yang pahit bahwa rasisme, nativisme, ketakutan, demonisasi telah lama memisahkan kita," kata dia. 

Di hari pertamanya menjabat, Biden dinilainya mengambil langkah-langkah penting dengan mengeluarkan beberapa perintah eksekutif untuk mengatasi beberapa aspek terburuk dari kebijakan Trump. Termasuk mengakhiri larangan (perjalanan dari negara) Muslim, mencabut tembok perbatasan, dan melestarikan DACA (Deferred Action for Childhood Arrivals).

Mantan Dekan Harvard Kennedy School, Joseph Nye berpendapat, "Simbolisme pelantikan Biden di luar ruangan di Capitol dan pidatonya tentang persatuan adalah apa yang dibutuhkan negara setelah satu tahun berjalanan terjadinya kematian akibat pandemi dan perjuangan politik yang pahit."

"Meskipun dia (Biden) tidak memiliki retorika seperti Lincoln, FDR, atau Kennedy, Biden mencapai semua nada tinggi yang dia butuhkan seperti penyanyi populer dan penyair muda yang menakjubkan yang termasuk dalam upacara (pelantikan) tersebut," kata Joseph Nye.

"Ini adalah langkah pertama dan penting untuk memulihkan reputasi dan kekuatan lunak Amerika di luar negeri. Sekarang dia harus melanjutkan nadi ini."

Kemudian, Dekan Harvard Medical School George Q. Daley mengungkapkan, dirinya terdorong dan terinspirasi dari penegasan kembali demokrasi oleh Joe Biden, yang mencakup seruan untuk persatuan, pembelaan kebenaran, dan janji bahwa "impian keadilan untuk semua tidak akan ditunda lagi."

"Saya terkesan pada komitmennya untuk mengamankan perawatan kesehatan bagi semua pihak dan pilihannya atas ilmuwan dan dokter yang sangat berkualifikasi sebagai penasihat, termasuk kolega kami Rochelle Walensky untuk memimpin Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit dan Eric Lander untuk melayani sebagai penasihat sains dan memimpin Kantor Sains dan Kebijakan Teknologi, yang kini merupakan posisi setingkat kabinet," ungkapnya.

George Daley melanjutkan, "Keputusan ini menunjukkan dedikasinya untuk menghadapi tantangan langsung di zaman kita - terutama pandemi COVID-19 dan perubahan iklim - dengan kebijakan yang ketat dan berbasis bukti."

Joe Biden juga dianggap perlu fokus untuk negosiasi dengan partai oposisi di Senat dan DPR AS. Karena kemenangan Demokrat di Kongres masih tipis.

Partai Republik perlu digandeng agar kebijakan dan perintah eksekutif Biden tidak dijegal. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berbagi kekuasaan di Senat.

"Mau tidak mau. Itu harus ada kompromi, kalau enggak begitu, itu nanti akan susah mencari bipartisan support. Jadi pertama harus power-sharing di Senat," ujar pemerhati politik Amerika Serikat Didin Nasiruddin kepada Liputan6.com, Kamis (21/1/2021).

Mulusnya kompromi Joe Biden bisa meningkatkan peluang Demokrat untuk mengontrol Kongres hingga empat tahun. Sebab, mid-term election 2022 bisa mengganggu dominasi Demokrat.

Didin menyebut partai penguasa berpotensi kalah di Kongres saat mid-term election. Hal itu sempat terjadi pada era Barack Obama di 2014. Donald Trump juga mengalaminya saat Republik kehilangan DPR pada 2017.

"Biden dengan kekuatan tiga kekuatan itu (Gedung Putih, Senat, DPR) hanya mungkin bertahan dua tahun saja, karena histori mengatakan di mid-term election itu partai yang memerintah biasanya kehilangan Senat dan DPR," ujar Didin.

Keadaan dipersulit oleh fakta ada tiga senator Demokrat yang harus ikut pemilihan khusus pada 2022, yakni Mark Kelly (Arizona), Raphael Warnock (Georgia), dan Alex Padilla (California).

"Wornoff, Padilla, dan senator dari Arizona yang baru, itu special election 2022 mereka harus bertarung lagi," ujar Didin.

Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Nur Rachmat Yuliantoro menyebut agenda persatuan adalah hal penting bagi Joe Biden, baik secara jangka pendek maupun panjang. 

"Yang kita saksikan saat ini adalah rakyat Amerika yang terbelah, dan keterbelahan ini sifatnya multidimensi, mulai dari soal ideologi, preferensi politik, tingkat ekonomi, sampai dengan kehidupan sosial mereka. Jika ini gagal, maka semboyan "E pluribus unum" akan semakin kehilangan relevansinya," jelas Nur Rachmat kepada Liputan6.com.

Pada pidatonya saat pelantikan, Joe Biden berjanji akan menjadi presiden bagi seluruh rakyat dan meminta adanya persatuan. Biden juga berjanji kepada negara sahabat bahwa AS akan kembali aktif di hubungan internasional sebagai aktor relevan. 

Langkah Presiden Biden untuk kembali ke WHO dan Paris Agreement, serta membatalkan aturan imigrasi Trump terhadap sejumlah negara Muslim sudah dinilai sudah tepat. Tetapi, Nur Rachmat menyebut itu belum cukup.

"Biden juga harus memperbaiki hubungan dengan Eropa, Cina, dan Amerika Latin - setidaknya menjadikan ini semua sebagai prioritas, agar Amerika kembali menjadi aktor internasional yang disegani dan dipercaya," tegas Nur Rachmat.

Mengatasi COVID-19 juga perlu menjadi agenda utama Joe Biden. Menurutnya, dampak pandemi COVID-19 tidak hanya soal ekonomi.

"Memang program vaksinasi di Amerika Serikat sudah berjalan, tetapi dampak psikologis, dampak sosial, dan dampak ekonomi dari serangan virus ini masih menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Butuh dana yang tidak sedikit untuk program mengatasi pandemi ini."

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Agenda Utama 10 Hari Pertama

Sehari setelah resmi dilantik menjadi presiden Amerika Serikat ke-46, Joe Biden langsung mulai melakukan pekerjaannya sebagai presiden.

Mengutip laporan CNN, Kamis (21/1/2021), selain tindakan eksekutif dan memorandum yang ditandatangani, Presiden Joe Biden juga memiliki rencana tindakan tambahan yang ambisius untuk 10 hari pertama di masa jabatannya. Diketahui, banyak di antaranya akan membatalkan kebijakan utama yang ditetapkan pendahulunya yakni Donald Trump.

Mulai hari Kamis (21/1), setiap hari hingga akhir bulan, dengan pengecualian akhir pekan ini, pemerintaha Joe Biden akan berpusat di sekitar tema tertentu, dengan serangkaian tindakan dan arahan yang sesuai, menurut draf dokumen kalender yang dikirim ke sekutu administrasi.

Berikut adalah tema utama yang akan menjadi agenda prioritas Joe Biden dalam 10 hari pertama masa jabatannya. 

  • 20 Januari: Peresmian dan empat Krisis
  • 21 Januari: COVID-19
  • 22 Januari: Bantuan Ekonomi
  • 23-24 Januari: Akhir Pekan
  • 25 Januari: Buy America
  • 26 Januari: Ekuitas
  • 27 Januari: Iklim
  • 28 Januari: Perawatan Kesehatan
  • 29 Januari: Imigrasi
  • 30-31 Januari: Akhir Pekan
  • Februari: Mengembalikan Tempat Amerika di Dunia

Tema hari pertama presiden Biden adalah tentang virus corona. Akan ada enam perintah eksekutif dan satu arahan kebijakan presiden terkait COVUD-19.

Perintah eksekutif mencakup hal-hal seperti peninjauan rantai pasokan, pengumpulan dan transparansi data tambahan, dan dukungan untuk penelitian dan pasokan perawatan COVID-19 tambahan. Arahan kebijakan presiden akan meminta lembaga untuk "memperkuat upaya memerangi COVID-19 secara global dan memperkuat kesiapsiagaan pandemi global." 

Kemudian pada hari Jumat dengan tema "Bantuan Ekonomi", akan ada dua perintah eksekutif yang dilaksanakan. 

Perintah tersebut mengarah pada tindakan keagenan pada Medicaid, hibah Pell, tunjangan SNAP, dan asuransi pengangguran. 

Perintah eksekutif kedua akan memulihkan hak tawar-menawar kolektif kepada karyawan federal dan memulai tindakan untuk membatalkan perintah eksekutif mantan Presiden Trump - yang memberi kelonggaran kepada Kantor Manajemen dan Anggaran dan lembaga federal untuk mengklasifikasikan ulang peran-peran kunci. 

Terkait dengan perintah eksekutif memerangi COVID-19, Pemerhati politik AS Didin Nasirudin menilai Joe Biden telah mengambil kebijakan populis untuk menangani dampak pandemi, seperti peningkatan stimulus. Joe Biden perlu fokus pada COVID-19 agar kekuasaannya aman hingga mid-term election 2022.

"Dengan dia akan meningkatnya stimulus yang US$ 1.400 itu kebijakan yang populis, kemudian mempercepat vaksin itu populis. Pokoknya vaksin, ekonomi itu harus menjadi fokus dari hari kedua sampai mid-term election." 

Terkait COVID-19, Joe Biden kini sudah mewajibkan memakai masker dan menerapkan social distancing di gedung-gedung federal. Ia juga berjanji akan mempercepat distribusi vaksin.

 

3 dari 4 halaman

Kembali ke WHO dan Paris Agreement

Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris menggelar press briefing perdana di Gedung Putih pada Rabu (20/1.2021) waktu setempat.

Press briefing itu digelar menyusul pelantikan Biden dan Harris yang dilangsungkan pada Rabu siang (20/1). 

"Dia (Presiden Biden) menandatangani perintah eksekutif, menarik keputusan Trump untuk mundur dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)," kata Sekretaris Pers Gedung Putih, Jen Psaki, dalam press briefing Gedung putih yang disiarkan oleh USA Today.

"Ini akan memperkuat upaya kita (Amerika Serikat) dalam mengendalikan pandemi (COVID-19), dengan meningkatkan kesehatan global," lanjut Psaki.

Ditambahkannya juga, bahwa "Besok, (pakar kesehatan top AS) Dr. Fauci akan berpartisipasi dari jarak jauh dalam pertemuan WHO sebagai Kepala Delegasi AS".

Mengutip CBS News, penandatanganan tindakan eksekutif Biden juga mencakup "100 Days Masking Challenge", yang menyerukan penggunaan masker secara nasional dan perintah diterapkannya praktik social distancing di gedung-gedung federal.

Tindakan eksekutif itu pun juga tentang mengembalikan posisi era pemerintahan Barack Obama yang disebut "Direktorat Keamanan Kesehatan Global dan Biodefense," yang diselenggarakan dengan staf tambahan dalam Dewan Keamanan Nasional setelah epidemi Ebola pada 2014. silam

Kantor direktorat tersebut sebelumnya dibubarkan ke peranan lain selama pemerintahan Trump, tetapi Biden dan penasihat kampanyenya berpendapat langkah tersebut menurunkan kesiapan pemerintah federal pada pandemi COVID-19.

Selain itu, Biden juga akan secara resmi menerapkan "koordinator tanggapan" yakni laporan kepada presiden tentang vaksin, pengujian dan produksi, suplai, dan distribusi APD. 

Biden dilaporkan telah menunjuk Jeff Zients, untuk memimpin tim Satgas COVID-19 pemerintahannya.

Paris Agreement

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden meloloskan perintah eksekutif agar negaranya kembali bergabung ke Paris Agreement yang berfokus pada perubahan iklim. Kabar itu disambut gembira oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron.

Isu lingkungan merupakan agenda utama dari Joe Biden. Pada pidato setelah dilantik, Biden berkata lingkungan sedang meminta pertolongan.

Dilaporkan USA Today, Kamis (21/1/2021), Paris Agreement adalah satu dari beberapa perdana Joe Biden di Gedung Putih. Donald Trump membawa keluar AS dari perjanjian itu pada 2017.

Melalui Twitter, Presiden Macron menyambut kembali datangnya AS.

"Saya menyambut kembalinya Amerika Serikat kepada Perjanjian Paris untuk iklim: Welcome back!" ujar Presiden Macron.

"Bersama-sama kita bisa mengubah situasi iklim dengan mengambil tindakan demi planet kita," imbuh Macron.

Perintah Biden lainnya adalah agar AS kembali masuk WHO serta mewajibkan memakai masker dan menerapkan social distancing di gedung federal.

 

4 dari 4 halaman

Yang Diubah Joe Biden dari Donald Trump

Menjelang hari pelantikannya, Joe Biden memang telah memaparkan sejumlah janji dan targetnya untuk 100 hari pertama ketika ia menjabat sebagai presiden AS. 

Ia pun telah menyampaikan bahwa ia akan menghapus sejumlah kebijakan yang sebelumnya diterapkan oleh Donald Trump. Hal ini ia sampaikan melalui memo dari kepala stafnya, Ron Klain.

Ada pun sejumlah aturan Donald Trump yang diubah oleh Joe Biden adalah:

1. Kembali Bergabung dengan Perjanjian Iklim Paris

Salah satu kebijakan yang akan diubah oleh Joe Biden dari yang sebelumnya diputuskan oleh Trump adalah kembali bergabung dengan Perjanjian Iklim Paris. 

Kala itu, Presiden Donald Trump memutuskan untuk menarik AS dari perjanjian iklim Paris. Kesepakatan Paris bertujuan untuk memperlambat perubahan iklim dengan menetapkan batasan emisi karbon yang telah banyak dianut oleh komunitas bisnis.

Donald Trump sendiri menganggap bahwa kesepakatan Paris bertujuan untuk memincangkan, merugikan, dan memiskinkan AS. Ia mengklaim, kesepakatan itu menelan US$ 3 triliun GDP AS dan menghilangkan 6,5 juta pekerjaan.

"Untuk memenuhi kewajiban saya dalam melindungi Amerika dan warganya, Amerika Serikat akan menarik diri dari kesepakatan iklim Paris," kata Trump.

2. Cabut Larangan Masuk AS untuk Warga Muslim

Pada hari pertamanya menjabat, Presiden terpilih AS Joe Biden berencana untuk mengeluarkan sejumlah perintah eksekutif, termasuk satu perintah yang membatalkan larangan perjalanan kontroversial di beberapa negara yang mayoritas penduduknya Muslim.

Para pengamat mengatakan larangan tersebut dapat dengan mudah dibatalkan karena dikeluarkan oleh perintah eksekutif dan proklamasi presiden, meskipun tuntutan hukum dari lawan konservatif dapat menunda proses tersebut.

“Sebagai presiden, saya akan bekerja dengan Anda untuk merobek racun kebencian dari masyarakat kita untuk menghormati kontribusi Anda dan mencari ide-ide Anda. Pemerintahan saya akan terlihat seperti Amerika, dengan Muslim Amerika melayani di setiap tingkatan," kata Biden pada bulan Oktober.

Sebelumnya pada 2017, Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang wisatawan dari tujuh negara mayoritas Muslim memasuki Amerika Serikat. 

3. Kembali Gabung dengan WHO

Lebih lanjut lagi, Presiden terpilih Joe Biden juga akan kembali membuat AS bergabung dengan WHO sebagaimana sebelumnya telah dibatalkan oleh Donald Trump. 

Di tengah pandemi COVID-19 yang hingga kini masih berlangsung, Donald Trump secara resmi telah menarik Amerika Serikat dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Donald Trump telah menyatakan niatnya sejak akhir Mei lalu, sambil menuduh WHO berada di bawah kendali China selama penanganan pandemi Virus Corona COVID-19. Meskipun ada panggilan dari UE dan yang lainnya, dia mengatakan akan menarik diri dari badan PBB dan mengalihkan dananya ke tempat lain.

4. Perkenalkan RUU Imigrasi

Biden mengatakan dia berencana untuk segera memperkenalkan RUU imigrasi setelah menjabat.

Selama puluhan tahun belakangan, mereka yang tidak berdokumen bak melewati medan pertempuran untuk mendapatkan kewarganegaraan di AS. 

Rencananya, RUU itu akan memberi jalan bagi 11 juta imigran tidak berdokumen untuk mendapatkan kewarganegaraan yang selama ini menunggu hingga delapan tahun sebagai penduduk tetap. Biden juga merencanakan perintah eksekutif yang melembagakan "perpanjangan empat tahun" dari program.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.