Sukses

Teror Pemenggalan Guru di Paris Picu Diskusi Soal Islam di Prancis

Teror pemenggalan kepala seorang guru di Paris menghidupkan kembali diskursus tentang wujud Islam yang berpatutan dengan nilai-nilai Prancis. Serangan itu kini ramai dikecam komunitas muslim, termasuk oleh al-Azhar.

Jakarta - Sebuah pernyataan kecaman dibacakan saat Syeikh al-Tayeb berpidato di hadapan pemuka agama Kristen, Yahudi dan Buddha, termasuk Paus Fransiskus dan Rabi Agung Prancis, Haim Korsia. Mereka bertatap muka secara virtual di Bukit Capitolino, Roma, Italia, untuk sebuah deklarasi damai.

“Sebagai seorang muslim dan Syeikh al-Azhar, saya mendeklarasikan bahwa Islam, ajaran dan Rosulnya tidak bersalah atas kejahatan keji teroris," kata al-Tayeb merujuk pada pemenggalan Samuel Paty, Jumat 16 Oktober 2020, pekan lalu. Demikian seperti mengutip laman DW Indonesia, Jumat (23/10/2020). 

Namun dia juga mewanti-wanti terhadap ujaran yang merendahkan keyakinan orang lain.

"Pada saat yang sama saya menekankan bahwa penghinaan agama dan serangan terhadap simbol-simbol sucinya di bawah bendera kebebasan berekspresi adalah standar ganda intelektual dan sebuah undangan terbuka terhadap kebencian," tegas Syeikh al-Azhar itu. 

Samuel Paty yang berusia 47 tahun dibunuh oleh seorang pemuda 18 tahun asal Chechnya. Saat itu korban dalam perjalanan pulang usai mengajar di sebuah sekolah menengah pertama di Conflans-Sainte-Honorine, tidak jauh dari ibu kota Paris. Paty dianggap melecehkan Islam saat menunjukkan gambar karikatur Nabi Muhammad milik Charlie Hebdo kepada murid-muridnya. 

Pembunuhnya, Abdullakh Anzorov, lalu mengunggah foto jenazah korban di Twitter, sebelum kemudian tewas dalam baku tembak dengan polisi. Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin, mengumumkan telah menangkap 16 orang, termasuk seorang ustad radikal dan empat anggota keluarga Anzorov. 

Menurut Darmanin, sang ustad dan ayah Abdullakh sebelumnya sudah menerbitkan fatwa mati terhadap korban.  "Para teroris ini tidak mewakili agama yang dibawa Nabi Muhammad, serupa dengan teroris di Selandia Baru yang membunuh muslim di dalam masjid yang tidak mewakili agama Yesus," kata Syeikh al-Tayeb. 

September silam Al-Azhar sendiri mengecam keputusan redaksi Charlie Hebdo dalam edisi khususnya menerbitkan ulang karikatur Nabi Muhammad. Edisi khusus itu diluncurkan pada pembukaan sidang serangan teror terhadap kantornya di Paris pada 2015 silam.

Saksikan Juga Video Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Loyalitas Imam

Bagi Hassan Chalghoumi, seorang imam di sebuah masjid di Drancy di tepi kota Paris, Samuel Paty adalah seorang "martir" bagi kebebasan berekspresi. Dia mengajak masjid-masjid di Prancis untuk menggelar doa bersama bagi sang guru pada ibadah Jumat di penghujung pekan. 

Hassan ditemui Reuters saat menyambangi lokasi kejadian sembari ditemani tokoh-tokoh Islam yang lain. Dia mengingatkan saatnya umat muslim di dunia menyadari bahaya ekstremisme agama. 

"Paty adalah martir bagi kebebasan berekspresi, dan seorang figur yang bijaksana dan mengajarkan toleransi, peradaban dan rasa saling hormat antara sesama," tutur pria yang juga menjabat Imam Konferensi Prancis, sebuah forum gabungan pemuka Islam dari seluruh negeri. 

"Rektor-rektor masjid, para imam, orangtua, lembaga swadaya masyarakat, sadarlah, masa depan kita sedang dipertaruhkan," imbuhnya. 

Hassan Chalghoumi adalah seorang figur kontroversial di kalangan muslim Prancis lantaran sering bersitegang dengan kaum ultra-konservatif. Rival terbesarnya adalah Abdelhakim Sefrioui, seorang imam radikal yang turut membuat video yang gencar menuduh Samuel Paty melakukan penistaan Islam. 

Sefrioui pernah disangka berusaha mendepak Chalghoumi dari masjidnya di Drancy. Sejak insiden itu, Chalghoumi mengaku mendapat ancaman pembunuhan dan sebabnya berada dalam perlindungan kepolisian. 

Chalghoumi termasuk kalangan imam yang loyal pada negara.

Dia mengajak kaum muslim "mengakhiri diskursus viktimisasi. Kita semua punya hak yang sama di Prancis, seperti orang lain juga. Orangtua harus mengabarkan kepada anaknya semua hal-hal baik yang ada di republik ini."

3 dari 3 halaman

Perangi Komunitas Muslim Radikal

Figur serupa Chalghoumi menjadi aktor kunci dalam upaya pemerintah Prancis memerangi gagasan radikal di kalangan warga muslim. Konsepnya dijabarkan Presiden Emmanuel Macron sekitar dua pekan lalu, dalam sebuah pidato kenegaraan di Paris. 

Dia mengajak komunitas muslim untuk menjalankan ajaran Islam yang sesuai dengan “nilai-nilai republik.” Macron mengklaim pemerintah sudah duduk bersama lembaga-lembaga terbesar Islam di Prancis untuk merumuskan “Islam Pencerahan” yang bisa hidup "damai dengan republik."

Dalam pidatonya itu sang presiden menjelaskan secara detail kebijakan yang akan atau sudah diambil. Selain mengadakan program pelatihan imam, pemerintah juga akan menggiatkan penegakan hukum terhadap sekolah rumah dan membatasi pengaruh negara asing terhadap warga muslim Prancis. 

Pidato Macron mengundang kritik dari Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Dalam pesan video untuk KTT Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Rabu 21 Oktober, dia menyebut konsep Islam Prancis yang digagas Macron sebagai upaya mendeskreditkan Islam. 

"Mereka yang terganggu oleh kebangkitan Islam menyerang agama kita dengan menggunakan krisis yang mereka ciptakan sendiri," kata Erdogan. Diskursus keagamaan yang sedang digulirkan pemerintah Prancis menurutnya bersifat 'anti-Islam'. 

"Kebijakan antimuslim adalah alat yang paling menguntungkan bagi politisi-politisi barat untuk menyembunyikan kegagalan mereka," pungkas presiden Turki itu. 

Macron dikabarkan kini berada di bawah tekanan partai-partai oposisi. Pemimpin partai populis kanan, Marine Le Pen, yang diprediksi bakal kembali bersaing dalam Pemilu Kepresidenan 2022, mendesak pemerintah di Paris menerapkan UU Darurat Perang dan menghentikan arus migrasi. 

Kedua tokoh politik puncak Pranci itu, saat ini bersaing ketat di setiap jajak pendapat pemilu kepresidenan. Konsep Islam Prancis yang digagas pemerintah juga dinilai bermasalah, lantaran melanggar asas sekularisme yang melarang campurtangan negara terhadap agama. H. A. Hellyer, peneliti Timur Tengah Inggris, menilai diskursus tersebut bernilai politis. 

Dalam tulisan terbarunya untuk jurnal Foreign Policy, Hellyer menilai terobosan Macron untuk Islam moderat sebenarnya adalah upaya politik meredam manuver Le Pen yang gemar "menyalahkan kaum muslim untuk semua masalah di Prancis."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.