Sukses

Terkuak Misteri Lenyapnya Suku Maya Kuno dari Kota Metropolis Tikal Abad ke-9

Lenyapnya Suku Maya tersebut dikaitkan dengan pencemaran air oleh organisme dan materi polutan beracun.

Liputan6.com, Guatemala - Selama lebih dari 1.000 tahun, kota Suku Maya kuno Tikal berjaya, mewujudkan salah satu pusat kota terbesar dan paling penting yang pernah dibangun oleh peradaban pra-Columbus yang penuh teka-teki dan abadi ini.

Namun, pada akhir abad ke-9 M, metropolis Suku Maya ini mulai berantakan. Sekitar waktu ini, Tikal dan sejumlah kota Maya lainnya ditinggalkan, dan analisis baru atas sumber mata air (reservoir) di Tikal memberikan wawasan baru yang penting tentang mengapa eksodus kuno kota mungkin terjadi.

Sebuah tim yang dipimpin oleh para ilmuwan di Universitas Cincinnati menganalisis sedimen dari reservoir di kota kuno --yang terletak di Guatemala modern-- dan menemukan bukti kontaminan beracun yang membuat air minum Tikal tidak dapat diminum, demikian seperti dikutip dari Sciencealert.com, Minggu (5/7/2020).

Untuk kota yang luas yang rawan kekeringan parah --dan terputus dari danau dan sungai-- cekungan pengumpul air hujan yang tercemar bisa menjadi penyebab berakhirnya ribuan penduduk Tikal, diperkirakan berjumlah hingga 100.000 orang di puncak kota.

"Konversi dari waduk pusat Tikal dari tempat yang menopang kehidupan menjadi tempat penyebab sakit dapat secara praktis dan simbolis memicu kota yang luar biasa ini ditinggalkan," tulis para peneliti dalam sebuah makalah baru.

Untuk mengeksplorasi bagaimana sistem reservoir Tikal menopang (dan gagal mempertahankan) populasi kota Suku Maya, tim peneliti, yang dipimpin oleh ahli biologi David Lentz, mengambil sampel sedimen yang dikumpulkan dari 10 reservoir kota.

Analisis DNA yang terkandung dalam kotoran kuno mengungkapkan jejak dua jenis cyanobacteria (ganggang biru-hijau) di reservoir.

Bukti menunjukkan organisme ini, Planktothrix dan Microcystis, ada di waduk selama berabad-abad selama pendudukan Tikal, tetapi kemungkinan menjadi sangat bermasalah selama periode kekeringan parah sebelum ditinggalkannya Tikal pada pertengahan abad ke-9.

"Airnya akan tampak buruk. Itu akan terasa tidak enak," kata salah satu tim, ahli geologi arkeologi, Kenneth Tankersley.

"Akan ada ganggang biru-hijau besar ini. Tidak ada yang ingin minum air itu."

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Racun Merkuri

Organisme ganggang bukan satu-satunya sumber toksisitas. Analisis juga mengungkapkan tingginya kadar merkuri dalam sedimen.

Setelah mengesampingkan sumber potensial polusi merkuri dari lingkungan alami (merkuri yang masuk ke reservoir air dari batuan dasar, atau jatuh ke atasnya melalui abu vulkanik), para peneliti menyadari bahwa itu adalah suku Maya sendiri yang kemungkinan memperkenalkan kontaminan.

"Warna penting di dunia Maya kuno," kata Tankersley. "Mereka menggunakannya dalam mural mereka. Mereka mengecat plester merah. Mereka menggunakannya dalam penguburan dan menggabungkannya dengan oksida besi untuk mendapatkan warna yang berbeda."

Sayangnya untuk Maya, salah satu bahan yang mereka gunakan dalam cat mereka adalah mineral cinnabar berwarna merah, yang merupakan bentuk merkuri sulfida, dan beracun bagi manusia yang bersentuhan dengannya.

Toksisitas ini mungkin telah diketahui oleh bangsa Maya, seperti yang diketahui oleh orang-orang kuno lainnya, tetapi betapapun amannya mereka menanganinya, mereka mungkin tidak akan pernah menyadari bahwa seiring waktu, air hujan mencuci level-level berbahaya dari pigmen beracun dari permukaan yang dicat ke dalam reservoir kota meracuni semua orang, bahkan elite kota, yang tinggal di dekat Istana Tikal dan waduk Kuil.

"Akibatnya, keluarga terkemuka Tikal cenderung diberi makan makanan yang dicampur dengan merkuri setiap kali makan," para penulis menjelaskan.

"Perairan yang terkontaminasi akan memiliki dampak negatif pada kesehatan masyarakat, terutama elite penguasa, dan mungkin telah mengkompromikan kemampuan mereka untuk memimpin secara efektif."

Pada periode waktu yang sama, pengikisan iklim dan degradasi lingkungan juga merupakan masalah besar bagi suku Maya, tetapi kurangnya air minum segar --simbol yang kuat dalam budaya-- mungkin menjadi penyebab kehancuran terakhir di kota yang dilanda kekeringan dan tercemar di kota itu.

"Mungkin ada orang-orang yang melihat peristiwa yang dijelaskan di atas dan kekeringan bersamaan sebagai kegagalan para pemimpin mereka untuk memenuhi tuntutan dewa-dewa Maya," tulis para peneliti.

"Memang, peristiwa-peristiwa yang datang bersama-sama ini pasti telah menghasilkan populasi yang mengalami demoralisasi yang, dalam menghadapi persediaan air dan makanan yang semakin menipis, menjadi lebih bersedia untuk meninggalkan rumah mereka."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.