Sukses

Tengok Hukuman bagi Para Koruptor di 5 Negara Besar Ini, Bagaimana Indonesia?

Tengok hukuman bagi para koruptor di 5 negara besar ini.

Jakarta - Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio, yang berarti busuk atau rusak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri, korupsi memiliki pengertian penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara, perusahaan dan sebagainya, untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Praktik korupsi bisa menimpa siapa saja, mulai dari masyarakat biasa, karyawan swasta, elite politik, bahkan pemimpin negara sekaligus.

Di Indonesia, korupsi menjadi hal yang marak diperbincangkan. Tercatat sepanjang tahun 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan atau OTT sebanyak 28 kali dan menetapkan 108 orang sebagai tersangka.

Total ada 178 perkara sepanjang tahun 2018, bukan angka yang kecil. Menurut Transparency International, organisasi dunia yang bergerak memerangi korupsi, di tahun 2017 Indonesia menempati peringkat 98 dalam daftar negara terbersih dari praktik korupsi, tidak lebih baik ketimbang Timor Leste yang berada di posisi 95.

Tak hanya di Indonesia, praktik korupsi juga marak terjadi di berbagai belahan dunia. Hukuman yang dijatuhkan pun beragam, tak tanggung-tanggung ada yang menerapkan hukuman mati. Tengok hukuman bagi para koruptor di lima negara besar ini, seperti dikutip dari Deutsche-Welle, Selasa (22/1/2019).

 

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

China

Di China, seseorang yang terbukti melakukan korupsi dan menyebabkan kerugian negara lebih dari 100.000 yuan atau sekitar 215 juta rupiah akan dihukum mati.

Liu Zhijun mantan Menteri Perkeretaapian China dan Zhang Zhongseng mantan Wali Kota Luliang divonis hukuman mati karena terbukti melakukan korupsi.

Di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, China berkomitmen untuk menindak tegas pelaku korupsi.

Malaysia

Malaysia juga sempat menerapkan hukuman mati bagi para pelaku korupsi.

Sejak tahun 1961, Malaysia sudah mempunyai undang-undang antikorupsi bernama Prevention of Corruption Act. Kemudian pada 1982, Badan Pencegah Rasuah (BPR) dibentuk khusus untuk menjalankan fungsi tersebut.

Pada 1997 Malaysia akhirnya memberlakukan undang-undang Anti Corruption Act yang akan menjatuhi hukuman gantung bagi pelaku korupsi.

Namun Oktober 2018 lalu, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Mahathir Mohamad, pemerintah Malaysia mengumumkan akan menghapus hukuman mati atas alasan hak asasi manusia.

Ilustrasi Korupsi (iStockPhoto)

Jepang dan Korea Selatan 

Kesadaran anti korupsi, kolusi, dan nepotisme juga harus dimiliki setiap individu. Pendidikan akan bahaya korupsi juga penting untuk diberikan kepada generasi muda. Setidaknya hal inilah yang terjadi di Jepang dan Korea Selatan.

Di kedua negara itu, korupsi bak aib besar. Budaya malu di kedua negara tersebut masih amat kuat. Mereka yang terjerat kasus korupsi akan mendapat rasa malu yang luar biasa.

Tahun 2007, mantan Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Jepang, Toshikatsu Matsuoka, memutuskan untuk mengakhiri hidupnyadi usia 62 tahun karena tidak tahan menerima tekanan dari berbagai pihak atas skandal korupsi yang menjeratnya. Ia ditemukan tidak sadarkan diri di kediamannya, Tokyo.

Sama halnya dengan mantan Presiden Korea Selatan, Roh Moo Hyun yang memutuskan mengakhiri hidupnya dengan cara tragis, yakni terjun bebas dari tebing di belakang kediamannya di Bongha. Roh Moo Hyun dikucilkan oleh keluarganya sendiri setelah terbukti melakukan korupsi.

Dilansir dari CNN, sebelum terjun ia pun sempat menulis surat permohonan maaf, "Banyak orang menderita karena saya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka akan menjalani hari-hari ke depan. Jangan merasa sedih. Jangan menyalahkan siapa pun. Ini sudah takdir."

Amerika Serikat

Lain pula di Amerika, Negeri Paman Sam menjatuhkan denda yang fantastis bagi seseorang yang terbukti melakukan korupsi.

Selain divonis kurungan penjara, koruptor wajib membayar denda. Nilainya tidak tanggung-tanggung, bahkan bisa mencapai 2 juta dolar.

3 dari 3 halaman

Bagaimana dengan Indonesia?

Koordinator Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo mengatakan para pelaku korupsi tidak mendapat efek jera yang sepadan atas tindakan yang dilakukannya. Diperlukan sanksi yang lebih berat dibandingkan hanya dengan menjatuhkan sanksi pidana.

"Resiko itu dapat diklasifikasi ke dalam beberapa aspek, misalnya hukuman finansial diperberat sehingga pelaku jatuh miskin, dipecat atau kehilangan posisi tanpa bisa menjadi pejabat lagi atau pegawai lagi, larangan untuk maju sebagai pejabat publik," ujarnya.

Netizen pun juga tidak mau kalah. Mereka berpendapat jika sanksi sosial merupakan salah satu cara efektif untuk menghukum koruptor. Banyak dari mereka juga prihatin dengan ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor di Indonesia.

Di Indonesia hukuman bagi koruptor tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor yang berbunyi, "Setiap orang yang melawan hukum, melakukan perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, maka dipidana penjara dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Sementara, untuk denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar."

Namun sepanjang perjalanan tidak semua terpidana kasus korupsi menyelesaikan masa tahanan sesuai dengan vonis yang dijatuhkan, dikarenakan sistem hukum di Indonesia yang memberikan remisi kepada para tahanannya. Buruknya wajah pemberantasa korupsi di Indonesia semakin tercoreng ketika terpidana kasus korupsi bisa mendapatkan fasilitas sel mewah selama mendekam di lembaga pemasyarakatan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.