Sukses

Antisipasi Potensi Kerusuhan Prancis, Menara Eiffel Ditutup Akhir Pekan Ini

Menara Eiffel akan ditutup pada akhir pekan ini, akibat potensi risiko berlanjutnya kerusuhan yang dipicu kenaikan harga BBM di Prancis.

Liputan6.com, Paris - Menara Eiffel di Paris, Prancis, akan ditutup pada akhir pekan ini, di tengah kekhawatiran kerusuhan berlanjut dari kekerasan protes anti-pemerintah oleh "rompi kuning".

Perdana Menteri Edouard Philippe mengumumkan, sebanyak 89 petugas polisi akan disiagakan di seluruh Prancis, dan puluhan kendaraan lapis baja dikerahkan ke beberapa sudut ibu kota Paris.

Dikutip dari BBC pada Jumat (7/12/2018), polisi juga telah toko-toko di pusat kota Paris, khususnya di distrik Champs-Elysees, untuk tutup hingga ada pemberintahuan lanjutan.

Serangkaian pertandingan sepak bola juga ditunda pelaksanaannya pada hari Sabtu, termasuk laga antara Paris dan Montpellier, Monako dan Nice, Toulouse dan Lyon, serta Saint-Etienne dan Marseille.

Operator Menara Eiffel mengatakan bahwa risiko keamanan pada akhir pekan nanti tidak memungkinkan untuk kondisi aman yang memadai.

Bersama dengannya, otoritas Kota Paris juga telah meningkatkan perlindungan terhadap berbagai bangunan terkenal yang sarat nilai historis, seperti gerbang Arc de Triomphe misalnya.

Menteri Kebudayaan Prancis Franck Riester mengatakann bahwa museum Louvre dan Orsay, gedung opera dan kompleks Grand Palais, berada di antara situs yang akan ditutup akhir pekan ini.

"Kami tidak bisa mengambil risiko ketika kami tahu ancamannya," katanya kepada radio RTL.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ketidakpuasan Telah Meluas

Prancis, khususnya Kota Paris, mengalami kerusuhan terburuk dalam beberapa dekade terakhir pada Sabtu pekan lalu.

Pemerintah telah mengatakan akan menghapus kenaikan pajak bahan bakar dari rencana anggaran negara, di mana kebijakan sebelumnya menjadi alasan kemunculan protes "rompi kuning".

Tetapi, ketidakpuasan lebih luas terhadap pemerintah menyebabkan meluasnya aksi protes, hingga berujung pada kerusuhan.

Dalam wawancara dengan saluran TV TF1, PM Philippe mengimbau masyarakat tetap tenang, tetapi menambahkan: "Kami menghadapi orang-orang yang tidak di sini untuk memprotes, mereka datang untuk menghancurkan, dan kami tidak akan memberi kebebasan untuk itu."

Para pengunjuk rasa "gilets jaunes", yang berarti rompi kuning dengan visibilitas tinggi yang wajib dikenakan oleh sopir komersial Prancis, awalnya mengeluh pada peningkatan tajam pada pajak harga bahan bakar diesel.

Presiden Emmanuel Macron mengatakan motivasinya adalah untuk mendukung kebijakan berbasis lingkungan, tetapi pengunjuk rasa menuduhnya tidak berhubungan.

Pada akhirnya, kebijakan tersebut dibatalkan, tetapi aksi protes rompi kuning tidak bisa diredam. Pekan lalu, gerakan --yang tidak memiliki kepemimpinan khusus-- mengeluarkan lebih dari 40 tuntutan kepada pemerintah.

Beberapa dari tuntutan tersebut adalah kenaikan minimum uang pensiun, perubahan luas pada sistem pajak, dan pengurangan usia batas akhir kerja.

Gerakan protes telah mendapatkan momentum melalui media sosial, mencakup seluruh rentang peserta dari kaum anarkis yang paling kiri ke nasionalis paling kanan, dan moderat di antara keduanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.