Sukses

79 Anak Sekolah Asrama di Kamerun Diculik, Siapa Dalangnya?

Operasi pencarian besar-besaran untuk korban penculikan dari sekolah asrama di barat Kamerun yang melibatkan tentara Kamerun tengah dilakukan.

Liputan6.com, Bamend - Puluhan orang, kebanyakan murid sekolah, telah diculik dari sekolah asrama di barat Kamerun.

"Sedikitnya 79 siswa dan tiga orang lainnya, termasuk kepala sekolah, ditangkap pada awal Senin 5 November 2018 pagi di Bamenda, ibu kota wilayah North-West," kata seorang pejabat pemerintah mengatakan kepada BBC yang dikutip Selasa (6/11/2018).

Operasi pencarian besar-besaran yang melibatkan tentara Kamerun tengah dilakukan.

Wilayah North-West dan South-West Kamerun telah dilanda pemberontakan separatis dalam beberapa tahun terakhir. Kendati demikian tak diketahui siapa dalang penculikan kali ini.

Gubernur kawasan itu, Adolphe Lele L'Afrique menyalahkan milisi separatis atas penculikan tersebut.

Milisi, yang telah menuntut kemerdekaan dari dua wilayah yang menggunakan bahasa Inggris, diketahui meminta untuk melakukan boikot sekolah. Tapi tidak ada satu kelompok pun yang mengaku menculikan di Sekolah Menengah Presbyterian Bamenda, yang memiliki murid berusia antara 10 dan 14 tahun.

Beredar video di media sosial berisi tayangan beberapa anak yang diyakini telah direkam oleh salah satu penculik. Meski demikian rekaman tersebut belum dapat dipastikan kebenarannya.

Isi Rekaman Video

Dalam rekaman tersebut, para siswa yang seluruhnya anak laki-laki terlihat berdesakan dalam ruangan kecil. Semuanya terlihat gugup ketika orang yang memegang kamera memerintahkan mereka untuk menyebutkan nama dan asal mereka.

Mereka juga mengulang kalimat: "Saya dibawa dari sekolah tadi malam oleh orang-orang Amba, saya tidak tahu di mana saya berada."

Amba adalah singkatan Ambazonia, nama negara baru yang ingin dibuat oleh separatis.

Salah satu siswa, yang berhasil menghindari penangkapan dengan bersembunyi di bawah tempat tidur, mengatakan kepada BBC bahwa penculikan itu berlangsung cepat tak lama para penculik memasuki sekolah.

"Salah satu teman saya, mereka memukulinya tanpa ampun. Yang bisa saya pikirkan hanyalah diam saja. Mereka mengancam akan menembak beberapa orang ... semua anak laki-laki besar yang mereka tangkap, dan yang kecil mereka tinggalkan," ujar korban selamat penculikan tersebut.

Sementara seorang guru di sekolah itu menggambarkan bahwa penculikan di salah satu sekolah asrama Kamerun itu begitu tiba-tiba.

"Militer datang ke rumah kepala sekolah, sepertinya  pintu telah dibobol dan dimasuki, ada kacamata tergeletak di lantai," kata guru itu kepada BBC.

 

Saksikan juga video berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Doa untuk Korban Penculikan

Sebagai pimpinan Gereja Presbyterian di Kamerun, Pendeta Fonki Samuel Forba mengatakan kepada BBC bahwa dia telah berbicara dengan para penculik.

"Mereka tidak menginginkan tebusan. Yang mereka inginkan adalah menutup sekolah-sekolah. Kami telah berjanji untuk menutup sekolah-sekolah," kata Fonki Samuel Forba kepada BBC.

"Kami berharap dan berdoa mereka membebaskan anak-anak dan para guru," tambah Fonki Samuel Forba.

Wartawan BBC Ngala Killian Chimtom melaporkan, ini bukan pertama kalinya para pelajar diculik di daerah itu, yang dikenal sebagai kubu separatis.

Pada 19 Oktober, lima siswa Sekolah Menengah Atas Atiela diculik oleh orang-orang bersenjata tak dikenal. Keberadaan mereka masih belum diketahui hingga kini.

Kelompok separatis mengatakan bahwa sistem sekolah Kamerun menekan sistem berbahasa Inggris yang diwariskan oleh wilayah North-West and South-West dari Kerajaan Inggris.

Pemberontakan Separatis

Milisi yang ingin menciptakan Ambazonia, mulai muncul pada tahun 2017 setelah pasukan keamanan menumpas protes massal, yang dipimpin oleh pengacara dan guru, atas dugaan kegagalan pemerintah untuk memberikan pengakuan yang cukup kepada sistem hukum dan pendidikan Inggris di North-West dan South-West.

Pemerintah dituduh sangat bergantung pada orang-orang yang terlatih dalam tradisi hukum dan pendidikan Prancis untuk bekerja di pos-pos kunci, umumnya meminggirkan minoritas berbahasa Kamerun yang membentuk sekitar 20% dari populasi.

Presiden Kamerun, Paul Biya, yang telah berkuasa sejak 1982, baru-baru ini terpilih kembali untuk masa jabatan ketujuh dengan perolehan suara lebih dari 70%.

Partai-partai oposisi menuduh bahwa pemungutan suara itu dicurangi, tetapi upaya hukum untuk membatalkan hasil pemilu menemui jalan buntu alias gagal.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.