Sukses

Australia Akan Usut Tuntas Kasus Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Liputan6.com, Canberra - Pemerintah Australia meresmikan tugas penyelidikan independen terhadap kasus pelecehan seksual di tempat kerja, yang merupakan pertama kalinya di dunia.

Diresmikan pada Rabu, 20 Juni 2018, penyelidikan independen tersebut akan dilakukan secara nasional. Jika dari penyelidikan itu terbukti ada suatu pelanggaran pidana, otoritas akan melimpahkan penanganannya berdasarkan aturan hukum yang berlaku.

Dikutip dari South China Morning Post pada Kamis (21/6/2018), Komisi Hak Asasi Manusia Australia (AHRC) mengatakan bahwa penyelidikan itu didorong oleh gerakan media sosial dengan tanda pagar (tagar) #MeToo, yang telah menyoroti secara luas pelecehan seksual dalam bisnis, hiburan dan politik.

Rencananya, penyelidikan independen yang bersifat nasional ini akan digelar selama 12 bulan ke depan, terhitung mulai bulan Juli nanti, yang terlebih dahulu difokuskan pada kota-kota besar di seantero wilayah Australia. 

"Di Australia, tidak perlu dipertanyakan lagi bagaimana kasus pelecehan seksual telah terjadi dalam enam atau delapan bulan terakhir. Respons pemerintah diharapkan bisa menjadi pelajaran penting untuk menemukan solusinya," ujar Kate Jenkins, Komisioner Diskriminasi Seks pada AHRC.

Nantinya, penyelidikan ini berfokus pada risiko keuangan yang dialami wanita korban pelcehan seksual di tempat kerja, di mana menurut Menteri Federal Australia untuk Isu Wanita, Kelly O`Dwyer, bisa menjadi bencana bersifat individu.

"Itu mungkin berarti dia (wanita) kehilangan pekerjaannya atau bisa juga berarti dia memutuskan untuk mencari pekerjaan lain, tetapi tidak bisa mendapatkan referensi dari mantan majikannya (akibat tuntutan terhadap pelecehan seksual)," kata O`Dwyer kepada Australian Broadcasting Corp.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Meluasnya Gerakan #MeToo

Josh Bornstein, kepala hukum ketenagakerjaan di Maurice Blackburn, mengatakan bahwa penyelidikan terkait akan menyoroti praktik hukum yang menghalangi akses laporan pribadi kepada AHRC.

"Seperti yang ditunjukkan oleh gerakan #MeToo, sering kali mendorong lebih banyak korban untuk berani mengungkapkan pelecehan seksual yang pernah dialaminya di tempat kerja," kata Bornstein dalam sebuah pernyataan.

Di sisi lain, Menteri Jenkins mengatakan bahwa hasil dari survei nasional --dirilis pada Agustus mendatang-- diperkirakan akan menunjukkan peningkatan laporan pelecehan seksual di tempat kerja.

Hak-hak wanita dalam menyuarakan pelecehan seksual yang dialami di lingkungan kerja, mulai menyeruak sejak tahun lalu. Kala itu, banyak selebritas dan sineas wanita mengaku sebagai korban pelecehan seksual oleh Harvey Weinstein, salah seorang tokoh penting di industri perfilman Hollywood.

Efek domino dari terkuaknya berbagai tindak pelecehan seksual oleh Weinstein, memicu kehadiran tagar #MeToo yang "cukup merajai lalu lintas" di media sosial.

Para penggerak utama gerakan #MeToo dianugerahi gelar "Person of the Year" oleh majalah berita kenamaan, Time, dalam salah satu edisinya di awal 2018 lalu.

Bersamaan dengan hal di atas, badan tenaga kerja PBB mengatakan pada awal bulan ini, bahwa pihaknya akan meranang perjanjian internasional untuk melindungi pekerja dari pelecehan dan kekerasan seksual.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.