Sukses

Kisah Algojo Turun-temurun dari Pakistan

"Aku tidak merasakan apa-apa," jawab si algojo bernama Sabir Masih saat ditanya soal perasaanya kala mengeksekusi mati.

Liputan6.com, Lahore - Sehari setelah Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif mencabut moratorium eksekusi mati yang berlaku sejak 2004, rumah Sabir Masih di Lahore dikelilingi oleh sekumpulan paparazzi.

Sabir yang berprofesi sebagai algojo belum pernah bertemu dengan reporter dan juru kamera sepanjang hidupnya. Saat moratorium masih berlaku, dia akan leluasa berbagi pandangan tentang hukuman gantung. Tapi, ia kini nyaris tidak punya waktu.

"Saat itu aku harus sampai di Faisalabad, pada 18 Desember malam tahun 2014 lalu. Karena sudah ada antrean 2 tersangka yang harus dieksekusi hukum mati esok harinya," kata Sabir mengingat pengalaman pertamanya sebagai algojo kepada BBC yang dikutip Kamis (6/8/2015).

Sabir lantas mengemas baju-bajunya ke dalam tas bahu kecil, lalu menyamar memakai baju perempuan milik adiknya untuk menghindari para wartawan yang telah menanti dirinya di luar pagar. Ia pun leluasa berjalan menuju halte bus.

Setelah turun dari bus di Faisalabad dan naik taksi ke penjara wilayah, Sabir harus menunjukkan tanda pengenal resminya --sebagai algojo-- untuk bisa melewati jalan yang diblokade tentara dan militer. Mereka berjaga-jaga agar tak ada serangan balasan dari pihak milisi.

Pada waktu yang bersamaan, petugas keamanan di Faisalabad membawa dua tahanan dari penjara kota yang tidak punya tiang gantungan ke penjara wilayah. Keduanya bukan tahanan biasa.

Mereka adalah Mohammad Aqeel alias dr Usman, pemimpin serangan ke markas tentara di Rawalpindi pada tahun 2009 yang mengakibatkan 20 orang tewas. Tahanan kedua adalah Arshad Mehmood, terpidana kasus upaya pembunuhan terhadap Presiden ke-10 Pakistan, Perves Musharraf.

Mereka berdua adalah mantan tentara dan anggota milis Pakistan. Aqeel dan Mehmood menjadi orang pertama yang dieksekusi di Pakistan dalam 7 tahun terakhir. Dan Sabir Masih adalah orang yang menggantung mereka.

Dicabutnya Moratorium

Ada sekitar 8 ribu antrean hukuman mati di Pakistan. Jumlah yang fantastis jika dibandingkan dengan negara mana pun di dunia.

Sejak Desember 2014 hingga kini sudah ada 200 orang dieksekusi mati, kebanyakan untuk kasus terorisme dan sebagian lainnya kasus pembunuhan.

Beberapa kasus di antaranya menyulut kontroversi. Seperti yang terjadi pada Selasa 4 Agustus 2015, saat Shafqat Hussain dieksekusi atas pembunuhan yang ia tidak pernah lakukan.

Pengacara Hussain berargumen bahwa ia masih anak-anak saat pembunuhan terjadi. Dan pengakuan didapatkan dari penyiksaan saat ia berada dalam tahanan.

Semenjak moratorium dicabut, Sabir mengatakan ia telah menggantung lebih dari 60 orang di lebih dari setengah lusin penjara di Propinsi Punjab. (Ia bukan algojo Shafqat Hussain yang dieksekusi di Karachi)

Secara keseluruhan, ia meyakini telah mengeksekusi lebih dari 200 orang sejak tahun 2007. Sebuah angka yang ia sebut tanpa nada penyesalan di suaranya.

Mungkin karena ia berasal dari keluarga Algojo di Pakistan. Seperti keluarga Pierrepoints dari Inggris, Sansons dari Prancis atau keluarga Mammu Jallad dari India.

"Menggantung orang adalah profesi yang mendarah daging di keluargaku," kata Sabir kepada BBC. "Ayahku seorang algojo. Ayahnya ayahku juga, begitu pun ayah kakekku, dan kakeknya lagi, sejak masa East India Company."

Leluhurnya yang paling terkenal adalah saudara laki-laki kakeknya, Tara Masih. Ia adalah orang yang mengeksekusi Perdana Menteri terpilih pertama, Zulfikar Ali Bhutto tahun 1979.

Zulfikar Ali Bhutto Perdana Menteri terpilih pertama yang dieksekusi hukuman mati (BBC)

Tara Masih harus terbang dari Bahawalpur ke Lahore untuk menggantung Bhutto karena ayah dan sepupu Sabir tidak mau menggantung pemimpin yang sangat populer itu.

Sabir juga bercerita bahwa kakeknya, Kala Masih, menggantung mati Bhagat Singh, seorang sosialis revolusioner dan pahlawan pergerakan anti India tahun 1931.

Namun, untuk kasus satu ini, keluarga Mammu Jallad dari India mengklaim bahwa Bhagat Singh digantung oleh Ram Rakha, kakek Mammu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pekerjaan Turun-Temurun

Pekerjaan turun-temurun yang digeluti Sabir Masih membuatnya sering dikejar-kejar wartawan. Para pemburu berita itu ingin tahu bagaimana kisah ia menjadi algojo.

Ia kerap dibanjiri pertanyaan seperti, "Apakah kamu bisa tidur di malam hari sebelum besok kau menggantung mati seseorang?" atau "Apakah kamu mimpi buruk sesudahnya?" "Apa rasanya setelah menggantung korban pertama?" "Bagaimana pendapat keluarga dan teman terhadap profesimu ini?"

"Aku tidak merasakan apa-apa," jawabnya datar.

"Ini adalah pekerjaan keluarga. Ayahku mengajariku bagaimana menyimpulkan tali untuk menggantung seseorang, dan ia juga mengajakku menyaksikan beberapa proses eksekusi sebelum aku direkrut."

Eksekusi perdana Sabir dilakukan pada Juli 2007.

"Yang buat aku gugup adalah apakah taliku sudah terikat dengan baik atau tidak. Tapi wakil kepala penjara mengatakan agar aku tak perlu khawatir dengan hal itu."

"Ia menyuruhku untuk mengecek dengan membuat ikatan lalu melepas ikatan beberapa kali sebelum eksekusi. Saat sipir memberi tanda untuk menarik tuas, aku hanya fokus ke sipir, tidak pernah lihat si terpidana yang jatuh lewat pintu di bawahnya.

Situasinya kurang lebih sama seperti sekarang.

Si tahanan akan dibacakan kesalahannya oleh panitera. Mereka diminta mandi dan dibolehkan didampingi oleh pemuka agama lalu digiring ke panggung eksekusi oleh penjaga.

"Satu-satunya kekhawatiranku adalah mempersiapkan mereka, setidaknya 3 menit sebelum digantung," kata Sabir Masih.

"Aku harus melepas sepatunya, menutup kepala mereka lalu mengikat tangan dan kakinya. Kemudian memastikan simpul ikatan tali gantungan yang diletakan di bawah telinga mereka, dan menunggu aba-aba sipir kapan tuas harus aku tarik."

Tidak ada terapi psikologis baik sebelum atau sesudah eksekusi untuknya. Juga tidak ada batasan berapa orang yang harus dia eksekusi.

Namun, kata Sabir, semua itu tidak perlu. (Rie/Tnt)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.