Sukses

Punya Satu Murid Autis, Guru Privat Ini Tak Sangka Bisa Jadi Terapis

Lima tahun lalu Naomi Novita terjun ke dunia terapis anak autis dan down syndrome. Perempuan asal Tangerang Selatan ini mengaku tak menyangka akan menjalani pekerjaan tersebut.

Liputan6.com, Jakarta Lima tahun lalu Naomi Novita terjun ke dunia terapis anak autis dan down syndrome. Perempuan asal Tangerang Selatan ini mengaku tak menyangka akan menjalani pekerjaan tersebut.

“Saya bekerja sebagai guru privat bahasa Inggris di satu sekolah internasional. Salah satu murid saya menyandang autisme, kemudian maminya nawarin untuk jadi terapis anak itu,” ujar Naomi ketika ditemui di Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (4/3/2020).

Ibu dari murid autis tersebut membawanya terbang ke Singapura untuk pelatihan. Dari sana ia mendapatkan berbagai ilmu dalam menangani anak autis dan down syndrome serta mendapat sertifikat terapis.

Untuk menjalani pelatihan itu, Naomi dibiayai sepenuhnya oleh pihak keluarga sang murid. Setiap tiga bulan sekali perempuan 41 tahun ini diberi modul untuk menangani anak tersebut.

“Setiap tiga bulan saya buat laporan, dokter yang menangani anak ini datang ke sini atau saya yang ke sana bersama anak dan maminya itu. Setelah lima tahun, Alhamdulillah perkembangannya jauh.”

Tak hanya terapi, Naomi juga bertanggung jawab untuk memberikan pengajaran akademis. Senin sampai Jumat, ia melakukan terapi selama 2 sampai 3 jam per hari.

“Setelah itu, rekan-rekan mami si anak melihat perkembangan itu. Mereka juga meminta bantuan untuk melakukan terapi pada anak-anak mereka.”

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Terapi Harus Berkelanjutan

Sebelum terapi, anak autis usia 3,5 yang ditanganinya tidak dapat berbicara sama sekali. Pandangan matanya tidak fokus, sering tantrum, guling-guling, dan tidak dapat diajak mengobrol.

“Selain terapi bersama saya, dia juga pergi ke gym. Untuk melatih motorik halus dan kasarnya, kita bantunya dengan pergi ke beberapa tempat.  Tapi untuk terapi bicara, okupasi, termasuk motorik halus dan kasar itu dari saya.”

Hingga kini, Naomi memiliki tiga anak untuk diterapi. Salah satu dari mereka sudah pindah ke Singapura. Terapi sendiri dilakukan di rumah masing-masing untuk mengefektifkan waktu.

“Rata-rata untuk tempat terapi di Jakarta tergolong langka dalam arti cocok-cocokan. Beberapa rumah terapi juga biasanya menolak untuk melakukan terapi karena udah gak bisa di usia tertentu. Orang tua murid sempat ditolak satu dua rumah terapi jadi memutuskan untuk memilih terapis pribadi.”

Menurutnya, terapi idealnya dilakukan pada usia 1,5. Sedang di usia 3,5 sudah dianggap terlambat. “Tapi kalau kita latihan tiap hari dibantu suster dan orang tua itu masih mungkin. Jadi harus berkelanjutan jangan berhenti.”

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.