Sukses

KOLOM BAHASA: Kata-Kata yang Hilang, Jati Diri yang Hilang

Pertahankan identitasmu. Sebab, bahasa adalah bagian dari jati diri. Selama ini banyak yang tak sadar bahwa bahasa terkait jati diri. Jika bahasa itu punah, maka jati dirimu ikut punah.

Liputan6.com, Jakarta - Kata-kata akan datang dan pergi seperti manusia. Tidak hanya manusia yang berevolusi, kata-kata juga. Evolusi, seperti disebutkan Jack Turner dalam esainya berjudul “Another Extinction: Words We Use to Describe the Natural World”, menyebabkan kepunahan.

Bukan saja kepunahan spesies dan subspesies, tapi juga kepunahan bahasa dan kosakata. Salah satunya perbendaharaan kosakata yang menggambarkan alam dan bentang alam. Bahasa dan kata-kata selalu berkembang sesuai kebutuhan penuturnya.

Dalam perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional beberapa waktu yang lalu, Badan Bahasa menyoroti pentingnya pelestarian bahasa daerah sebagai sarana potensi kemajuan bangsa. Sesuatu yang agak membingungkan sebenarnya karena jumlah bahasa daerah yang berstatus aman cenderung semakin berkurang setiap tahun. UNESCO sendiri memprediksi sekitar 50 persen bahasa daerah di dunia akan punah.

Padahal, seperti kita sadari, kepunahan bahasa daerah akan terus menjadi hal yang tak terelakkan. Kamus bahasa daerah bisa saja terus dibuat, diskusi dan simposium mengenai kepunahan bahasa mungkin terus dilakukan, penelitian terus dilakukan oleh para ahli linguistik. Namun, jika masyarakatnya sendiri sudah enggan menggunakan bahasa daerahnya, apa yang bisa diperbuat?

Yang tinggal hanyalah catatan bahwa sejumlah perbendaharaan kata dan bahasa itu pernah hidup, sebelum akhirnya mati. Bersama itu pula, lenyap semua kekayaan budaya berupa istilah, legenda, puisi, maupun pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Keengganan Pakai Bahasa Daerah

Pada saat ini, bukan hal yang aneh lagi jika mendengarkan di bagian timur Indonesia ada bahasa yang hanya dikuasai oleh segelintir orang saja, bahkan tak lebih dari seluruh jari-jari di kedua belah tangan dikumpulkan.

Di kalangan generasi milenial pun sudah timbul keengganan menggunakan bahasa daerah. Penyebabnya muncul dari dalam keluarga, yakni bahasa yang digunakan pertama kali (bahasa ibu) bukanlah bahasa daerah. Akibat perkawinan campur, banyak keluarga yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, dan bahkan bahasa asing sebagai bahasa ibu. Penyebab lainnya, perasaan rendah diri menggunakan bahasa daerah.

Di lingkungan kebudayaan saya pun, yakni Betawi, sudah banyak kosakata yang punah dan tak diketahui generasi masa kini. Salah satunya kundur. Abdul Chaer, ahli bahasa Betawi, dalam diskusi di Bentara Budaya Jakarta beberapa waktu lalu menyebut, kundur adalah semacam buah yang pernah ditemukan dengan mudah di wilayah Jakarta. Namun, karena buahnya tidak ada dan sudah tidak bisa ditemukan lagi, maka kosakatanya pun hilang.

Kundur bukan satu-satunya kata dalam bahasa Betawi yang hampir punah. Seteleng (rak piring), pelengan (pelipis), user-user atau mbun-mbunan (pusaran rambut), lak-lakan (tenggorokan), dan mendek (tiarap) juga merupakan kata-kata yang sudah jarang terdengar di lingkungan masyarakat Kota Jakarta. Kondisi tersebut amat dipengaruhi perubahan sosial-ekonomi Kota Jakarta.

Yahya Andi Saputra, budayawan Betawi, memberi contoh ada pula kata ngegaru (menggemburkan tanah dengan garu), ngeglibag, tipar (huma/ladang padi), dan silak yang terkait dengan istilah pertanian di masyarakat Betawi. Namun kini, kosakata itu pun hampir tak dikenal. Sebab, siapakah misalnya kini di Jakarta yang melihat adanya lahan pertanian? Kalaupun ada, luasnya juga tak seberapa.

Memang isu kepunahan bahasa bukanlah isu yang hanya identik di Indonesia. Persoalan ini menimpa hampir seluruh dunia, sementara upaya revitalisasi yang dilakukan belum memperlihatkan hasil-hasil yang menggembirakan. Sampai saat ini, pihak Badan Bahasa baru berhasil membangun kesadaran, sementara upaya komitmen kuat itu masih diletakkan kepada penutur bahasanya sendiri.

 

3 dari 3 halaman

Politik Diskriminasi Bahasa

Masalah lain, politik diskriminasi bahasa masih terjadi. Di wilayah Bekasi yang notabene sebagian besar penduduknya berbahasa Betawi, justru di sekolah mereka diajarkan berbahasa Sunda. Ini akan menjadi masalah karena mempelajari bahasa yang bukan identitasnya hanya akan menimbulkan keterpaksaan dan tak menghasilkan generasi yang lincah berbahasa daerah. Mereka justru semakin terombang-ambing sebagai masyarakat yang hidup di daerah perbatasan antara Jakarta dan Jawa Barat.

Selain itu, adanya perbedaan dialek juga menimbulkan kerumitan tersendiri dalam upaya pengajaran bahasa. Bagaimana membedakan antara bahasa Jawa dialek Cirebon, Indramayu, atau bahkan Banten? Penutur di wilayah tersebut tentu tak mau disamaratakan bahasanya.

Namun, jika dipandang dari sisi yang lain, bukankah itu yang indah? Sebab, apa jadinya jika bahasa yang digunakan di Negara Republik Indonesia ini seragam? Saya kira, tentu akan menjadi sangat membosankan dan tak menarik.

Sebagai penutup, Multamia Lauder, ahli bahasa, pernah berkata, “Pertahankan identitasmu. Sebab, bahasa adalah bagian dari jati diri. Selama ini banyak yang tak sadar bahwa bahasa terkait jati diri. Jika bahasa itu punah, maka jati dirimu ikut punah.”

 

*Fadjriah Nurdiarsih, pemerhati budaya Betawi

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini