Liputan6.com, Jakarta Harga emas terus mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah. Per hari ini, Senin (14/4/2025), harga emas Antam dipatok sebesar Rp 1.896.000 per gram. Sebelumnya, rekor harga tertinggi emas Antam sempat mencapai Rp 1.904.000 per gram.
Analis Emas Ibrahim Assuaibi, mengatakan harga emas dunia kembali menunjukkan tren kenaikan yang signifikan, dipicu oleh berbagai faktor global yang saling berkaitan.
Baca Juga
Bukan lagi sekadar persoalan perang dagang seperti tahun-tahun sebelumnya, kini kombinasi geopolitik, kebijakan moneter, dan kondisi makroekonomi global turut andil dalam mendorong nilai emas sebagai aset safe haven.
Advertisement
"Kalau sebelumnya emas dunia naik itu disebabkan oleh perang dagang, tapi sekarang sudah semuanya. Bukan lagi perang dagang, tetapi geopolitik, kemudian penurunan suku bunga, inflasi rendah. Ini yang membuat harga emas dunia terbang kemungkinan besar," kata Ibrahim kepada Liputan6.com, Senin (14/4/2025).
Salah satu pemicu utama yang mendorong harga emas melambung adalah melemahnya indeks dolar AS di bawah level 100 adalah ekspektasi penurunan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat.
Awalnya, pasar memperkirakan The Fed akan menurunkan suku bunga sebanyak tiga kali dalam tahun ini. Namun, dengan kondisi inflasi yang terus menurun, kini diperkirakan pemangkasan suku bunga bisa terjadi lebih dari tiga kali. Hal inilah yang menjadi pendorong utama melonjaknya harga emas dunia.
"Ekspetasinya tadinya adalah 3 kali dalam tahun ini, bisa saja lebih dari 3 kali. Nah inilah fenomena ini yang membuat indeks dolar itu melemah di bawah 100. Itu yang membuat harga emas dunia terbang," ujarnya.
Geopolitik Memanas di Dua Kawasan Strategis
Lebih lanjut, Ibrahim menjelaskan bahwa situasi geopolitik yang memanas, terutama di Timur Tengah dan Eropa, semakin memperkuat posisi emas sebagai instrumen yang aman.
Di Timur Tengah, Israel terus melakukan penyerangan terhadap Jalur Gaza dan mengesampingkan upaya gencatan senjata. Laporan dari PBB menyebutkan bahwa Israel tidak hanya berencana menguasai wilayah Palestina, tetapi juga sebagian wilayah Jordania dan Suriah. Kondisi ini menuai kecaman global dan meningkatkan ketegangan regional.
Sementara itu, di Eropa, konflik antara Rusia dan Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Bantuan militer dari negara-negara Barat seperti Inggris dan Prancis kepada Ukraina terus mengalir, sementara Rusia didukung oleh negara-negara seperti Tiongkok dan Korea Utara.
Ketakutan akan lemahnya NATO tanpa dukungan penuh dari Amerika Serikat membuat Uni Eropa menginstruksikan penerapan wajib militer. Ancaman invasi Rusia terhadap negara-negara anggota Uni Eropa menjadi kekhawatiran nyata.
"Nah ini situasi ini yang membuat kondisi geopolitik terus memanas," ujarnya.
Â
Perang Dagang Masih Membayangi
Meskipun tidak lagi menjadi isu utama, perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok masih memiliki pengaruh terhadap dinamika ekonomi global.
Kata Ibrahim, sejak masa kampanye, mantan Presiden AS Donald Trump gencar menggaungkan isu ini, dengan alasan defisit perdagangan yang signifikan antara AS dan Tiongkok. Penerapan tarif impor tinggi oleh AS ditujukan untuk memaksa negosiasi demi menyeimbangkan neraca perdagangan.
Namun, negara-negara yang terdampak seperti Tiongkok, Eropa, Kanada, dan Meksiko memilih untuk melawan kebijakan tersebut. Tiongkok, yang memegang sekitar 60–65% yield obligasi AS, berpotensi melepas kepemilikannya jika ketegangan terus meningkat.
"Sehingga pada saat Trump menerapkan biaya impor dan biaya impor tambahan maka Tiongkok kemungkinan Eropa mereka pasti akan menjual obligasinya. Sehingga obligasi Amerika itu harga seperti kacang. Nah ini yang membuat perang dagang semakin sengit karena ada perlawanan dari Tiongkok," jelasnya.
Â
Advertisement
Pasar Obligasi AS
Langkah ini tentu akan berdampak pada pasar obligasi AS dan memperburuk ketegangan dagang. Sebagai antisipasi, Tiongkok telah menyiapkan stimulus sebesar 3,4 triliun yuan guna menstabilkan sektor manufakturnya.
Disis lain, faktor yang mempengaruhi emas makin diminati adalah data inflasi Amerika yang dirilis pekan lalu menunjukkan penurunan dari 3% menjadi 2,5%.
Penurunan ini menjadi indikasi bahwa perang dagang tidak berdampak besar terhadap tekanan inflasi. Bahkan, kondisi ini membuka peluang bagi Bank Sentral AS untuk lebih agresif dalam menurunkan suku bunga, yang pada akhirnya mendongkrak harga emas.
"Ini pun juga membuat harga emas ini sebagai safe haven, lindung nilai di cari-cari masyarakat," pungkasnya.