Sukses

Ada Keterlibatan Asing di Konflik Pulau Rempang?

Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengungkapkan, sebagian warga di Rempang sudah lama tinggal di pulau tersebut, sementara sebagian lainnya baru datang di atas 2004.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengungkapkan beberapa dugaan isu yang memicu terjadinya konflik pembebasan lahan di Pulau Rempang, Batam untuk proyek Eco City.

"Pertama, karena sosialisasinya belum berjalan baik. Harus diakui. Kemarin Bapak Presiden (Presiden) sudah memerintahkan kepada saya untuk turun langsung, yang juga merupakan tanggung jawab (saya) sebagai menteri,” ujar Bahlil dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR RI yang disiarkan secara daring pada Rabu (13/9/2023).

Bahlil menceritakan, dia pernah mengunjungi langsung kawasan Rempang, di mana ia berbincang dengan warga setempat dan akhirnya mendapat solusi yaitu pembangunan Rumah tipe 45 dan biaya Rp 120 juta.

Namun, konflik kemungkinan terjadi karena komunikasi dan sosialisasi yang belum berjalan baik, baik antara pemerintah setempat maupun masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut.

Bahlil mengungkapkan, sebagian warga di Rempang sudah lama tinggal di pulau tersebut, sementara sebagian lainnya baru datang di atas 2004.

Wali kota setempat kemudian mengeluarkan surat edaran untuk tidak lagi mengeluarkan izin untuk warga baru yang akan tinggal di sana. Dengan demikian, tanah yang ditinggali warga baru tersebut memang dikuasai negara melalui BP Batam.

“Saya duduk di kantor kecamatannya, dan saya menemui warga yang datang. Apa yang terjadi di sana? Menurut data Pemda Kota Batam, yang saat itu disampaikan langsung oleh walikota, bahwa sebagian rakyat di sana sudah turun temurun sudah (tinggal) di sana. Namun tidak bisa kita (sampingkan) juga ada warga yang baru, mereka datang setelah 2004,” jelas Bahlil.

“Kalau penggusuran itu kan barang yang sudah dimiliki kemudian diambil, tapi kalau bukan itu artinya kita relokasi mereka. Ini cari yang baik-baik,"

Izin 6 Perusahaan

Adapun biaya tunggu Rp 1.030.000 yang rencananya akan dinaikkan.

Isu lainnya, Bahlil menyebut, terdapat permasalahan terkait perizinan pada 6 perusahaan.

“Dimana izin perusahaan-perusahaan itu setelah ditengarai, diusut-usut terjadi kekeliruan prosedur. Maka kemudian dicabut (izinnya),” bebernya.

Ada Asing

Ada juga dugaan keterlibatan asing dalam konflik tersebut, mengingat rencana besar pemerintah dalam membangun proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City.

“Tidak semua negara itu senang jika (PSN) ini jalan. Dulu waktu zaman BP batam dibuat untuk menjadikan kawasan untuk mengimbangi Singapura, apa yang terjadi sekarang? Harusnya kita berpikir ada apa dibalik ini semua. Setiap kita mau bangun besar di sana, ada saja,” pungkas Bahlil Lahadalia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Menteri ATR: Warga Pulau Rempang Tak Punya Sertifikat Lahan Tempat Tinggal

Sebelumnya, konflik lahan di Pulau Rempang mulai menjadi perhatian banyak pihak. Hal ini lantaran warga terlibat bentrok dengan aparat kepolisian mengenai rencana relokasi warga Pulau Rempang.

Sebagian besar warga menyatakan penolakan relokasi. Meski sebenarnya pemerintah berjanji sudah menyiapkan lokasi hunian yang lebih layak dan memiliki sertifikat.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto menegaskan bahwa lahan tinggal sebagai pemicu kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU).

"Jadi, masyarakat yang menempati Pulau Rempang itu tidak ada sertifikat karena memang dulu, semuanya ada di bawah otorita Batam," ujar Hadi melansir Antara, Selasa (13/9/2023).

Kawasan Hutan

Hadi menjelaskan, lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco City seluas 17 ribu hektare ini merupakan kawasan hutan dan dari jumlah itu, sebanyak 600 hektare merupakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Hadi mengatakan, sebelum terjadi konflik Pulau Rempang, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat.

 

3 dari 3 halaman

50 Persen Warga Setuju Relokasi

Menurutnya, hampir 50 persen dari warganya menerima usulan yang telah disampaikan. Pemerintah telah menawarkan untuk mencarikan tempat tinggal baru atau relokasi yang disesuaikan dengan kehidupan masyarakat yakni sebagai nelayan.

Hadi menyampaikan bahwa pemerintah juga menyiapkan Hak Guna Bangunan (HGB) pada lahan seluas 500 hektare yang lokasinya dekat dengan laut untuk memudahkan dalam mencari nafkah.

"Dari 500 ha itu akan kami pecah-pecah dan langsung kami berikan 500 meter dan langsung bersertifikat. Di situ pun, kita bangun sarana untuk ibadah, pendidikan dan sarana kesehatan," kata Hadi Tjahjanto .

Kementerian ATR/BPN juga menggandeng Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk membangun dermaga untuk para nelayan. Selama proses pembangunan, pemerintah akan memberikan biaya hidup per keluarga dan dicarikan tempat tinggal.  

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.