Sukses

Uang Beredar di Indonesia Tembus Rp 8.300 Triliun per Februari 2023

Uang beredar pada Februari 2023 tercatat sebesar Rp 8.300,0 triliun atau tumbuh 7,9 persen (yoy). Perkembangan tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan uang beredar dalam arti sempit (M1) sebesar 6,6 persen (yoy).

Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) melaporkan, likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) pada Februari 2023 tetap tumbuh positif. 

Posisi M2 pada Februari 2023 tercatat sebesar Rp 8.300,0 triliun atau tumbuh 7,9 persen (yoy). Perkembangan tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan uang beredar dalam arti sempit (M1) sebesar 6,6 persen (yoy).

"Perkembangan M2 pada Februari 2023 terutama didorong oleh perkembangan aktiva dalam negeri bersih. Perkembangan aktiva dalam negeri bersih tumbuh sebesar 8,2 persen (yoy), setelah bulan sebelumnya tumbuh 8,7 persen (yoy), sejalan dengan perkembangan modal dan tagihan lainnya kepada sektor swasta," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (24/3/2023).

Di sisi lain, penyaluran kredit pada Februari 2023 tumbuh sebesar 10,4 persen (yoy), setelah tumbuh 10,2 persen pada bulan sebelumnya sejalan dengan perkembangan kredit produktif maupun konsumtif.

Sementara itu, tagihan bersih kepada Pemerintah Pusat (Pempus) terkontraksi sebesar 19,6 persen (yoy), setelah terkontraksi sebesar 20,5 persen (yoy) pada Januari 2023.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kurs Rupiah Hari Ini 24 Maret 2023 Perkasa ke 15.169 per Dolar AS

Nilai tukar (kurs) rupiah menguat jelang akhir pekan seiring Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed mengindikasikan kebijakan moneter yang tidak terlalu agresif.

Rupiah pada Jumat pagi dibuka naik 176 poin atau 1,15 persen ke posisi 15.169 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.345 per dolar AS.

"Rupiah berpeluang menguat terhadap dolar AS karena The Fed mengindikasikan kebijakan pengetatan yang tidak terlalu agresif pada pengumuman keputusan kebijakan moneternya di Kamis dini hari kemarin," kata pengamat pasar uang Ariston Tjendra dikutip dari Antara, Jumat (24/3/2023).

Ariston menuturkan pasar sekarang berekspektasi mungkin suku bunga acuan AS tidak akan dinaikkan pada rapat berikutnya dan mungkin hanya naik satu kali lagi tahun ini.

The Fed menaikkan suku bunga acuannya 25 basis poin pada Rabu (22/3/2023), tetapi menghilangkan bahasa tentang "peningkatan yang sedang berlangsung" yang diperlukan untuk mendukung "beberapa kenaikan tambahan".

Kenaikan The Fed penting mengingat bahwa pasar keuangan telah bergolak oleh kepercayaan yang goyah terhadap bank-bank secara global menyusul penarikan dana besar-besar di Silicon Valley Bank di AS dua minggu lalu dan kematian mendadak Credit Suisse di Swiss.

Menurut Ariston, krisis perbankan di AS yang sedang berlangsung menjadi faktor dari kebijakan yang tidak agresif tersebut. Tiga bank di Amerika Serikat (AS) ditutup, yakni Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate Bank, dan Signature Bank.

Krisis Perbankan

Tapi di sisi lain, krisis perbankan itu memicu kehati-hatian pelaku pasar untuk masuk ke aset berisiko. Pasar masih mencermati perkembangan krisis tersebut, apakah pemerintah yang bersangkutan bisa mengatasinya atau krisis malah menyebar ke berbagai negara.

"Kehati-hatian ini bisa mendorong pelemahan aset berisiko seperti rupiah," ujarnya.

Ia memperkirakan kurs rupiah berpeluang menguat ke arah Rp15.300 per dolar AS dengan potensi resisten di sekitar Rp15.380 per dolar AS.

Pada Selasa (21/3) kurs rupiah ditutup naik 15 poin atau 0,10 persen ke posisi 15.345 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.360 per dolar AS.

3 dari 3 halaman

Apa Kabar Redenominasi Rupiah? Ternyata Sudah Diterapkan di Cafe hingga Pedagang Soto

Wacana redonominasi mata uang Rupiah tak kunjung menemui titik terang. Padahal, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 yang salah satunya menjelaskan tentang Rancangan Undang-undang tentang Redenominasi Rupiah.

Nantinya, penyederhanaan rupiah dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol di belakang. Misalnya mata uang pecahan Rp 1.000 menjadi Rp 1.

Melansir dari laman djkn.kemenkeu.go.id, redenominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan/atau jasa.

Secara teknis, uang yang sudah diredenominasi jumlah angkanya akan mengecil tapi nilainya tetap sama. Misalnya dalam pecahan uang Rp10.000, maka tiga angka di belakang akan dihilangkan, penulisannya berubah Rp10 saja dan nilai uang masih sama dengan sepuluh ribu rupiah.

"Jika kita biasanya membeli susu seharga Rp10.000 per kaleng, setelah redenominasi rupiah, maka harga tersebut berubah Rp10 per kaleng," jelas Kemenkeu dikutip, Selasa (21/3/2023).

Sudah DiterapkanJika melihat fenomena di masyarakat saat ini, tanpa disadari sebenarnya masyarakat secara tidak langsung telah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal. Jika kita berjalan-jalan di mal, restoran, cafe, atau bioskop, terpampang daftar harga/tarif dengan embel-embel “K” dibelakang digitnya.

Contohnya untuk menu nasi soto ayam dengan harga Rp30.000 per porsi hanya dicantumkan 30 K saja. ‘K’ di sini memiliki arti umum kelipatan seribu. Atau sekantong popcorn di Bioskop seharga Rp 42.000 hanya dicantumkan 42 K saja.

"Bahkan di pasar-pasar tradisional kalau kita perhatikan, transaksi antara pedagang dan pembeli juga sudah mulai sederhana dalam penyebutan nominal rupiah saat tawar-menawar. Misalnya, pedagang buah menawarkan sekilo jeruk dengan harga Rp30.000, dan pembeli menawarnya hanya menyebut 20 saja yang artinya Rp20.000 per kilogram," tulis Kemenkeu.

Dari fenomena tersebut, tanpa disadari, sebetulnya masyarakat secara tidak langsung sudah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal. Artinya selama ini tidak ada ketentuan resmi dari otoritas moneter Bank Indonesia, namun masyarakat sudah biasa melakukannya dalam transaksi dan pencatatan rupiah sehari-hari.  

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.