Sukses

Fakta-Fakta Temuan PPATK, Cuci Uang Buat Danai Pemilu hingga Donasi Gempa Mengarah ke Terorisme

PPATK juga menemukan ada aliran dana dari kasus korupsi di lingkungan koperasi. Sebut saja yang menyangkut koperasi simpan pinjam (KSP) Indosurya.

Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan sejumlah dana yang mengalir dari tindak pidana korupsi ke tindak pidana pencucian uang (TPPU). Jumlahnya mencapai ratusan triliun hingga 2022.

Angka yang jadi temuannya ini sekitar Rp 183 triliun untuk aliran dana korupsi saja atas temuan dan laporan yang diterima PPATK. Dana ini disinyalir digunakan untuk memperkaya pribadi oknum pelaku korupsi.

Tak berhenti di situ, PPATK juga menemukan adanya aliran dana hasil TPPU untuk mendanai pemilu. Nyatanya, hal ini tak cuma terjadi kali ini. Menurut pantauan PPATK, hal ini kerap terjadi di beberapa pemilu sebelumnya.

Angka pasti potensi pendanaan pemilu itu belum diungkap. Hanya saja, taksirannya mencapai triliunan rupiah. Ada berbagai sumber dana yang diainyalir dari kegiatan ilegal untuk pendanaan pemilu ini.

Indosurya

Selanjutnya, PPATK juga menemukan ada aliran dana dari kasus korupsi di lingkungan koperasi. Sebut saja yang menyangkut koperasi simpan pinjam (KSP) Indosurya. Angka yang melibatkan KSP sejak 2020-2022 mencapai Rp 500 triliun.

Khusus untuk Indosurya, angkanya ditaksir triliunan. Mengingat ada puluhan nasabah di berbagai bank, dan tercatat ada belasan bank. Tak berhenti disitu, aliran dana ke luar negeri juga ditemukan oleh PPATK sebagai bagian dari kasus KSP Indosurya tersebut.

Bencana 

Lebih parah lagi, ada penyelewengan dana donasi bencana. Salah satunya terkait dengan dana untuk penanganan bencana gempa bumi Cianjur yang terjadi di 2022 lalu.

Menurut temuan PPATK, dana donasi itu diselewengkan untuk memperkaya diri sendiri. Mulai dari pembelian pesawat jet, kapal yacht, hingga pembiayaan operasi plastik.

Berikut fakta-fakta temuan PPATK yang dirangkum Liputan6.com berdasarkan Rapat Kerja PPATK dengan Komisi III DPR RI:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Pembiayaan Pemilu

PPATK menemukan aliran dana hasil dari tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang digunakan untuk pembiayaan pemilu. Kabarnya, temuan ini juga terjadi sejak beberapa periode pemilu yang telah dilakukan.

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menegaskan kalau potensi penggunaan dana TPPU itu sudah dikantongi pihaknya. Bahkan, secara berkala juga sudah dilakukan pelaporan ke DPR RI maupun ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Itu sudah kita lakukan riset juga dengan KPU dan Bawaslu, alhamdulillah hasilnya emmang kita melihat potensi itu ada, dan faktanya memang potensi itu ada," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI, Selasa (14/2/2023).

Ivan menjelaskan, temuan ini juga sejalan dengan kasus-kasus yang ditangani baik pleh PPATK ataupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Temuan itu juga berdasar pada kajian yang dilakukan PPATK beberapa waktu sebelumnya.

"Faktanya memang memiliki korelasi dengan temuan PPATK pada saat PPATK melakukan kajian pada saat yang bersangkutan dan oknum tertentu itu mengikuti kontesatasi politik periode-periode sebelumnya," sambungnya.

Kendati begitu, Ivan enggan menyebut berapa angka dana hasil TPPU yang digunakan untuk mendanai kontestasi politik tersebut. Namun, taksirannya mencapai triliunan rupiah.

Gandeng Bawaslu dan KPU

Pada kesempatan itu, Ivan menegaskan kalau pihaknya menjalin Bawaslu dan KPU dalam menangani perkara tersebut. Beberapa diantaranya mengenai temuan-temuan dari PPATK.

"Terkait dengan isu pada saat acara dengan Bawaslu dan KPU, kita ada kerja sama dengan Bawaslu dan KPU, ini sudah berlamgsung beberapa tahun di beberapa kali putaran pemilu di periode sebelumnya," kata dia.

"Dan sudah kami seirng laporkan ke forum terhormat ini (DPR RI) dan sudah juga kami buka bagaiamana PPATK aktif kerja sama dengan Bawaslu dan KPU terkait bagaimana potensi TPPU ini agar tidak menjadi bagian dari bagian pendanaan pemilu," tambah Ivan.

 

3 dari 5 halaman

Dana Hasil Korupsi

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengendus adanya transaksi diduga terkait tindak pidana mencapai total Rp 183,8 triliun sepanjang 2022. Transaksi tersebut antara lain terkait uang hasil korupsi dan judi.

Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana mengatakan pihaknya pun telah memberikan hasil analisis dan pemeriksaan dari berbagai tindak pidana terkait dengan pengungkapan pencucian uang.

Di mana, sepanjang 2022 PPATK telah menyampaikan 1.290 laporan hasil analisis terkait dengan 1.722 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM).

Dari total Rp 183,8 triliun antara lain terdiri dari tindak Pidana korupsi senilai Rp 81,3 triliun. Kemudian Tindak Pidana Perjudian senilai Rp 81 triliun.

Selain itu Tindak Pidana terkait GFC senilai Rp 4,8 triliun, Tindak Pidana Narkotika senilai Rp 3,4 triliun, Penggelapan dana dalam Yayasan Rp 1,7 triliun. Sisanya dari berbagai tindak pidana lain yang nilainya di bawah beberapa hal di atas

Secara total, dia menyebut PPATK menerima 27.816.771 laporan transaksi kurun 2022."Saat ini PPATK menerima 50 ribu transaksi per jam," jelas dia saat rapat kerja dengan DPR, Selasa (14/2/2023).

24 Juta Laporan

Ini terdiri dari 24.202.819 Laporan Transfer dari dan ke Luar Negeri (LTKL). Kemudian 90.742 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM), 90.799 Laporan Transaksi Penyedia Barang dan Jasa, 3.431.107 Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) dan 1.304 Laporan Penundaan Transaksi (LPT).

Dia juga mengatakan jika PPATK telah berkontribusi pada penerimaan negara dari denda sebesar denda Rp 1,65 milir, uang pengganti Rp 13,9 miliar dan SGD 1,09 juta.

"PPAT juga berkontribusi pada penerimaan negara sektor pajak melalui hasil analisis dan pemeriksaan ke dirjen pajak Rp 7,4 triliun lebih sesuai dengan ketetapan dari dirjen pajak," dia menandaskan.

 

4 dari 5 halaman

Dana Pencucian Uang di Kasus KSP Indosurya

Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya aliran dana hasil pencucian uang dalam kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya. Jumlahnya bisa diperkirakan hingga triliunan rupiah.

Angka ini ditaksir mengingat ada sekitar dana Rp 500 Triliun yang mengalir terkait kasus KSP, sejak 2020-2022, termasuk Indosurya. Dengan jumlah nasabah dan belasan bank, angka triliunan jadi angka yang tidak mustahil terkait dengan kasus KSP Indosurya.

"PPATK menemukan dalam 2020-2022 saja ada 12 KSP dengan dugaan TPPU, jumlah dana secara keseluruhan melebihi Rp 500 triliun kalau bicara koperasi (secara keseluruhan)," kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI, Selasa (14/2/2023).

"Indosurya, masif kita dampaikan ke kejaksaan kami sudah beberapa kali sampaikan ke kejaksaan terkait Indosurya. Artinya dari PPATK memang (menemukan) terjadi pencucian uang, itu angkanya memang luar biasa besar dari 1 bank saja (ada) nasabah 40 ribu nasabah, dari 1 bank saja, kita punya sekian belas bank," sambungnya.

Mengalir ke Luar Negeri

Dia menjelaskan, selain dari TPPU yang ditemukan, ada hal lain yang jadi perhatiannya. Sebut saja, adanya aliran dana ke luar negeri dari kasus yang sama tersebut. Ivan menegaskan kalau aliran dana itu lebih dekat dengan skema ponzi.

"Jika ditanyakan ada aliran ke luar negeri, ya PPATK mengikuti aliran ke luar negeri tapi ini memang alirannya sederhana skemanya ponzi," urainya.

Skema ponzi yang dimaksud adalah, KSP kerap menunggu modal baru dengan banyaknya nasabah dari KSP yang terkait, termasuk Indosurya.

Dipakai Beli Jet Hingga Operasi Plastik

Lebih lanjut, Ivan menerangkan penggunaan dana-dana tersebut. Nyatanya, dana tidak langsung digunakan atas nama KSP yang terlibat.

Namun, salah satu modusnya adalah dengan memanfaatkan perusahaan-perusahaan afiliasi dari KSP tersebut. Dana ini banyak digunakan untuk membeli barang mewah, mulai dari pesawat jet, hingga pembiayaan operasi plastik.

"Karena banyak dana nasabah itu dipakai transaksi ke perusahaan afiliasi, contohnya dibelikan jet, dibelikan yacht (kapal pesiar), dibayarkan operasi plastik, untuk suntik untuk macam-macam. Artinya tidak murni dilakukan bisnis selayaknya sebuah koperasi," papar Ivan.

 

5 dari 5 halaman

Penyelewengan Dana Bencana

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan ada aliran dana untuk korban bencana dilarikan untuk mrmperkaya pribadi sendiri. Hal ini, termasuk juga sumbangan dana untuk korban bencana gempa bumi di Cianjur.

Hal ini diungkap Kepala PPATK Ivan Yustiavandana saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI. Selain memperkaya pribadi, Ivan menemukan kecenderungan dana yang dikumpulkan yayasan ini mengarah ke pendanaan terorisme.

"Terkait yayasan, terakhir kita menemukan yang di Cianjur itu memang terkait dengan kegiatan yang diduga tersangkut dengan terorisme," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI, Selasa (14/2/2023).

Ivan menjelaskan, modus yang dijalankan oleh yayasan ini dengan memanfaatkan dana-dana yang dikumpulkan. Para oknum di yayasan pengumpul dana ini mengambil momentum banyaknya pengumpulan dana, tapi ada sebagian yang diambil oleh oknum tersebut.

"Yayasan ini ada risikonya. Dia mendompleng kegiatan yang legal, jadi saking banyaknya sebuah momentum, misal terjadi bencana, dari 100 pembukaan rekening untuk ke kegiatan yang bener, di dalam situ ada 99 yang meng-hijack niat-niat baik dari para pihak yang memang baik," terangnya.

Setidaknya, ada 2 potensi penyelewengan yang dilakukan oleh oknum tersebut. Pertama, digunakan untuk memperkaya pribadi. Kedua, adanya potensi penggunaan untuk pendanaan terorisme.

"Ada 2 potensi yang besar adalah digunakan untuk kepentingan dia pribadi, banyak kita lihat, mohon maaf, beli rumah, beli mobil, memberikan ke orang-orang sekitarnya, untuk memperkaya diri sendiri dari sumbangan dari orang, sehingga tidak diapakai untuk membangun atau membantu orang lain yang terkena bencana. Atau dalam fakta terakhir inj, kita menemukan memang terkait dengan dugaan kegiatan terorisme," urai Ivan Yustiavandana.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.