Sukses

Ditolak Petani, Perpres Swasembada Gula Dinilai Belum Mendesak

Swasembada gula sebenarnya bukan barang baru dan sudah berkali-kali dicanangkan. Namun target swasembada itu pun selalu meleset.

Liputan6.com, Jakarta Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Percepatan Swasembada Gula terus menulai penolakan. Salah satunya dari kelompok petani tebu.

Menanggapi hal ini, Anggota Komisi VI Herman Khaeron menilai hadirnya perpres tersebut bukan bertujuan untuk swasembada gula melainkan lebih tepat untuk menjaga stabilisasi harga.

"Ini bukan perpres swasembada tapi perpres stabilisasi harga karena disusun dengan rezim inflasi. Seakan-akan kenaikan harga itu menakutkan sehingga merasa perlu dikendalikan," kata Herman dikutip Kamis (27/10/2022).

Menurut dia, bila bertujuan untuk mensejahterakan petani, maka Perpres tersebut seharusnya menghilangkan hal-hal yang menghambat kesejahteraan petani seperti penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Namun sayangnya, Perpres tersebut justru mengarah pada potensi monopoli dengan penunjukan BUMN sebagai pelaksana perluasan lahan dan juga masalah impor gula sebanyak 700 ribu ton.

"Di aturan yang ada disebutkan perusahaan yang dapat ijin impor harus melakukan penanaman. Tapi aturan ini tidak tegas dijalankan," ujarnya.

Sekjen APTRI Nur Khaybsin menuturkan, swasembada gula sebenarnya bukan barang baru dan sudah berkali-kali dicanangkan. Namun target swasembada itu pun selalu meleset.

Tak perna tercapainya target swasembada ini dinilai APTRI karena pemerintah sendiri tidak pernah serius menjalankan program swasembada.

Program swasembada gula, lanjut dia, justru terhambat oleh kebijakan pemerintah sendiri yang tidak berpihak kepada petani tebu dan industri gula nasional.

"Apalagi dalam rancangan perpres itu rencana impor 700 ribu ton, ini membuat resah para petani. Sehingga kami mengharapkan adanya masukan bagaimana untuk membuat swasembada gula tercapai dan kesejahteraan pertani terwujud," ujanya.

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Belum Mendesak

Sementara itu, Pengamat Pertanian Khudori menilai Perpres swasembada gula ini masih belum mendesak untuk disahkan. Sebab yang dibutuhkan saat ini justru konsistensi kebijakan ketimbang adanya regulasi baru.

"Industri gula terlalu banyak (over regulated). Aturan itu belum seluruhnya dilaksanakan dengan baik. Tak ada jaminan perpres membuat swasembada dapat dicapai," kata Khudori.

Dari pihak pemerintah, Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional (BPN) I Gusti Ketut Astawa mengatakan bahwa sejatinya tujuan pemerintah adalah mensejahterakan petani. Bila ternyata rancangan perpres yang ada malah tidak mensejahterakan petani, sebaiknya seluruh pihak yang tidak setuju memberi masukan.

"Seperti soal pencabutan HET dan pemberian pupuk bersubsidi, silahkan saja disampaikan," tutup dia.

3 dari 4 halaman

Pengamat Khawatir Perpres Swasembada Gula Munculkan Monopoli

Rancangan Perpres tentang percepatan swasembada gula yang akan dicanangkan pemerintah memunculkan penolakan, salah satunya dari petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI)

Pangkal masalah penolakan terhadap Perpres tersebut yaitu adanya potensi monopoli oleh BUMN dan kekhawatiran akan makin mulusnya jalan impor gula ke Indonesia yang berpotensi merugikan petani tebu.

Pasalnya, dengan adanya Perpres tersebut dikhawatirkan pemerintah akan memberi fasilitasi PTPN III untuk melakukan impor gula.

Menanggapi hal ini, Peneliti Indef Nailul Huda mengatakan secara prinsip ekonomi, penujukkan PTPN III ini sebagai pengolah gula kristal putih dan gula rafinasi bisa menimbulkan potensi monopoli produksi dari pihak pemerintah.

"Jika monopoli, bisa jadi PTPN III ini akan monopsoni juga dimana nantinya untuk pembelian tebu dari petani akan dikendalikan oleh PTPN III," kata dia, Kamis (6/10/2022).

Terlebih, lanjut Nailul, sebelumnya Badan Pangan Nasional atau National Food Agency (NFA) bersama Kementerian Perdagang (Kemendag) telah mematok harga pembelian gula kristal putih (GKP) minimal Rp 11.500 per kilogram di tingkat petani. Harga ini dinilai akan membuat industri memiliki melakukan impor ketimbang menyerap gula petani dalam negeri.

"Ada kekhawatiran mengenai sistem pembelian dari PTPN III ke petani. Bahkan ini kalau kita lihat tarifnya kan Rp 11.500 per kg dari petani ke PTPN III, nah bisa memperlebar dengan harga gula internasional," ungkapnya.

"Pasti akan banyak yang memilih impor ketimbang menyerap dari dalam negeri kemudian stok dalam negeri tidak terserap. Makanya industri ini butuh keseimbangan," lanjut dia.

Menurut Nailul, ketimbang menerbitkan aturan baru yang berpotensi merugikan petani tebu, lebih bagi pemerintah memperbaiki sistem tanam tebu dan produksi gula di dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga diminta untuk memberantas adanya makelar di sistem lelang tebu yang membuat petani merugi.

"Yang pertama pasti membuat petani lebih efisien dengan membuat harga beli dari petani yang kompetitif dan kandungan air yang sesuai sehingga kualitasnya bagus. Kedua adalah meminimalisir adanya bandar di sistem lelang tebu," tutup dia.

4 dari 4 halaman

Petani Menolak

Sebelumnya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) Soemitro Samadikoen secara tegas menolak rencana Perpres tersebut. Menurutnya, pencanangan swasembada gula di 2025 hanya omong kosong dan tak masuk akal.

Salah satu poin utama dalam Perpres tersebut, pemerintah akan memberi fasilitasi PTPN III untuk melakukan impor gula.

“Dan ini ada pencanangan swasembada lagi di tahun 2025. Itu omong kosong dan hanya akal-akalan. Aneh, swasembada, tapi ujung-ujungnya impor,” kata Soemitro.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.