Sukses

Sri Mulyani: Dampak Perubahan Iklim pada Ekonomi Lebih Buruk dari Covid-19

Menteri Keuangan Sri Mulyani memperingatkan dampak perubahan iklim pada ekonomi dunia bisa lebih besar daripada pandemi Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan ancaman nyata pada ekonomi dunia yang lebih buruk dari pandemi Covid-19, yaitu perubahan iklim.

Hal itu Menkeu sampaikan dalam acara HSBC Summit 2022 'Powering the Transition To Net Zero' yang disiarkan secara virtual, Rabu (14/9/2022).

"Perubahan Iklim merupakan permasalahan global yang nyata dan bisa menjangkau aspek sosial, ekonomi, dan bahkan dampaknya bisa lebih signifikan daripada pandemi Covid-19," ujar Sri Mulyani, dikutip Kamis (15/9/2022). 

Sri Mulyani memaparkan riset yang diterbitkan oleh Swiss Re Institute pada tahun 2021, yang mengungkapkan bahwa perubahan iklim dapat membuat dunia kehilangan lebih dari 10 persen nilai ekonominya, apabila kesepakatan Paris pada target emisi 2050 tidak terpenuhi.

Bahkan, dampak perubahan iklim juga bisa menyebabkan krisis finansial hingga penurunan kekayaan hingga Produk Domestik Bruto.

"Bahkan, tekanan inflasi dapat timbul akibat gangguan rantai pasokan nasional dan internasional akibat bencana seperti banjir, badai, dan kekeringan yang berpotensi mengakibatkan kerugian besar secara finansial," jelas Sri Mulyani. 

Selain itu, diperkirakan potensi kerugian ekonomi Indonesia akibat perubahan iklim berada di sekitar. 0,62 - 3,45 persen dari PDB pada tahun 2030.

"Jadi dokumen kebijakan pembangunan tangguh iklim menyebutkan bahwa kerugian ekonomi akibat krisis iklim akan mencapai Rp 112,2 triliun atau 0,5 persen dari PDB pada tahun 2023, yaitu tahun depan," beber Sri Mulyani.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Menteri Suharso Monoarfa: Lebih dari 3 Miliar Penduduk Dunia Terdampak Perubahan Iklim

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasiona/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa mengungkap aa sekitar 3 miliar penduduk dunia terdampak perubahan iklim. Angka ini hampir sekitar setengah dari total populasi dunia.

Dengan begitu, isu keberlanjutan di berbagai aspek menjadi hal penting, termasuk ekonomi berkelanjutan. Caranya dengan menerapkan konsep ekonomi hijau dan ekonomi biru.

"Tentunya kita tidaklah asing dengan ancaman perubahan iklim yang dapat merenggut masa depan anak-anak kita dari kehidupan yang layak. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC, lebih dari tiga milyar penduduk dunia – atau hampir setengah dari populasi dunia – hidup di daerah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim," terang dia dihadapan 31 delegasi negara dan organisasi internasional di Development Ministerial Meeting G20, Belitung, Kamis (8/9/2022).

Adanya tantantan perubahan iklim ini, menurutnya diperlukan kerja sama dalam lingkup global. Tak hanya itu, kerja sama antar negara dan organisasi internasional juga perlu diperkuat.

"Kita harus menyadari bahwa banyak negara berkembang yang tidak memiliki sumber dana yang cukup untuk meningkatkan upaya mencapai Agenda 2030," kata dia.

Agenda yang dimaksud adalah penurunan emisi karbon sebesar 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan bantuan internasional. Negara berkembang, jadi satu aspek penting yang menurut Suharso perlu dibantu upaya penekanan emisi karbonnya.

"Perlambatan ekonomi yang ada dan dampak jangka panjang COVID-19 mengharuskan kita untuk memobilisasi pembiayaan tambahan dari sumber-sumber inovatif," tambah dia.

3 dari 3 halaman

Awas, Indonesia Bisa jadi Negara Paling Terdampak Perubahan Iklim Global

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut Indonesia menjadi salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Ancaman berasal dari emisi gas rumah kaca dan kenaikan suhu ini berakibat pada kenaikan permukaan air laut.

"Menurut sebuah penelitian, Indonesia akan terkena dampak sebesar 0,66 persen hingga 3,45 persen dari PDB (produk domestik bruto) kita pada tahun 2030 karena perubahan iklim,” Sri Mulyani dalam acara B20-G20 Dialogue: Energy, Sustainability, and Climate Task Force dikutip di Jakarta, Rabu (31/8).

Maka Indonesia dengan negara-negara dunia bersama-sama merancang kebijakan pembangunan yang tepat untuk mengatasi perubahan iklim. Salah satu urgensi yang sangat penting adalah mempercepat dan merancang transisi menuju sumber energi yang bersih, bersih, dan juga lebih hijau.

“Ini juga sangat penting karena energi merupaemiskan sumber emisi karbon yang paling penting, sekaligus yang paling mahal dalam mengatasi masalah ini,” ujar Ani, sapaannya.

Bendahara Negara ini mengungkapkan sekarang anggaran pemerintah untuk penanganan perubahan iklim hanya dapat menutupi 34 persen dari total kebutuhan sebesar Rp 3.461 triliun atau sekitar Rp 266 triliun per tahun. Namun faktanya lima tahun terakhir, rata-rata belanja iklim sebesar Rp 89,6 triliun atau 3,9 persen dari alokasi APBN per tahun.

“Dengan situasi itu, jelas kebutuhan keuangan berkelanjutan tidak bisa hanya mengandalkan anggaran pemerintah. Sangat penting bagi kami untuk dapat merancang cara investasi baru agar kami dapat mencapai tujuan ambisius tentang perubahan iklim yang juga akan mengancam kemakmuran dan penghidupan masyarakat,” tuturnya

Sehingga, perubahan iklim dan transisi energi menjadi salah satu isu terpenting yang diangkat dalam Presidensi G20 Indonesia. Dia menyampaikan Indonesia menempatkan perubahan iklim dan keuangan berkelanjutan sebagai salah satu prioritas terpenting di jalur keuangan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.