Sukses

Menakar Arah Kebijakan Subsidi BBM Tepat Sasaran Biar APBN Tak Jebol

Pada 2022, pemerintah mematok subsidi BBM Rp 502,4 triliun yang terdiri dari subsidi energi Rp208,9 triliun dan kompensasi energi sebesar Rp 293,5 triliun.

Liputan6.com, Jakarta Negara-negara di dunia saat ini sedang mengalami krisis energi global, termasukIndonesia. Akibatnya, pemerintah dihadapkan oleh opsi dilematis antara menaikan harga BBM atau anggaran subsidi. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007tentang Energi, landasan pemberian subsidi energi harus tepat sasaran.

Merujuk Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2021 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran BBM di Indonesia, dalam ayat delapan disebutkan subsidi sesuai dengan kemampuan keuangan negara.

Selain itu pemberian subsidi juga mempertimbangkan daya beli masyarakat dan ekonomi nasional, sehingga subsidi BBM harus terefleksi kemampuan keuangan negara, memperhatikan daya beli masyarakat, dan harus tepat sasaran.

Pada 2022, pemerintah mematok subsidi BBM Rp 502,4 triliun yang terdiri dari subsidi energi Rp208,9 triliun dan kompensasi energi sebesar Rp 293,5 triliun. Saat ini subsi dipertalite hanya tersisa 6 juta kiloliter dari 23 juta kiloliter subsidi yang disepakati hingga akhir 2022.

Pemerintah memperkirakan jumlah pertalite tersebut akan habis pada Oktober 2022, sehingga perlu adanya tambahan volume BBM subsidi, termasuk subsidi untuk solar yang volumenya terus mengalami peningkatan.

"Ini jadi persoalan, Rp 502 triliun akan habis di bulan Oktober," ungkapnya Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu.

Mengutip data Kementerian ESDM dan BPH Migas, pada akhir tahun konsumsi solar akan mencapai 17,44 juta kilo liter (KL). Ini setara 115 persen dari kuota yang sudah dianggarkan pemerintah.

Sementara untuk Pertalite, mengacu data konsumsi 8 bulan kebelakang diprediksi mencapai 29,07 juta KL di akhir tahun. Ini setara 126 persen dari kuota yang disiapkan pemerintah.

"Kalo kita asumsikan volume dari konsumsi BBM jenis Solar mengikuti 8 bulan terakhir dengan 1,5 juta KL perbulan, kuota itu akan habis di bulan Oktober, demikian juga dengan Pertalite (kuota) 23,05 juta KL akan habis pada Oktober kalau konsumsi di 2,4 atau 2,5 (juta KL) per bulan," paparnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Dampak ke Negara dan Pertamina

Subsidi yang besar membuat tidak hanya berdampak bagi negara tapi juga Pertamina. Kenaikan harga minyak global berdampak signifikan terhadap biayapokok penjualan (cost of sales & operating expenses) Pertamina sehinggamengalami kenaikan signifikan mencapai 41 persen.

Dari sudut pandang Pertamina, piutang PSO perusahaan juga relatif besar, yaitu Rp5,87 triliun sepanjang 2021sehingga inisiatif pengurangan subsidi dapat mengurangi piutang PSO.

Dewan Energi Nasional (DEN) menyarankan dua cara kepada pemerintah agar subsidi BBM tepat sasaran, yaitu skema distribusi tertutup menggunakan aplikasidan memberikan bantuan langsung tunai kepada masyarakat yang sangatmembutuhkan guna menjaga daya beli masyarakat tidak mampu.

DEN sudah memiliki strategi jangka panjang untuk mengurangi impor BBM, salahsatunya dengan cara mempercepat konversi mobil menggunakan listrik ataubahan bakar gas.

Selain itu untuk mengurangi ketergantungan BBM impor, DEN jugamemiliki rencana untuk meningkatkan campuran BBM penambahan biomassa ataubiodiesel.

 

3 dari 3 halaman

3 Cara Tekan Subsidi BBM

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menyebutkan setidaknya ada tiga cara yang bisa dijalankan pemerintah untuk mengurangi beban subsidi energi.

Pertama, untuk mengurangi kompensasi, ia menyarankan agar pemerintah menyerahkan urusan penetapan harga kepada Pertamina untuk BBM jenis nonsubsidi Pertamax, Pertamax Turbo, dan di atasnya. Dengan begitu, harga BBM tersebut bisa ditetapkan sesuai dengan harga keekonomian.

Kedua, Pertamina harus membatasi penjualan Pertalite dengan hanya mengizinkan pelanggan yang tepat sasaran untuk bisa membelinya. Namun rencana BUMN migas mewajibkan aplikasi MyPertamina demi membatasi Pertalite dinilai bakal sulitdi aplikasikan di lapangan.

Sebab, kata Fahmy, Pertamina sebelumnya harus menetapkan kriteria penerima BBM bersubsidi dan hal ini akan rumit di lapangan. Apalagi penggunaan gawai dan jaringan internet di daerah--apalagi daerah terpencil--terkadang masih sulit.

Dia mengaku belum tahu persis kriteria penerima subsidi BBM dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 yang sedang dibahas.

"Entah ituberdasarkan cc atau tahun kendaraan, atau harga kendaraan. Sulit sekali menentukan kriteria tadi, dan barangkali bisa beda penafsiran di lapangan,” kata Fahmi.

Ketiga, menghapus BBM jenis Premium. Saat ini Premium hanya tersedia di luar Jawa, Madura, dan Bali, tetapi jumlahnya konsumsi dan impor subsidinya masih besar.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.