Sukses

IMF Sebut China Butuh Lebih Banyak Kebijakan Fiskal dan Moneter demi Tangani Dampak Ekonomi dari Covid-19

China perlu menambah dukungan kebijakan fiskal dan moneter untuk mengatasi perlambatan ekonomi imbas lockdown Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan bahwa China perlu menambahkan lebih banyak dukungan kebijakan fiskal dan moneter untuk mengatasi perlambatan ekonomi yang disebabkan oleh lockdown Covid-19. 

Beberapa kota di China pekan ini memberlakukan pembatasan baru dalam upaya menahan penuluran Covid-19, dengan pusat ekonomi Shanghai meluncurkan upaya tes massal lainnya.

Juru bicara IMF Gerry Rice menyebut, diperlukannya kebijakan penahanan pandemi Covid-19 yang tidak terlalu ketat.

"Kami menyambut baik pergeseran ke kebijakan fiskal yang lebih ekspansif tahun ini, tetapi bahkan lebih banyak dukungan akan membantu mengatasi perlambatan pertumbuhan yang sedang berlangsung," kata Rice, ketika ditanya tentang saran kebijakan IMF untuk China, dikutip dari Channel News Asia Jumat (15/7/2022).

"Dukungan fiskal ini akan sangat efektif, dalam pandangan kami, jika difokuskan pada rumah tangga rentan melalui transparansi dan penguatan sistem perlindungan sosial," ujarnya.

Mengingat inflasi inti yang rendah di China, IMF percaya bank sentral negara itu harus terus memberikan dukungan kebijakan moneter.

Rice mengatakan penurunan suku bunga kebijakan utama awal tahun ini adalah "langkah yang disambut baik" yang menurunkan biaya pinjaman dan memperkuat investasi.

Selain itu, peningkatan vaksinasi juga diperlukan untuk menyesuaikan strategi nol-Covid-19 China yang telah mendorong lockdown dan gangguan rantai pasokan yang memengaruhi ekonomi global.

"Mengurangi gangguan aktivitas ekonomi dari Covid-19 akan membutuhkan peningkatan suntikan vaksinasi booster dan menargetkan lansia yang kurang divaksinasi," jelas Rice.

"Ini pada akhirnya akan memungkinkan penyesuaian strategi penahanan menjadi lebih fleksibel dan tidak terlalu membatasi," tambah dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Dampak Lockdown Covid-19, PDB China Diramal Turun Jadi 4,1 Persen di 2022

Pertumbuhan ekonomi China diperkirakan akan melambat menjadi 4,1 persen pada 2022, setelah kebijakan nol-Covid-19 dan lockdown berkepanjangan di Shanghai melumpuhkan ekonomi terbesar kedua di dunia dan memukul rantai pasokan global.

Hal itu diungkapkan dalam survei tertulis oleh Nikkei dan Nikkei Quick News terhadap para ekonom yang berspesialisasi dalam ekonomi China. 

Survei yang dilakukan pada Juni 2022 ini menerima tanggapan dari sebanyak 35 ekonom. 

Dilansir dari Nikkei Asia, Rabu (13/7/2022) produk domestik bruto China diperkirakan tumbuh hanya 1,1 persen pada periode April-Juni 2022. 

Angka itu merupakan perlambatan yang cukup besar, dibandingkan dengan pertumbuhan PDB China 4,8 persen pada kuartal I.

Berdasarkan penyesuaian musiman dan kuartal-ke-kuartal, para ekonom dalam survei tersebut memperkirakan penurunan sekitar 1,4 persen selama April hingga Juni, menandai kontraksi kedua sejak kuartal I 2020, ketika Covid-19 pertama kali merebak di Kota Wuhan.

Kepala ekonom untuk China di HSBC, Jing Liu memperkirakan kenaikan PDB China 1 persen pada periode April-Juni 2022. Hal ini dikarenakan penyebaran Covid-19 yang mempengaruhi produksi dan konsumsi di negara itu.

"Kami memperkirakan pukulan terburuk dari Covid-19 kemungkinan akan terjadi di kuartal II. Data dengan frekuensi yang lebih tinggi menunjukkan bahwa produksi dan konsumsi telah dipengaruhi oleh penyebaran virus yang lebih luas," kata Jing Liu.

"Baru-baru ini, produksi telah melihat pemulihan yang lebih cepat tetapi konsumsi mungkin berpulih secara bertahap karena ketidakpastian lanjutan seputar penyebaran Covid-19 lebih lanjut dan tekanan pasar tenaga kerja yang meningkat," bebernya.

3 dari 4 halaman

Pasca Lockdown Covid-19, Warga China Pilih Menabung daripada Investasi

Kecenderungan konsumen China untuk menabung berada pada titik tertinggi dalam dua dekade, seiring dampak pembatasan ketat terkait Covid-19 membebani ekonomi negara itu.

Hal itu diungkapkan dalam survei yang disusun oleh Bank Sentral China, People's Bank of China (PBOC) untuk kuartal kedua.

Dilansir dari CNBC International, 58,3 persen responden survei People's Bank of China mengatakan lebih memilih menyimpan uang mereka, daripada berbelanja atau berinvestasi.

Jumlah itu menandai peningkatan dari survei serupa di kuartal pertama di mana 54,7 persen memilih untuk menabung, yang telah menandai rekor tertinggi sejak tahun 2002.

Kecenderungan konsumen China untuk berinvestasi turun 3,7 poin persentase menjadi 17,9 persen pada kuartal kedua, dengan saham sebagai aset yang dianggap paling tidak menarik.

PBOC mengatakan bahwa survei triwulanannya, yang dilakukan sejak tahun 1999, mencakup 20.000 orang dengan deposito bank di 50 kota besar baik dari kalangan kelas menengah dan kecil di China.

Hasil survei PBOC datang ketika China memberlakukan pembatasan Covid-19 yang ketat pada kuartal kedua untuk mengendalikan wabah terburuk di negara itu sejak awal 2020.

Shanghai telah melewati lockdown selama dua bulan pada bulan April dan Mei, sementara Beijing melarang aktivitas makan di restoran di bulan yang sama, di antara pembatasan lainnya. 

Survei PBOC juga menunjukkan penurunan ekspektasi pendapatan di China.

Indeks studi untuk prospek pekerjaan turun menjadi 44,5 persen - angka terendah sejak kuartal pertama tahun 2009 sebesar 42,2 persen, menurut database CEIC.

Namun, dari keseluruhan responden yang paling cenderung belanja sedikit meningkat dari kuartal pertama sebesar 0,1 poin persentase menjadi 23,8 persen.

Jika konsumen China berencana untuk meningkatkan pengeluaran dalam tiga bulan ke depan, pilihan paling populer adalah pendidikan, diikuti oleh perawatan kesehatan dan barang-barang mahal, demikian menurut survei tersebut.

4 dari 4 halaman

China Janji Menolong Ekonomi 4 Negara di Tengah Krisis Covid-19, Ada Rusia

Presiden China Xi Jinping menyatakan akan membantu meningkatkan ekonomi di empat negara meski masih menghadapi krisis Covid-19 di dalam negeri, dan dampak dari perang Rusia-Ukraina.

Dilansir dari VOA News, Xi Jinping menyampaikan pernyataan itu pekan lalu di di KTT BRICS virtual yang diselenggarakan oleh Beijing.

Keempat negara yang akan dibantu China itu adalah Brazil, Rusia, India dan Afrika Selatan, yang bersama-sama dengan China membentuk kelompok yang dikenal dengan BRICS.

Laporan kantor berita Xinhua menyebut, Xi Jinping menganjurkan kerja sama BRICS dalam pembayaran lintas batas dan peringkat kredit. Dia lebih lanjut juga merekomendasikan fasilitasi perdagangan, investasi dan pembiayaan.

Xi Jinping, sebagai tuan rumah KTT ke-14 kelompok negara itu juga menyampaikan bahwa pihaknya akan bekerja dengan negara-negara BRICS untuk mendukung pembangunan global yang lebih kuat, lebih hijau dan lebih sehat.

Selain itu, Xi Jinping juga mengajak negara-negara lainnya untuk bergabung dengan New Development Bank, pemberi pinjaman lunak yang didirikan oleh negara-negara BRICS pada tahun 2015.

Dia juga menyerukan untuk meningkatkan mekanisme bantuan neraca pembayaran darurat negara kelompok BRICS, Contingent Reserve Arrangement, Xinhua menambahkan.

Ekonomi China telah melampaui negara lain setelah beberapa dekade mengencangkan ekspor manufakturnya. 

Tetapi ekonomi negara itu tengah tertatih-tatih tahun ini karena lockdown untuk menahan lonjakan Covid-19 – yang juga menghambat rantai pasokan global.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.