Sukses

Perbandingan Besaran Tarif Karbon di Berbagai Negara

Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana menegaskan jika pajak karbon tidak ditujukan untuk mencari penerimaan negara.

Liputan6.com, Jakarta Indonesia menetapkan besaran pajak karbon yang berlaku mulai 2022 sebesar minimal Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) untuk PLTU. Aturan pajak karbon tertuang dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana menegaskan jika pajak karbon tidak ditujukan untuk mencari penerimaan negara.

"Itu hanya instrumen kalau trading belum maksimum, yang kita inginkan terjadi mekanisme pasar karbon," jelas dia saat diskusi dengan jurnalis, Senin (29/11/2021).

Dia menjelaskan jika tarif pajak karbon di Indonesia ditetapkan paling rendah Rp 30 per kg CO2e. Ini mulai berlaku tepatnya pada 1 April 2022 di sektor PLTU batubara.

Pajak karbon menerapkan skema cap & tax, yakni mekanisme jika pajak baru dipungut apabila jumlah emisi yang dihasilkan melebihi batas emisi (cap) yang telah ditetapkan sebelumnya.

Terkait besaran pajak karbon ini, dia membandingkan besaran pajak karbon Indonesia dengan tarif karbon di berbagai negara di dunia.

Dikatakan negara-negara Uni Eropa dan Amerika Utara termasuk yang sangat ambisius dengan menerapkan harga karbon yang tinggi. Di mana harga karbon masih berada di bawah rentang USD 40-80 per tCO2.

Kemudian hanya 3,76 persen dari emisi global yang memiliki harga sama dengan atau lebih dari USD 40 -80 per tCO2e.

"Rentang harga carbon tax di bawah USD 1 sampai USD 137 per tCO2e. Rentang harga ETS USD 1 tCO2e sampai USD 50 tCO2e," jelas dia.

Dari catatannya, harga karbon tertinggi ditetapkan Swedia sebesar USD 137 per ton. Kemudian Switzerland USD 101 per ton.

Kemudian di China, harga karbon sebesar USD 4 per ton di Beijing dan Shanghai USD 6 per ton. "Di China tergantung kotanya," jelas dia.

Negara tetangga Indonesia, yakni Singapura menetapkan harga karbon USD 4 per ton CO2. Negara dengan tarif karbon di bawah USD 1 adalah seperti Polandia, Ukraina

Pemerintah, dijelaskan belum menerapkan skema pungutan pajak yang lebih luas melalui perdagangan atau bursa karbon atau dikenal dengan istilah cap and trade. Dengan begitu, penerapan masih sangat terbatas dan diperkirakan minim dampak ke masyarakat.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bukan untuk Tarik Penerimaan Negara

Pemerintah akan menerapkan pajak karbon mulai 2022. Pada tahap awal dikenakan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia.

Sesuai kesepakatan pemerintah dan DPR, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar Rp 30 per kg karbon dioksida ekuivalen (CO2e).

Aturan pajak karbon tertuang dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Penerapan tarif pajak karbon ini dimaksudkan untuk mengurangi emisi karbon yang kini jadi salah satu fokus pemerintah.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menegaskan jika penarikan pajak karbon ini tidak ditujukan untuk mengisi pendapatan negara.

"Pajak karbon terutama bukan untuk penerimaan. Pajak karbon utamanya untuk mendukung pasar karbon jadi dengan demikian tidak ada target penerimaan pemeritah dari pajak karbon," tegas dia saat FGD dengan jurnalis di Jakarta, Senin (29/11/2021).

Dia mencontohkan seperti simulasi yang sudah diuji coba Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan pada beberapa PLTU. Di mana berdasarkan simulasi diketahui terdapat net defisit 1 juta ton karbon.

“Sebanyak 1 juta ton karbon kalau dikalikan dengan Rp 30 itu ketemunya paling cuma Rp 40-an miliar. Itu sangat-sangat kecil. Artinya ini bukan target (penerimaan pajak). Yang kita ingin dorong adalah terutama supaya mekanisme pasar karbon berjalan dengan baik,” tegas dia.

Penerapan pajak karbon ditegaskan salah satu upaya pemerintah untuk memenuhi komitmen penurunan emisi CO2 sesuai dengan komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) yang tertuang dalam Paris Agreement.

Di mana dalam komitmen, besaran penurunan emisi CO2 sebesar 29 persen pada 2030 dengan usaha sendiri. Kemudian 41 persen dengan dukungan internasional.

Dengan pajak karbon dikatakan hal yang pemerintah ingin dorong adalah mekanisme terbentuknya pasar karbon. Dari sini, nantinya para pengusaha PLTU melakukan perdagangan pasar karbon.

"Ke depan jika makin kuat harapan ada adjust parameter apakah cap diturunkan dan jika terjadi maka likuditas lebih tinggi," jelas dia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.