Sukses

IKK Kalah dari Malaysia, Konsumen Indonesia Masih Enggan Komplain

BPKN menyoroti rendahnya Indeks Keberdayaan Konsumen Indonesia (IKK) yang masih berada di level 41,7.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyoroti rendahnya Indeks Keberdayaan Konsumen Indonesia (IKK) yang masih berada di level 41,7. Padahal IKK Malaysia sudah mencapai 60 poin sampai saat ini. Akibatnya konsumen di Indonesia enggan melakukan komplain atas kerugian transaksi barang maupun jasa.

"Soal IKK ini memang kita masih kalah dibandingkan Malaysia. Malaysia IKK sudah mampu ke level 60 saat ini. IKK ini menunjukkan konsumen Indonesia enggan komplain apabila terjadi permasalahan dalam transaksi barang atau jasa," ujar Koordinator Advokasi BPKN, Rizal E Halim pada acara peringatan puncak Hari Konsumen Nasional (Harkonas) 2020 di Jakarta, Kamis (3/9).

Rizal mengatakan IKK dilevel 41,7, menunjukkan konsumen Indonesia telah menuju Level Mampu dari yang sebelumnya hanya berada pada Level Paham. Sehingga konsumen Indonesia dianggap sudah mampu menggunakan hak dan kewajibannya untuk menentukan pilihan barang ataupun jasa terbaik, serta mau memilih menggunakan produk dalam negeri.

Namun, level mampu masih belum cukup untuk mengangkat martabat konsumen Indonesia. Hal ini tercermin dari rendahnya partisipasi konsumen untuk melakukan komplain atas kerugian dari kegiatan perdagangan baik berupa produk ataupun jasa.

Oleh karena itu, pihaknya mendorong pemerintah melalui Kementerian Perdagangan untuk lebih berusaha keras dalam meningkatkan IKK dari level saat ini. Mengingat peran IKK sangat penting bagi peningkatan martabat konsumen dan peningkatan kualitas dan daya saing produk dalam negeri.

"Meningkatnya IKK akan mendorong kesadaran konsumen dalam menggunakan hak dan kewajibannya, serta bersikap kritis. Juga mendorong para pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas dan saya saing produknya," tukasnya.

Sebelumnya, Kementerian Perdagangan berkomitmen untuk meningkatkan martabat konsumen dan mendorong kualitas serta daya saing produk di Indonesia. Salah satunya dengan meningkatkan angka Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) tahun 2020 ke level 42 poin.

"Pada tahun 2020 ini kemendag menargetkan IKK meningkat setidaknya menjadi 42 poin," ujar Menteri Perdagangan Agus Suparmanto.

Agus mengatakan IKK merupakan dasar untuk menetapkan kebijakan di bidang perlindungan konsumen dan untuk mengukur kesadaran dan pemahaman konsumen akan hak dan kewajibannya, serta kemampuan dalam berinteraksi dengan pasar. Sehingga penting bagi pemerintah untuk terus meningkatkan angka IKK.

Terlebih, pada tahun 2019, IKK Indonesia tercatat sebesar 41,7. Artinya konsumen Indonesia telah menuju Level Mampu yang sebelumnya hanya berada pada Level Paham.

"Level Mampu artinya konsumen Indonesia telah mampu menggunakan hak dan kewajibannya sebagai konsumen untuk menentukan pilihan terbaik. Serta menggunakan mau memilih produk dalam negeri" jelasnya.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

YLKI: Mahalnya Masker dan Hand Sanitizer Paling Banyak Dilaporkan Konsumen

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat adat enam kasus pengaduan yang banyak dilaporkan oleh konsumen di tengah pandemi Covid-19. Tertinggi menyangkut soal masker dan hand sanitizer.

"Terhitung sejak bulan Februari lalu, YLKI banyak menerima pengaduan oleh konsumen. Setidaknya ada 7 kasus yang banyak diadukan oleh konsumen di tengah pandemi ini," ujar dia dalam peringatan puncak Hari Konsumen Nasional (Harkonas) 2020 di Jakarta, Kamis (3/9).

Pertama, masker dan hand sanitizer. YLKI mencatat aduan atas dua alat kesehatan itu mencapai 33,30 persen.

"Karena kita tahu di awal pandemi masker dan hand sanitizer sangat langkah. Kalau ada, harga mahal dan kualitas abal-abal," ujarnya.

Advokasi yang dilakukan oleh YLKI, yakni mendesak aparat penegak hukum dan regulator untuk mengusut adanya penimbunan. "Kita kirim surat ke Dirjen PKTN, Mabes Polri, Kemenkes, dan KSP," paparnya.

Kedua, Transportasi. YLKI mencatat tingkat aduan mencapai 25 persen. Dimana aduan konsumen kesulitan untuk melakukan refund tiket, dan menolak refund berbentuk voucher.

"Kita tahu PSBB merupakan petaka bagi konsumen, yang telah booking tiket moda transportasi. Operator kesulitan untuk memenuhi tuntutan refund dan refund digantikan oleh voucher. Bukan cash money," terangnya.

Advokasi yang dilakukan oleh YLKI, yakni meminta Kementerian Perhubungan selaku regulator untuk melakukan mediasi antara operator dan konsumen. "Karena kan operator kesulitan jika refund berbentuk cash money," imbuh dia.

Ketiga, Belanja Online. YLKI mencatat jumlah pengaduan mencapai 16,67 persen, dengan dominasi kasus penipuan atau harga tinggi.

"Tren atas belanja online membawa potensi atas tindakan penipuan dan penjualan barang-barang tertentu dengan harga tinggi. Khususnya alat kesehatan," cetusnya.

Advokasi yang dilakukan oleh YLKI, dengan meminta Dirjen PKTN Kementerian Perdagangan untuk memperketat pengawasan. Juga mendorong aparat hukum agar tegas memberikan sanksi bagi penjual nakal yang terbukti merugikan konsumen," tambahnya.

Keempat, Relaksasi Jasa Keuangan. YLKI mencatat presentase pengaduan mencapai 11,11 persen.

"Awal pandemi presiden (Jokowi) menjanjikan relaksasi debitur jasa finansial, termasuk leasing. Namun realita dilapangan konsumen kecewa relaksasi tidak bisa dieksekusi," paparnya.

Advokasi yang dilakukan oleh YLKI, yakni mendesak OJK, Perbankan, dan operator transportasi untuk membuat kriteria yang jelas dan transparan. Sehingga masyarakat dapat menerima manfaat atas relaksasi yang dijanjikan negara.

Kelima, supermarket mencapai 5,50 persen terkait lonjakan dan kelangkaan sejumlah barang. Terakhir, layanan kesehatan dengan presentase pengaduan mencapai 2,07 persen. Adapun jenis pengaduannya meliputi harga rapid test yang mahal, rapid tes sebagai syarat untuk penggunaan transportasi umum dan fenomena komersialisasi layanan rapid test.

"Untuk advokasi, kita minta hilangkan rapid test sebagai syarat. Mengingat rapid test tidak efektif dalam menekan penyebaran virus Corona," tukasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.