Sukses

Berpotensi Tekan Pendapatan Negara, Penurunan Harga Gas Perlu Ditunda

Pemerintah saat ini sedang berjuang menangani COVID-19 dan membutuhkan dana besar yang berasal dari pendapatan negara.

Liputan6.com, Jakarta Kebijakan penurunan harga gas menjadi USD 6 per MMBtu pada tingkat konsumen diusulkan untuk ditunda. Sebab negara membutuhkan pendapatan besar untuk menangani wabah virus Corona baru (Covid-19).

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gajah Mada Fahmy Radhi mengatakan, untuk menurunkan harga gas pemerintah harus mengorbankan penerimaan negara dari sektor hulu sebesar USD 2,2 per MMBtu, sehingga berujung pada penurunan penerimaan negara.

Di sisi lain, pemerintah sedang berjuang menangani COVID-19, upaya ini tentunya membutuhkan dana besar yang berasal dari pendapatan negara.

"Pemerintah sangat butuh dana untuk berbagai program penanganan Covid 19. Sebaiknya penurunan harga gas ini ditunda dulu," kata Fahmi, di Jakarta, Sabtu (4/4/2020).

Menurutnya, meski kebijakan penurunan harga gas akan menambah pendapatan negara dari penerimaan pajak dan deviden, serta penghematan subdisi industri yang menerima manfaat.

Namun, tambahan pendapatan negara tersebut jauh lebih kecil dibanding pengurangan pendapatan negara dari hulu migas.

"Sesungguhnya lebih besar pengurangan biayanya, dari pada manfaatnya," tegasnya.

Untuk diketahui, sebelumnya untuk menurunkan harga gas menjadi USD 6 per MMBTU pemerintah akan menurunkan harga gas di hulu berkisar USD 4-4,5 per MMBtu. Selain itu, biaya transportasi dan distribusi diturunkan antara USD 1-1,5 per MMBtu.

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ekonomi Melemah Pemerintah Harus Hati-Hati Turunkan Harga Gas

DPR mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menerapkan penurunan harga gas menjadi USD 6 per MMBTu. Hal ini dikarenakan kondisi perekonomian sedang mengalami perlambatan.

Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto mengatakan, pelaksanaan kebijakan penurunan harga gas harus mempertimbangkan beberapa aspek, seperti pendapatan produsen minyak dan gas bumi (migas) untuk mendukung investasi kegiatan pencarian migas. Pasalnya, saat ini harga minyak sedang mengalami penurunan.

Untuk diketahui, sebelumnya untuk menurunkan harga gas menjadi US$ 6 per MMBTU pemerintah akan menurunkan harga gas di hulu berkisar USD 4-4,5 per MMBTU. Selain itu, biaya transportasi dan distribusi diturunkan antara USD 1-1,5 per MMBTU.

"Saat ini harga minyak dunia rendah. Jangan sampai kebijakan ini membuat investor hulu migas tidak berniat unt mengembangkan lapangannya. Ke depan kita akan rugi banyak," kata Sugeng, di Jakarta, Jumat (3/4/2020).

Sugeng melanjutkan, pemerintah perlu mengvaluasi kebijakan negara secara menyeluruh. Biaya-biaya yang harus ditanggung pelaku usaha migas masuk sebagai pendapatan negara harus dievaluasi lagi, misalnya sewa barang milik negata, pajak dan lain-lain.

Selain itu harus ada evaluasi pemberian subsidi ke hilir. Evakuasi dilakukan agar industri berkembang dan pada akhirnya memberikan efek pada perkembangan ekonomi dalam negeri.

"Jangan ambil kebijakan sepihak dan terkesan memudahkan masalah," tuturnya.

3 dari 3 halaman

Berpotensi Kerugian

Direktur Executive Energi Watch Mamit Setiawan mengungkapkan, agar harga gas bisa turun di tingkat konsumen menjdi USD 6 per MMBTU, pemerintah akan menurunkan biaya transmisi, biaya distribusi dan biaya pemeliharaan. Upaya ini berpotensi membuat badan usaha menjadi rugi.

"Selain itu juga,saya kira kebijakan ini akan menghambat badan usaha untuk pembangunan pipa ke depannya," ujarnya.

Dia memandang, penurunan harga gas industri harus dipertimbangkan kembali. Pasalnya, akan menghambat investasi pembangunan infrastruktur gas dari sumur hingga konsumen, jika penurunan harga gas membebani industri hilir migas.

"Mereka melakukan investasi yang besar untuk pembangunan tersebut. Belum lagi,pipa transmisi dan pipa distribusi terbut juga harus di maintenance agar tetap bisa berjalan secara optimal. Belum lagi mereka harus membangung terminal regasifikasi LNG dimana sebagai cadangan mereka untuk menjaga ketersediaan gas kepada pelanggan," ungkapnya.

kebijakan penuruan harga gas dikhawatirkan akan mematikan industri hilir gas. Seharusnya pemerintah juga berusaha untuk melindungin indutri hilir, agar ke depan program bauran energi sebesar 25 persen pada tahun 2023 bisa mencapai targetnya, walau sulit untuk dicapai.

"Selain itu juga,kondisi ini membuat indutri hilir gas tidak menarik lagi untuk investor," tandasnya. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini