Sukses

Suasana Mencekam Kokpit Lion Air JT 610 Sebelum Jatuh

Lewat investigasi KNKT, terungkap pula suasana kokpit dan upaya pilot serta co-pilot di pada detik-detik sebelum jatuhnya pesawat.

Liputan6.com, Jakarta - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis hasil investigasi kecelakaan Boeing 737 Max registrasi PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 610 milik Lion Air yang jatuh di Laut Jawa. KNKT menemukan ada sembilan faktor (contributing factors) yang menyebabkan menjadi penyebab kecelakaan pada pesawat nahas tersebut.

Kepala Subkomite Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo mengatakan, lewat investigasi tersebut, juga terungkap pula suasana kokpit dan upaya pilot serta co-pilot di pada detik-detik sebelum jatuhnya pesawat.

Dia menggambarkan bahwa saat itu, pilot dan co-pilot kesulitan dalam mengendalikan pesawat. Hal tersebut, turut berkontribusi sebagai penyebab kecelakaan.

Kesulitan koordinasi dan pengendalian pesawat disebabkan oleh situasi sulit, dengan rangkaian peringatan berulang aktifasi MCAS, dan padatnya komunikasi dengan ATC.

"Mengapa tidak bisa dikelola dengan baik, karena situasinya memang sulit saat itu," kata dia, di Kantor KNKT, Jakarta, Jumat (25/10).

Situasi tersebut, lanjut dia kemudian berdampak pada komunikasi antara pilot dan co-pilot. Hal tersebut berimbas pada kerja sama keduanya dan beban kerja yang tidak bisa dikelola dengan baik.

"Kapten saat terbang tiba-tiba terjadi masalah, memberikan instruksi membaca buku prosedur. Co-pilot cari di buku panduan," ungkap dia.

Alhasil, pengendalian pesawat dilakukan seorang diri. Padahal, posisi pesawat belum sepenuhnya stabil. Di sisi lain, co-pilot masih membaca buku panduan untuk mencari solusi atas persoalan yang dihadapi. "Bukan panik. Mereka melakukan tugas masing-masing, tidak bekerja sama. Itu yang kita lihat," urai dia.

"Jadi di sini saya juga yakin akan jadi bahan pelatihan pilot-pilot seluruh dunia bahwa dalam kondisi seperti ini harusnya seperti apa. Bahwa ternyata tunda dulu, yakinkan pesawat bisa diterbangkan baru ke yang lain," tandasnya.

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

KNKT Ungkap Kronologi Kecelakaan Pesawat Lion Air JT 610

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) membeberkan kronologi kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 berdasarkan hasil investigasi akhir selama setahun.

Kepala Sub Komite Kecelakaan Penerbangan KNKT, Nurcahyo menuturkan, pesawat tersebut hilang dari layar radar pengatur lalu lintas udara setelah terbang dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten menuju Pangkal Pinang, Bangka Belitung pada 29 Oktober 2018 lalu sekira pukul 06.32 WIB.

Saat kejadian, pilot pesawat sempat melaporkan adanya beberapa gangguan pada kendali pesawat, indikator ketinggian, dan indikator kecepatan. Pesawat akhirnya jatuh di Tanjung Karawang, Jawa Barat dan seluruh penumpang serta awak pesawat tidak ada yang selamat.

"Kerusakan indikator kecepatan dan ketinggian di pesawat PK-LQP terjadi pertama kali pada tanggal 26 Oktober 2018 dalam penerbangan dari Tianjin, China ke Manado, Indonesia," tutur Nurcahyo seperti dilansir dari Antara, Jumat (25/10/2019).

Setelah beberapa kali perbaikan pada kerusakan yang berulang, pada tanggal 28 Oktober 2018 Angle of Attack (AOA) sensor kiri diganti di Denpasar, Bali.

AOA sensor kiri yang dipasang mengalami deviasi sebesar 21 0 yang tidak terdeteksi pada saat diuji setelah dipasang.

"Deviasi ini mengakibatkan perbedaan penunjukan ketinggian dan kecepatan antara instrumen kiri dan kanan di cockpit, juga mengaktifkan stick shaker dan Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) pada penerbangan dari Denpasar ke Jakarta," katanya.

Nurcahyo mengatakan, pilot berhasil menghentikan aktifnya MCAS dengan memindahkan Stab Trim switch ke posisi Cut Out (mati/ tidak aktif).

Setelah mendarat di Jakarta, pilot melaporkan kerusakan yang terjadi namun tidak melaporkan stick shaker (guncangan kendali pilot) dan pemindahan Stab Trim ke posisi Cut Out.

"Lampu peringatan AOA Disagree tidak tersedia, sehingga pilot tidak melaporkannya. Masalah yang dilaporkan ini hanya dapat diperbaiki menggunakan prosedur perbaikan AOA Disagree," ucap Nurcahyo. 

Pada 29 Oktober 2018 pesawat kembali beroperasi dari Jakarta ke Pangkal Pinang. Kotak hitam Flight Data Recorder (FDR) merekam kerusakan yang sama terjadi pada penerbangan ini.

"Pilot melaksanakan prosedur non-normal untuk IAS Disagree, namun tidak mengenali kondisi runaway stabilizer," kata Nurchayo.

3 dari 3 halaman

Pilot Sulit Kendalikan Pesawat

Beberapa peringatan, berulangnya aktivasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC berkontribusi pada kesulitan pilot untuk mengendalikan pesawat.

MCAS adalah fitur yang baru ada di pesawat Boeing 737-8 (MAX) untuk memperbaiki karakteristik angguk (pergerakan pada bidang vertikal) pesawat pada kondisi flap up, manual flight (tanpa auto pilot) dan AOA tinggi.

Nurcahyo menjelaskan, proses investigasi menemukan bahwa desain dan sertifikasi fitur ini tidak memadai, juga pelatihan dan buku panduan untuk pilot tidak memuat informasi terkait MCAS.

Pada 10 Maret 2019, kecelakaan serupa terjadi di Ethiopia melibatkan pesawat Boeing 737-8 (MAX) yang mengalami kerusakan AOA sensor.

"Tindakan perbaikan telah dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Namun demikian KNKT memandang masih ada isu keselamatan yang harus diperbaiki. KNKT menerbitkan rekomendasi kepada Lion Air, Batam Aero Technic, Airnav Indonesia, Boeing Company, Xtra Aerospace, Indonesia DGCA, and Federal Aviation Administration (FAA)," kata dia. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.