Sukses

Rupiah Dipatok 15.000 per Dolar AS, Ekonomi Bisa Tumbuh 5,12 Persen

Dengan asumsi Rupiah Rp 15.000 per USD, maka kompoen investasi juga akan mengalami perubahan.

Liputan6.com, Jakarta Badan Anggaran (Banggar) DPR menggelar rapat kerja (raker) bersama dengan pemerintah membahas Rancangan Undang Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Raker kali ini merupakan rapat lanjutan dari agenda yang dilangsungkan kemarin.

Hadir dalam rapat ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, dan Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro.

Dalam kesempatan ini, Pimpinan Banggar DPR Said Abdullah mempersilahkan kembali Sri Mulyani untuk menjelaskan mengenai perubahan asumsi dasar makro APBN 2019 pada nilai tukar Rupiah.

"Skors kami cabut, rapat kembali saya lanjutkan. Saya persilahkan Menteri Keuangan memberikan jawaban," kata Said di Ruang rapat Banggar DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (15/10/2018).

Sri Mulyani menjelaskan, alasan pemerintah kembali menaikkan asumsi nilai tukar Rupiah karena pengaruh dari tekanan perekonomian global. Bahkan proyeksi dari lembaga keuangan mengenai rata-rata nilai tukar Rupiah untuk 2019 bervariasi yaitu antara Rp 15.000 hingga di level Rp 15.500.

Angka tersebut dipatok mengingat rata-rata nilai tukar di 2018 saja naik menjadi Rp 15.000 per USD. "Namun tentu dalam tiga bulan ke depan range-nya antara Rp 14.800 hingga 15.200, sehingga keseluruhan kurs untuk tahun 2018 kurs rata-rata adalah Rp 15.000," jelas dia.

Sri Mulyani melanjutkan dengan asumsi sebesar Rp 15.000 per USD, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga akan turun. Pertumbuhan ekonomi bakal merosot menjadi 5,12 persen dari perkiraan awal yang mencapai 5,30 persen.

"Inilah yang membedakan untuk tahun depan growth kita, kita proyeksikan ada di 5,12 persen," kata Sri Mulyani.

Tak hanya itu, dengan asumsi Rupiah Rp 15.000 per USD, maka kompoen investasi juga akan mengalami perubahan.

Bila dalam proyeksi awal pemerintah dipatok sebesar 6,95 persen Kemudian dengan perubahan asumsi nilai tukar menjadi Rp 15.000, levelnya diproyeksikan turun menjadi 6,51 persen.

Berlanjut kepada komponen konsumsi rumah tangga yang juga ikut turun dari proyeksi awal sebesar 5,08 persen menjadi 5,07 persen di 2019. Sementara itu, kinerja ekspor diteropong akan stagnan meski punya keunggulan komparatif dari pelemahan Rupiah.

Proyeksi awal pemerintah untuk ekspor di 2019 tercatat tumbuh sebesar 6,28 persen. Melalui penyesuaian nilai tukar, outlook kemudian naik tipis menjadi 6,73 persen.

"Untuk tahun depan diperkirakan melemah karena adanya potensi perang dagang sehingga ekspor sepertinya tidak akan melonjak di atas 7 persen tetap tetap di kisaran 6,28 persen," terangnya.

 Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sri Mulyani Usul Asumsi Rupiah di APBN 2019 Jadi 15.000 per Dolar AS

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali mengusulkan perubuhanan asumsi makro pada pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Salah satunya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 15.000 per dolar AS. Hal itu disampaikannya pada saat rapat kerja Pemerintah dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI.

“(Nilai tukar) yang kita semuanya telah membahasnya di dalam Panja A waktu itu adalah pada angka 14.500 per dolar AS. Sedangkan untuk asumsi makro yang lain masih sama." kata Sri Mulyani melalui keterangan resminya, seperti dikutib Selasa, (16/10/2018).

"Berdasarkan usulan dari Pak Gubernur (BI) mengenai range nilai tukar yang tadi disampaikan 14.800 per dolar AShingga 15.200 per dolar AS, kami mengusulkan menggunakan nilai tengahnya di angka tengahnya di Rp15.000 untuk nilai tukar tahun 2019,” lanjut dia.

Sri Mulyani menilai, perubahan tersebut dikarenakan Indonesia mewaspadai dinamika ekonomi global yang makin dinamis yang dipicu antara lain oleh kebijakan Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang menaikkan suku bunga, mengetatkan likuiditas Dolar Amerika serta perang dagang antara Amerika dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Dari dalam negeri, kenaikan impor yang cukup tinggi di atas ekspor mengakibatkan neraca perdagangan yang masih defisit pada bulan Agustus 2018.

Selain itu, dari hasil Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2018 di Bali baru-baru ini mengindikasikan masih akan terjadi ketidakpastian ekonomi global tahun 2019 tapi dengan arah yang lebih positif dibanding tahun ini.

"Untuk asumsi makro lainnya seperti pertumbuhan ekonomi, harga minyak per barel, dan lifting minyak diproyeksikan masih sama dengan yang telah dibahas antara Pemerintah dengan DPR sebelumnya," terang Sri Mulyani.

Namun demikian, usulan Pemerintah tersebut belum disetujui oleh mayoritas anggota Banggar. Dari 15 anggota Banggar yang menyampaikan tanggapannya, mayoritas belum menyetujuinya dan meminta agar dilakukan pembahasan lebih lanjut.

Rencananya, sore ini Banggar DPR RI akan kembali menggelar rapat kerja bersama denhan Kementerian Keuangan bersama dan Bank Indonesia (BI) untuk pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini