Sukses

Hadapi Ancaman Perang Dagang, Mendag Imbau Warga Pakai Produk Dalam Negeri

Mendag Enggartiasto Lukita menuturkan, dampak perang dagang juga dapat memperlambat ekonomi global.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi melempar serangan pertama dalam perang dagang dengan memberlakukan tarif pada impor China. Tarif AS terhadap impor barang China senilai USD 34 miliar.

Trump juga mengancam akan mengenakan tarif tambahan menjadi USD 500 miliar jika China melawan dengan berupa pemberlakuan tarif balasan.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengaku tidak begitu khawatir terhadap dampak perang dagang yang dilakukan oleh kedua negara tersebut. Meski demikian, dirinya tetap mengantisipasi apabila hal itu dapat membahayakan bagi Indonesia ke depan.

"Berapa besar dampaknya? Dampak langsung tidak signifikan sangat tidak signifikan kepada Indonesia. tetapi bagaimana ke depan pasti akan ada," kata Enggartiasto saat Konferensi Pers Kunjungan Kerja ke AS, di Kantornya, Jakarta, seperti ditulis Sabtu (14/7/2018).

Enggartiasto mengatakan, apabila AS memberlakukan tarif pada impor barang China, otomatis China akan mencari pasar baru. Salah satu pasar yang potensial adalah Indonesia. Dengan begitu, dikhawatirkan produk produk asal negara tersebut akan banjiri Indonesia.

"Yaitu pertama secara sederhana produk produk RRT yang masuk ke Amerika dikenakan biaya tinggi maka dia pasti akan mencari pasar baru. Salah satu pasar yang potensial adalah Indonesia," ujar dia.

Oleh karena itu, lanjut Enggartiasto untuk menyikapi hal tersebut salah satu upayanya adalah perlu meningkatkan kualitas dari produk dalam negeri.

"Kita tidak bisa untuk menghentikan tidak boleh masuk barang. Yang kita bisa lakukan lebih mengedukasi untuk kita pergunakan produk dalam negeri," kata dia.

Kemudian, dampak lain yang mungkin terjadi adalah pertumbuhan ekonomi dunia yang berpotensi mengalami perlambatan. Hal itu disebabkan karena kenaikan harga, sementara daya beli seluruh negara-negara akan tinggi.

"Perlambatan ekonomi itu secara keseluruhan sirkelnya pasti akan kena itu satu point. Artinya satu tantangan lagi bagi kita untuk tetap mempertahankan kinerja ekspor kita di tengah situasi ekonomi yang melambat bisa berdampak terjadi perlambatan. Itu konsekuensi logis setiap terjadi kondisi-kondisi yang terjadi seperti ini," ujar dia.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

RI Berpeluang Kehilangan USD 1,8 Miliar Imbas Perang Dagang

Sebelumnya, mantan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, Indonesia berpotensi kehilangan nilai ekspor sebesar USD 1,8 miliar apabila perlakuan Generalized System of Preference (GSP) terhadap 124 produk Indonesia ke Amerika Serikat dicabut.

Generalized Sisytem of Preference (GSP) yaitu negara yang mendapat fasilitas keringanan bea masuk dari negara maju untuk produk-produk ekspor negara berkembang dan miskin.

"Dan pembaruan fasilitas GSP kalau saya tidak salah sekitar USD 1,8 miliar dari total ekspor kita ke AS. Sekarang sekitar USD 19 miliar. Sekitar 10 persen dari ekspor kita itu mendapat fasilitas GSP biaya yang lebih rendah," ujar Mari saat ditemui di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Selasa 10 Juli 2018.

Mari mengatakan, perpanjangan GSP memang tengah dibahas kembali dengan Amerika Serikat (AS). Mengingat, pertengahan tahun lalu negara Paman Sam tersebut telah menyatakan Indonesia mengalami suplus neraca perdagangan barang terhadap AS. 

"Ini dalam proses review diperpanjang. Ini sebetulnya kita membahas dengan AS terlepas dari masalah defisit yang pernah diangkat pada awal tahun sekitar Maret ya. Ini sedang dibahas oleh kedua negara. Kalau kita ingin diperpanjang apa saja yang akan kita lakukan ya," ujar dia.

Mari melanjutkan, saat negosiasi perpanjangan GSP Amerika Serikat bakal mengajukan berbagai syarat yang harus dilengkapi Indonesia.

Pertama, peraturan yang tidak konsisten mengenai perdagangan harus dicabut atau diperbaharui. Kemudian, isu kedua adalah ketegasan mengenai pengakuan dan penerapan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual).

"Biasanya Amerika Serikat itu, saat kita akan meminta tolong diperpanjang, tolong supaya produk kita seperti agriculture itu bisa meningkatkan ekspor. Dan biasanya mereka minta, peraturan Anda yang tidak konsiten, tidak sesuai dengan aturan yang menurut mereka tidak lengkap. Mohon diubah," kata dia.

"Mereka (AS) juga selalu dengan tegas menyinggung isu HAKI. Sama seperti kepada China, dia juga selalu menyinggung soal HAKI. HAKI itu kita sudah punya undang-undangnya. Selalu enforcement (pelaksanaan). Dia menuntut, bagaimana Anda memperkuat enforcement HAKI," tambah dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.