Sukses

Revisi Aturan soal Penjualan Rokok Ini Dinilai Tak Tepat

Pedagang pasar keberatan jika wilayah KTR diperluas sampai ke pasar tradisional.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Kota Bogor merevisi Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 12/2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Aturan ini menuai penolakan dan kritisi karena dinilai akan bertentangan dengan aturan-aturan di atasnya.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, peraturan tentang pengendalian rokok sudah ada di PP No 109/2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, UU Perlindungan Konsumen, hingga UU Penyiaran.

“Sehingga aturan daerah, dalam hal ini perda yang dibuat, tidak boleh bertentangan dengan aturan yang ada di atasnya,” ujar dia, Rabu (6/6/2018).

Menurut Trubus, pertentangan itu tampak pada Perda KTR yang memuat larangan memperlihatkan bungkus rokok. Tak hanya itu, revisi Perda KTR dihawatirkan akan memperluas aturan seperti larangan rokok elektrik, serta melarang toko, pasar dan minimarket memajang rokok.

“Padahal dalam aturan besarnya (PP dan UU), tidak ada seperti itu. Ini kan sangat bertentangan dengan aturan yang ada,” lanjutnya.

Ia menilai, jika perda seperti ini tetap disahkan, hal ini akan menjadi contoh pembentukan kebijakan publik yang tidak baik kepada masyarakat dan pemerintah daerah lain.

Ketua Bidang Litbang Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (DPP-APPSI), Sjukrianto, mengatakan, cakupan Perda KTR Bogor yang sekarang sudah baik. Namun, pihaknya keberatan jika wilayah KTR diperluas sampai ke pasar tradisional.

“Penerapan KTR di wilayah pasar tradisional tidak tepat, karena di sana banyak pedagang yang menjajakan rokok. Jika diterapkan di pasar tradisional tentu akan mengurangi omzet para pedagang tersebut,” jelas dia.

Apalagi, di Kota Bogor ada saat ini ada 7 pasar tradisional, dan itu milik Pemkot. “Bisa dibayangkan jumlah pedagang yang merugi atas aturan tersebut,” katanya.

Sjukrianto melanjutkan, alangkah baik bila Pemkot Bogor memaksimalkan wilayah yang sudah ada pada Perda KTR saat ini seperti, rumah sakit, tempat pendidikan, tempat-tempat ibadah, hingga lembaga pemerintahan.

“Kalau saya lihat saat ini masih banyak pelanggarannya, lebih baik menertibkan di wilayah yang sudah ada terlebih dahulu daripada diperluas ke pasar tradisional,” lanjutnya.

Sjukrianto bersama APPSI sudah menyampaikan keberatan tersebut kepada Pemkot Bogor. Menurutnya, Pemkot Bogor mendengarkan aspirasinya dan berjanji akan mencabut poin tentang pasar tradisional.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ini Bukti Harga Rokok RI Jauh Lebih Mahal ketimbang Negara Lain

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan harga rokok di Indonesia saat ini sudah lebih mahal jika dibandingkan negara lain. Hal tersebut dapat diukur dari kemampuan daya beli masyarakat.

Dia menjelaskan, berdasarkan kemampuan daya beli masyarakat atau Purchasing Power Parity (PPP), harga rokok terhadap pendapatan masyarakat Indonesia tergolong tinggi, yaitu 2,9 persen. Sementara di Singapura dan Malaysia masing-masing hanya 1,5 persen serta dua persen.

"Di Singapura terbukti bahwa harga rokok yang kita anggap mahal ternyata masih dalam jangkauan daya beli penduduk Singapura," ujar dia di Jakarta, Kamis (31/5/2018).

Selain itu, lanjut Bhima, menaikkan harga rokok tidak serta-merta menurunkan angka perokok. Menurut dia, konsumen justru bisa berbalik arah mengonsumsi rokok murah bahkan rokok ilegal.

"Yang terjadi justru adanya perilaku beralihnya konsumen ke rokok yang lebih murah, atau yang paling berbahaya justru meningkatnya peredaran rokok ilegal,” kata dia.

‎Bhima menyatakan, hasil riset menunjukkan, sekitar 11,7 persen dari 344 miliar batang rokok di pasaran dijual secara ilegal. Oleh sebab itu, jika harga rokok langsung dinaikkan secara drastis, maka yang terjadi rokok ilegal semakin mendominasi pasaran. 

"Kondisi ini jelas tidak menambah pemasukan cukai, justru kehilangan penerimaan negara bisa membesar," ujar dia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.