Sukses

Alasan Elia Massa Manik Pantas Berhenti Jadi Bos Pertamina

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Sumarno mencopot Elia Massa Manik dari jabatan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero). Pencopotan itu dilakukan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa pada Jumat 20 April 2018.

Kementerian BUMN pun sementara telah menunjuk Nicke Widyawati sebagai pelaksana tugas (Plt) Dirut Pertamina, calon induk holding migas itu. "Elia Masa memang pantas diganti. Alasannya, selain terlalu sering mengeluh, juga melakukan manuver yang mengarah pada pembangkangan dalam menjalankan BBM penugasan," ujar Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi, di Gado-gado Boplo, Jakarta, Sabtu (21/4/2018).

Salah satu manuver Massa, menurut Fahmi adalah mengurangi pasokan Premium di Jawa, Madura dan Bali (Jamali).  "Memang tidak ada kewajiban bagi Pertamina untuk memenuhi pasokan Premium di Jamali, namun pengurangan pasokan itu menyebabkan kelangkaan BBM di beberapa daerah. Sudah menjadi pemandangan umum di beberapa SPBU yang memasang pengumuman 'Premium Habis'," kata dia.

Masalah kelangkaan Premium belum reda, Pertamina memutuskan menaikan harga Pertalite dari Rp. 7.800 per liter naik menjadi Rp. 8.000 per liter.  Dengan kenaikan harga Pertalite sebesar Rp 200 per liter menyebabkan disparitas antara harga Premium dengan Pertalite menjadi semakin lebar hingga mencapai sebesar Rp 1.450.

Dengan disparitas kedua harga sebesar itu, tidak bisa dihindari terjadi gelombang remigrasi dari Pertalite kembali ke Premium, yang menyebabkan permintaan Premium semakin meningkat. 

"Kalau Pertamina tidak menambah pasokan Premium untuk memenuhi peningkatan permintaan Premium, akibat remigrasi konsumen dari Pertalite ke Premium, maka kelangkaan Premium akan semakin parah," kata dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Selanjutnya

Pertamina juga sangat gencar mengampanyekan penghapusan Premium sebagai upaya mengurangi potensi kerugian dengan dalih pemberlakuan Euro-4. 

"Padahal, batas akhir waktu penetapan Euro-4 pada 2021. Kalau dipaksakan Premium dihapus sekarang akan menimbulkan gejolak dan resistensi dari konsumen, utamanya kosumen kelas bawah," ujar dia.

Penghapusan Premium juga akan mengacaukan program BBM Satu Harga, yang baru berlangsung. Rakyat di Indonesia Timur yang baru menikmati harga Premium Rp. 6.450 harus dipaksa menggunakan Pertalite dan Pertamax yang harganya jauh lebih mahal. 

"Terakhir, Elia Massa seolah cuci-tangan terhadap tragedi kebocoran pipa Balikpapan, yang sudah membawa korban. Mestinya, Elia Massa dengan jabatan harus mengundurkan diri sebelum dicopot, pasca-terjadi tragedi tragedi kebocoran pipa Balikpapan," ujar dia.

 

 

 

 

 

 

 

3 dari 3 halaman

Dinilai Hambat Program

Sementara itu, Pengamat Energi, Marwan Batubara menilai, pencopotan Elia Massa tidak tepat. Ia menilai, pencopotan tersebut berbau kepentingan politis. Elia Massa dianggap tidak mendukung program BBM penugasan.

"Maka saya katakan pergantian ini karena yang ada di Pertamina, adalah orang-orang yang tidak kondusif untuk menjalankan kebijakan politis dari pemerintah. Itu yang paling basic," ujar dia pada Sabtu 24 April 2018.

"Yang jadi masalah karena kebijakan ini ingin dipaksakan. Kebijakan populis ini tetap dijalankan, lalu di sisi lain direksi justru terkesan menghambat maka ini perlu disingkirkan," lanjut dia.

Dia menilai,  sikap yang diambil Elia Massa Manik sebenarnya untuk melindungi Pertamina. Hal itu mengingat keharusan menjual BBM subsidi membuat perseroan merugi.

"Pak Massa ingin supaya dia tidak rugi dari penjualan BBM penugasan, adalah supaya uangnya cukup untuk menjalankan program RDMP dan di kilang baru yang dicanangkan lima tahun lalu sebelum Pak Massa jadi Dirut. Dan itu saya kira strategis," kata dia.

Menurut Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) itu, sikap tidak menjalankan BBM penugasan, dan selalu menyatakan rugi kalau menjual solar dan premium merupakan sikap yang sejalan dengan kepentingan ketahanan energi nasional.

"Karena tadi saya sebutkan kita ini sudah menjadi negara yang net importir sejak 2004 dan akan terus bertambah dan tahun 2020, 1,5 juta barel kita impor,” ujar dia.

Bukan cuma minyak mentah yang kita impor, nanti mayoritas BBM. Karena kilang kita tidak mampu menyuplai kebutuhan yang ada di dalam negeri," tambah dia.

Ia berpandangan, jika pemerintah sudah berkomitmen untuk tidak menaikkan harga BBM, kebijakan logis yang harus dilakukan adalah dengan menambah nilai subsidi, bukan membebani Pertamina.

"Politis banget itu, Kalau tidak boleh naik harga BBM harusnya anggaran untuk subsidi juga ditambahkan karena Pertamina juga kesulitan dalam membangun kilang, anggarannya tertahan untuk menutup subsidi BBM," kata dia.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.