Sukses

Jurus Sri Mulyani Jaga Ekonomi RI supaya Tahan Guncangan

Menkeu Sri Mulyani akan terus melakukan reformasi fiskal untuk menjaga ekonomi Indonesa agar tahan dari guncangan.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah akan tetap menjaga kondisi makro ekonomi melalui kebijakan fiskal dan moneter yang dijalankan selama ini. Hal tersebut diharapkan mampu membuat ekonomi Indonesia tahan terhadap guncangan.

"Indonesia akan tetap menjaga dari sisi kebijakan fiskal policy, monetery policy, policy dari BI (Bank Indonesia) dan makro ekonomi," ujar ‎dia di Hotel Fairmont, Jakarta, Rabu (7/2/2018).

Selain itu, kata dia, pemerintah juga akan terus melakukan reformasi di berbagai bidang seperti investasi. Hal tersebut diharapkan memperkecil potensi guncangan pada perekonomian Indonesia akibat ketidakstabilan ekonomi global.

"Serta fokus kepada reform. Hal tersebut akan menyebabkan apa yang disebut vurnelabilty atau kerawanan dan kepekaan Indonesia terhadap berbagai shocks jadi lebih mengecil," kata dia.

Dengan beragam upaya tersebut, kata Sri Mulyani, diharapkan bisa membuat lembaga pemeringkatan internasional seperti Moody's melihat Indonesia secara lebih positif.

"Ini berarti kita harapkan akan membuat rating agency akan melihat sebagai suatu positif," ucap Sri Mulyani. 

Seperti diberitakan sebelumnya, Sri Mulyani optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 akan mencapai 5,4 persen seperti yang telah ditargetkan.‎ Asalkan, tren pertumbuhan investasi dan ekspor yang tengah meningkat bisa terus di jaga pada tahun ini.

Sri Mulyani menyatakan, pada 2017 pertumbuhan investasi tercapai mencapai 6,15 persen. Jika tren pertumbuhan ini bisa terus dijaga lebih tinggi lagi, ini akan menjadi penopang yang kuat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5,4 persen.

"Momentum yang kami lihat untuk semester I, investasi akan terus terjaga. Kalau investasi bisa naik terus di atas 6 persen bahkan bisa mendekati 7,5 persen, tadi yang disebutkan perbankan sudah mulai membaik, pasar modal tetap tinggi, maka kalau bisa stabil kami optimistis bisa mendapatkan pertumbuhan investasi di atas 7 persen," ujar Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 5 Februari 2018.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pengusaha Tolak Sri Mulyani Pangkas Batasan Omzet Kena Pajak UKM

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah untuk tidak menurunkan batasan omzet Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari saat ini Rp 4,8 miliar per tahun.

Pengusaha tetap menginginkan kebijakan tarif pajak penghasilan (PPh) final bagi usaha kecil menengah (UKM) sebesar 1 persen dari omset maksimal Rp 4,8 miliar setahun.

"Kalau threshold diturunin, UKM bayar pajaknya jadi lebih tinggi dong. Ini bakal direspons negatif, kasihan UKM, pasti akan banyak yang komplain," kata Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani di Jakarta pada 24 Januari 2018. 

Akan tetapi, dia menyambut positif rencana pemerintah untuk memangkas tarif PPh Final UKM dari 1 persen menjadi 0,5 persen atau turun separuhnya. Kebijakan ini diyakini akan merangsang geliat UKM untuk bertumbuh lebih cepat.

"Kalau suatu tarif pajak kompetitif, maka akan memberikan dorongan untuk tumbuh, tapi kalau ditarik insentifnya akan kurang bagus," ujarnya.

Inilah yang diakui Hariyadi menjadi sebuah dilema. Di satu sisi pemerintah ingin menurunkan batasan omzet PKP, tapi di sisi lain memotong tarif pajak bagi UKM hingga 50 persen.

"Jadi mending seperti kemarin saja lah (1 persen maksimal Rp 4,8 miliar). Itu angka yang moderat, atau threshold tetap, tapi kalau tarif PPh mau diturunkan tidak apa," Hariyadi menjelaskan.

Dia mengaku, Apindo sedang membicarakan mengenai kebijakan ini bersama dengan Kementerian Keuangan. "Kami sedang rundingkan untuk mencari solusinya karena ada pemikiran pemerintah menurunkan threshold tapi kompensasinya PPh Final turun jadi 0,5 persen," paparnya.

3 dari 3 halaman

Banyak Pengusaha Besar Mengaku UKM

Ide pemerintah untuk menyeret ke bawah omzet PKP dan memangkas tarif pajak UKM, diungkapkan Hariyadi, karena banyak pengusaha skala besar yang mengaku UKM.

"Saya paham mungkin pemerintah melihat tiba-tiba semua orang berubah jadi UKM, dokter yang praktiknya luar biasa juga ngaku UKM, semua ngaku UKM, sehingga pemerintah jengkel. Orang Indonesia akalnya pinter sih, ada yang manfaatin lain, ketangkap sama pemerintah, lalu pemerintah men-generalisir," dia menjelaskan.

Atas kasus ini, kata Hariyadi, tercetus wacana dari pemerintah untuk menetapkan omzet PKP Rp 4,8 miliar setahun hanya untuk UKM individu, bukan Badan Usaha.

"Karena semua ngaku UKM, jadi ada wacana Rp 4,8 miliar itu untuk semua individu (UKM), tidak badan hukum. Jadi kami masih bicarakan," tukas dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.