Sukses

‎Bappenas: Masyarakat RI Tidak Irit Belanja, Ini Buktinya

konsumsi masyarakat beralih ke jasa, kesehatan, pendidikan, dan rekreasi yang tumbuh menguat.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro menegaskan bahwa terjadi perubahan pola konsumsi dari masyarakat Indonesia. Konsumsi rumah tangga tetap tumbuh positif, namun agak melambat akibat pergeseran belanja tersebut.

"Saya agak kurang setuju dengan term menahan belanja karena dari analisa data, kami melihat beberapa hal," ujar Bambang di Jakarta, Jumat (15/12/2017).

Menurut Bambang, yang terjadi bukanlah menahan belanja, melainkan pengalihan pola konsumsi masyarakat. Dari datanya menunjukkan, pertumbuhan konsumsi untuk makanan di luar restoran masih cukup tinggi sekitar 5 persen. Hanya saja, konsumsi pakaian tumbuh rendah sekitar 2 persen.

"Tapi perlu dicatat perlambatan konsumsi di kuartal III-2017, salah satunya karena periode Lebaran yang beda. Tahun ini, Lebaran di kuartal II, tapi tahun lalu Lebaran di kuartal III. Akibatnya di kuartal III ini tidak ada Lebaran, sehingga pertumbuhan konsumsi pakaian relatif kecil," jelas Bambang.

Untuk diketahui, konsumsi rumah tangga di kuartal III-2017 tercatat tumbuh sebesar 4,93 persen. Sementara tahun lalu di periode yang sama dengan dorongan periode Lebaran, pertumbuhan konsumsi rumah tangga ‎sebesar 5,01 persen. Sedangkan di kuartal II-2017 di mana ada momen Lebaran, konsumsi tumbuh 4,95 persen.

Bambang lebih jauh menambahkan, ‎konsumsi masyarakat tersebut beralih ke jasa, kesehatan, pendidikan, dan rekreasi yang tumbuh menguat. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi restoran dan hotel tumbuh 5,52 persen di kuartal III-2017 dibanding periode sama 2016 sebesar 5,01 persen.

Konsumsi transportasi dan komunikasi mencapai pertumbuhan 5,86 persen di kuartal III ini, serta konsumsi kesehatan dan pendidikan tumbuh 5,36 persen di periode tersebut.

"Jadi artinya apa, ada pergeseran pola konsumsi dari sekedar barang menjadi barang dan jasa," tegas Bambang.

‎Alasan lain masyarakat dianggap tidak irit belanja, kata Bambang, ada pengalihan belanja dari ritel konvensional ke online serta impor barang konsumsi yang mengalami pertumbuhan dua digit. Data BPS menunjukkan impor barang konsumsi mengalami kenaikan signifikan 12,34 persen secara year on year pada September 2017.

‎"Itu ‎yang kemudian jadi pertanyaan, kalau konsumsi melambat kenapa impor barang konsumsi tinggi. Jadi ada peralihan pola konsumsi di sini," ucap Bambang.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pandangan Bank Dunia

Sebelumnya, Bank Dunia mengungkapkan bahwa  Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang menjadi motor penggerak ekonomi Indonesia tumbuh melambat pada periode Lebaran tahun ini dibanding tahun sebelumnya. Ada tiga penyebab utama, yakni kenaikan tarif tenaga listrik, kebijakan pajak, dan ketidakpastian politik.

Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia, Frederico Gil Sander, menilai momentum Lebaran tak mampu mengangkat konsumsi rumah tangga di kuartal II-2017, sehingga pertumbuhannya hanya mencapai 4,95 persen. Capaian tersebut melambat dibanding realisasi 5,01 persen di kuartal III-2016 saat ada periode Lebaran.

"Biasanya kalau ada Lebaran, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tinggi, tapi tidak di tahun ini. Pertumbuhannya tidak terlalu kuat," kata dia saat memberikan penjelasan Laporan Indonesia Economic Quarterly December 2017 di Energy Building SCBD, Jakarta, Kamis (14/12/2017).

Sander menganalisis ada tiga faktor utama yang menyebabkan perlambatan konsumsi rumah tangga di Indonesia pada periode tersebut. Pertama, kenaikan tarif listrik golongan rumah tangga 900 VA.

"Karena naiknya substansial, berpengaruh ke daya beli mereka. Makanya subsidi menjadi sangat penting, khususnya bagi rumah tangga miskin," Sander menerangkan.

Kedua, lanjutnya, usai program pengampunan pajak (tax amnesty), pemerintah menjadi lebih serius untuk menyisir kepatuhan pajak dari Wajib Pajak (WP).

"Hal ini berdampak pada rumah tangga yang berpenghasilan tinggi. Satu minggu lalu, saya mendapat data 20 persen dari rumah tangga Indonesia mengonsumsi 47 persen," jelas Sander.

Sementara penyebab ketiga konsumsi rumah tangga melambat, dia bilang, karena ketidakpastian politik, terutama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Jakarta.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.