Sukses

Harga Minyak Jatuh, Menkeu Siap Revisi APBN 2016

Asumsi makro ekonomi Indonesia maupun postur anggaran negara dipastikan berubah, terutama seiring anjloknya harga minyak dunia.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016 seiring dinamika perekonomian global yang melambat.

Asumsi makro ekonomi Indonesia maupun postur anggaran negara dipastikan berubah, terutama seiring anjloknya harga minyak dunia dan fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro dalam Rapat Kerja Perkembangan Ekonomi Terkini 2016 bersama DPR mengakui, prospek pertumbuhan ekonomi global di tahun ini belum menggembirakan. Perekonomian di negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) hanya diperkirakan tumbuh 2 persen, sementara Eropa dan Jepang nol persen.

"Ekonomi global diperkirakan hanya tumbuh 3,4 persen, China 6,3 persen, ASEAN termasuk kita 4,8 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di APBN 2016 dipatok 5,3 persen, sedangkan outlook-nya 5,2-5,5 persen, jadi masih sejalan dengan asumsi," jelas Menkeu di Gedung Banggar DPR, Jakarta, Rabu (17/2/2016).

Bambang menuturkan, mengupas lebih dalam perkembangan ekonomi dunia, harga minyak anjlok dan bergerak fluktuatif di level US$ 30-35 per barel. Sementara proyeksi pemerintah di APBN 2016 sebesar US$ 50 per barel.


"Pemerintah tentu akan mengajukan APBN perubahan, karena penurunan harga minyak cukup tinggi. Jadi buat asumsi baru untuk harga minyak, yang kita perkirakan rata-rata per tahun US$ 30-40 per barel," jelas Bambang.

Perubahan harga minyak dunia tersebut, dia mengatakan, akan berpengaruh pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pajak Penghasilan (PPh) dari sektor minyak dan gas (migas). Rendahnya harga minyak dunia ikut menyeret pelemahan harga komoditas yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia.

"PNBP dan PPh Migas pasti akan turun, harga komoditas lesu, PNBP dari royalti tambang lebih rendah dari ekspektasi sehingga membuat struktur penerimaan berubah," terangnya.

Bambang mengatakan, berdasarkan realisasi penerimaan pajak tahun lalu sebesar 83 persen atau Rp 1.601 triliun, pemerintah telah menghitung pertumbuhan penerimaan pajak secara wajar berbasis pertumbuhan ekonomi dan inflasi sebesar 10 persen.

Ditambah extra effort 3 persen, maka ada ruang pertumbuhan penerimaan pajak 13 persen. Namun perhitungan ini tetap di bawah asumsi penerimaan pajak di APBN 2016.

"Dari sisi belanja, ada pengeluaran yang mendesak untuk dianggarkan di APBN-P 2016, seperti renovasi GBK 7 vanue dan wisma atlet untuk penyelenggaraan ASIAN Games oleh Kementerian PUPR, sehingga membutuhkan tambahan anggaran," paparnya.

Bambang menyebut, asumsi makro lain yang masuk dalam APBN-P, adalah nilai tukar rupiah. Pemerintah akan melihat pergerakan kurs Rupiah, mengingat proyeksi di APBN 2016 dipatok Rp 13.900 per dolar AS.

"Kita akan memutuskan rata-rata kurs yang terbaik. Kemungkinan bisa di bawah Rp 13.900, tapi apakah Rp 13.500 atau di bawah itu, kita akan lihat lagi," kata Bambang.  

Di sisi lain, pemerintah mempunyai SILPA Rp 18 triliun-Rp 20 triliun yang bisa dialokasikan untuk mengurangi utang. Dengan sisa lebih pembiayaan 2015 ini, pemerintah dapat menambah defisit tanpa menambah utang. "Itulah alasan dasar kenapa kita ajukan APBN-P 2016," tandas Bambang.

Berikut indikator asumsi makro, penerimaan dan pembiayaan dalam APBN 2016, antara lain:

1. Pertumbuhan ekonomi 5,3 persen
2. Inflasi 4,7 persen
3. Tingkat bunga SPN rata-rata 5,5 persen
4. ICP US$ 50 per barel
5. Nilai tukar Rp 13.900 per dolar AS
6. Lifting minyak 830 ribu barel per hari
7. Lifting gas bumi 1.155 ribu barel setara minyak per hari
8. Pengangguran 5,2-5,5 persen
9. Angka Kemiskinan 9,0-10,0 persen
10.Gini rasio 0,39
11. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 70,1
12. Pendapatan negara dan hibah Rp 1.822,54 triliun
13. Penerimaan dalam negeri Rp 1.820,51 triliun
14. Penerimaan perpajakan Rp 1.546,66 triliun
15. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 273,85 triliun
16. Belanja negara Rp 2.095,72 triliun
17. Belanja pemerintah pusat Rp 1.325,55 triliun
18. Transfer ke daerah dan dana desa Rp 770,17 triliun
19. Defisit anggaran 2,15 persen dari Product Domestik Bruto (PDB) atau Rp 273,18 triliun. (Fik/Nrm)
    

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.